270. Warna yang Membara

seokjinjuseyyo
14 min readFeb 24, 2023

--

From Mahika: Baskara Raditya (seokjinjuseyyo on twt)

Bersama Adis, Bara menjadi kuning. Warna itu disematkan Bara kepadanya sebab bersama perempuan itu, hari-hari Bara menjadi cerah oleh harapan. Adhisty Cempaka yang Bara kenal adalah sosok yang idealis. Rencananya jauh dan matang, sebagian besar selalu berhasil karena ia mempertimbangkan segala aspek sebelum merumuskan keputusan. Mimpinya tinggi dan mulia. Bara yang selalu kesulitan mengisi kolom pertanyaan cita-cita di angket siswa ini, sempat merasa minder karenanya.

Namun Adis hadir sebagai kuningnya.

Tangan yang terulur untuk menarik Bara agar tidak tertinggal, berjalan menjemput harapan secara beriringan. Terpaut dua tahun lebih tua, Adis terbukti banyak menerangi setiap langkah Bara.

Bara masih ingat percakapan yang terjadi di tempat yang sama, namun di lintasan waktu yang berbeda. Tepatnya beberapa tahun ke belakang saat Bara masih mengenyam status sebagai mahasiswa.

“Mana sini aku liat checklist berkas sidang kamu.” Adis tidak menunggu jawaban Bara. Diraihnya map merah berisi berkas yang Bara perlukan. “Oke, besok kamu harus minta tanda tangan ke ketua prodi, sekaligus nyamperin dosen mata kuliah ini karena nilai kamu ada yang belum keluar. Supaya transkrip nilai kamu bisa langsung di-print, terus setor ke akademik. Sekarang siapin dulu–”

“Dis, makan, yuk? Laper nggak?”

Adis menghela napas. Ditatapnya Bara yang terkulai lemah di bangku penumpang. Bibirnya mengerucut karena lelah. “Selesain urusan berkas dulu, Baskara. Biar kamu cepet sidang, baru main sepuasnya.”

Bara menggeliat. Kepalanya tersampir pada jok pengemudi yang menepi di pekarangan rumah Adis. “Nggak akan keburu wisuda deket-deket ini, Dis. Aku malah deg-degan kalau buru-buru gini. Bunda juga nggak papa kok katanya kalau bayar UKT lagi, nggak mesti cumlaude–”

“Nggak gitu mikirnya, Baskara. Nggak semua orang bisa seberuntung kamu. Ada berapa orang di luar sana yang kewalahan bayar UKT? Kamu harusnya manfaatin kesempatan itu buat improve lebih, bukan buat leha-leha. Lagian kalau bisa sekarang, kenapa harus ditunda-tunda?”

“Biar wisudanya bareng Aksa sama Deehan… Hehe…” Bara kini menggigit ujung lidahnya saat melihat wajah Adis beringsut masam. “Kan lebih rame kalau wisudanya bareng yang lain, Dis. Foto-fotonya juga cukup sekali aja, jasnya juga bisa kembaran — ”

“Ya Tuhan, emang kamu mau sampai kapan bareng-bareng terus sama dua temen kamu itu?” Adis mendecak lidahnya saat Bara memasang tampang melas. “Yang penting kamu sidang dulu. Wisudanya kapan kan bisa kamu yang pilih. Sambil nunggu wisuda, kamu bisa isi waktu luang sambil les TOEFL atau TKD biar lebih optimal.”

“Adis.”

“Aku udah baca-baca informasi lewat web resmi sama pengalaman staff BUMN, kamu kayaknya lebih cocok di KESDM daripada instansi lain. Kalau langsung ditempatin di tambang, kamu pasti nggak mau.” Adis mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan notes berisi himpunan informasi yang terbagi jadi beberapa poin. “Kalau di KESDM kamu bisa apply jadi pegawai di kantornya aja, nggak perlu terjun ke lapangan — ”

“Adis, pacarnya capeeek.” Tubuh Bara merosot, suaranya melandai manja seperti sedang merengek. “Kita udah lama nggak ketemu tapi kamu malah bahas kerja lagi, kerja terus. Bahas kitanya kapan–”

Keluhan Bara terputus saat Adis mengecup pipinya. “Ini kan buat masa depan kita juga, sayangku,” katanya dibuntuti senyuman. Tertular ke wajah Bara saat Adis mengecup pipi satunya lagi. “Bonus, biar semangat.”

Bara kini menegakkan posisi duduknya. Sengaja menggeser tubuhnya agar duduk berhadapan dengan Adis. Kedua pipi yang barusan dikecup kini menonjol karena senyumnya terlalu lebar.

“Kebanyakan.” Bara mencondongkan tubuh. Mengecup bibir Adis singkat lalu mengulum senyum lebar. “Aku kasih kembaliannya.”

Senyap yang dihabiskan untuk saling menatap mencurahkan kasih sayang.

“Baskara,” panggil Adis.

“Saya,” sahut Bara, meniru intonasi suara Adis.

“Baskara…”

“Saya…”

“Baskara!”

“Saya!”

Keduanya tertawa lepas. Nyatanya mereka pernah bahagia karena hal sesederhana itu.

Adis mencubit dagu Bara, sebelum mematahkan kontak mata keduanya dengan meraih ponselnya. “Aku catet di notes kamu, ya. Things to do. Chat dosen mata kuliah, janjian sama ketua prodi, terus foto hitam putih kalau keburu. Okay?”

Bara mengangguk, matanya masih betah bertengger melihat sisi wajah Adis.

“Coba aku liat ketentuan foto kamu, sama nggak ya kayak fakultasku.” Telunjuk Adis terulur untuk membaca surat edaran dari fakultas yang menaungi Bara. “Kalau kamu harus pakai jas warna terang, ternyata. Udah punya belum?”

Bara mengangguk lagi, sudut bibirnya semakin renggang.

“Harusnya Hari Kamis udah bisa daftar, sih. Abis itu kamu bisa santai sedikit sambil belajar lagi–”

“Dis,” cegat Bara. “Kamu tau nggak, kalau aku sayang banget sama kamu?”

Adis mengusap sisi wajah Bara, merapikan surai Bara yang mulai panjang. “Tau dong. Soalnya aku juga sayang sama kamu sih.”

“Gantian sekarang kamu yang cerita. Selain cantik, udah ngapain aja hari ini?”

“PNS.” Adalah jawaban Odoy saat Bara bertanya soal cita-cita perempuan itu. Rahang Bara terbuka, tak menyangka sosok se-blak-blakan Odoy ternyata punya mimpi yang seragam dengan mayoritas ibu-ibu nusantara.

“Serius? Gue kira cita-cita lo fleksibel kayak beauty influencer atau–”

“Pegawai Nagita Slavina,” lanjut Odoy. Mengambil jeda untuk menyeruput kuah seblak berwarna merah. “Cita-cita gue nggak muluk-muluk, Bar. Asal jadi duit, bisa bayar cicilan tas gue, pasti gue jabanin. Denger-denger di RANS sering dapet bonus, siapa yang nggak mau coba.”

Senyum Bara tercetak tipis saat mendapati kebiasaan Odoy untuk menepikan siomay di piring terpisah agar tetap renyah. Baru disantap belakangan. “Laki lo tajir tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh belokan, tujuh jalan tol Jasamarga gitu. Lo masih mikirin duit, Doy?”

“Selama dia belum kawinin gue, gue nggak mau bergantung sepenuhnya sama dia.” Bara masih mengingat jawaban Odoy beberapa tahun yang lalu, saat masih mengemban status sebagai pacarnya Gian. Lebih tepatnya, saat Odoy sudah bermukim di Jakarta dan kerap menyempatkan diri ke Bandung untuk agenda makan seblak bersama Bara.

Atau lebih cocok disebut sesi curhat akbar yang pastinya tidak pernah jauh dari topik, “Ngomong-ngomong soal Gian, gue mau cerita deh, Bar. Kesel banget gue sama itu orang.”

Selalu.

Kalau sudah begini Bara hanya bisa mengulas senyum hambar. Digesernya mangkuk seblak kosong dari hadapan, lalu menopang wajah sebagai aba-aba siap mendengarkan.

Rutinitas ini berlangsung selama bertahun-tahun lamanya.

Odoy yang hanya mengajaknya makan seblak kalau sedang ada masalah dengan kekasihnya, Giandra.

Lalu tugas Bara hanya mendengarkan. Memberi saran juga, kalau Odoy sedang membutuhkan.

“Lo nggak makan es batunya, kan?” Bara menggeleng. Senyumnya muncul ke permukaan saat melihat Odoy merampas gelas Pop Ice-nya, lalu menjejalkan beberapa es batu sekaligus hingga pipinya mengembung. “Biasalah, Gian nggak betah liat gue sibuk sama kerjaan. Jadi mulai ada-adain masalah.”

“Ngapain lagi dia?”

“Kali ini dia marah perkara gue nge-post foto endorse tapi nggak nanya dia dulu.” Odoy menunggu es batu di pipinya habis dikunyah sebelum melanjutkan, “Lo bayangin. Berantem-berantem kecil gitu kan harusnya lucu, ya? Kalau gue kontenin pasti respons followers gue kayak, Kak Gian gemesh banget atau mau juga diposesifin gitu. Kebayang, kan? Tapi ini nggak. Dia marah serius, Bar. Sampai ngancem-ngancem mau ngomong sama owner brand yang endorse gue itu buat di take down foto gue. Sebel nggak lo dengernya?”

Bara menyita waktu untuk memikirkan jawaban yang tidak menyudutkan siapapun. “Dia takut kehilangan lo kali, makanya sampai segitunya.”

“Tapi kan nggak sampe membatasi ruang gerak gue juga dong? Ini kerjaan, lho,” sambar Odoy sengit, masih menggebu-gebu. “Masalah kecil kayak gitu harusnya bisa selesai cepet, ini jadi panjaaang banget. Ya loncat ke kejadian setahun yang lalu lah, waktu gue masih sama mantan lah. Emang suka cari ribut aja itu orang, minta diperhatiin.”

“Makanya lo kabur ke Bandung, ngajak gue makan seblak?”

“Iya–” Odoy segera meralat kalimatnya saat menangkap nada sarkas di ucapan Bara. “Nggak itu doang lah, gue juga kangen nyeblak sambil ngobrol gini sama lo. Seblak di Jakarta aneh, pake kecap.”

Bara hanya mengulas senyum getir. Ngobrolin Gian, iya.

“Gue nggak ngerti deh sama pikiran cowok–”

“Gian,” tukas Bara. “Nggak semua cowok bisa lo samain kayak Gian.”

“Yaudah gue ganti pertanyaannya.” Odoy kini melipat tangan lalu mencondongkan wajahnya. “Lo kan cowok juga, Bar. Emang cowok nggak suka ya kalau ceweknya sibuk sendiri?”

“Kayak tadi yang gue bilang. Tergantung cowoknya siapa,” jawabnya mengambang. “Kalau gue yang jadi cowok lo, apapun masalahnya, gue nggak akan sampai tega biarin lo nyetir Jakarta Bandung sendirian gini.”

Odoy meremat tisu lalu melemparnya ke arah Bara. “Yeeh, elu mah. Ditanya apa jawabnya apa.”

“Serius gue.” Bara terkekeh. “Tapi ya… menurut gue yang kenal Gian juga, dia khawatir sama lo. Cuma gengsinya gede, jadi output-nya ribet sendiri. Coba kali-kali lo liat rewelnya Gian sebagai bentuk afeksi dia ke lo.”

“Ngalah lagi, gitu?” Odoy merengut saat Bara mengangguk. “Gue mulu yang ngalah. Siapapun yang ada di posisi gue, yang ngejalanin hubungan sama Gian, pasti bakal capek juga.”

“Makanya coba sama jalanin sama gue,” sambar Bara ditutup seringai jahil. “Pasti nggak bakal capek.”

“Lenong mulu lo.”

Padahal Bara menyiratkan kesungguhan dalam setiap ucapannya.

Bersama Odoy, rambu dalam nurani Bara selalu menyala merah. Tanda baginya untuk berhenti.

Sebab Nadya Maharani yang Bara kenal selalu menyala-nyala. Tindakannya impulsif dan menggebu-gebu. Bara hanya bisa berpegang pada moral agar tidak ikut tersulut warna merah.

Bara menghela napas saat tahu-tahu langkahnya sudah membawa raganya ke depan unit kamar. Terlalu lama terbuai nostalgia dengan dua warna yang mewarnai masa mudanya sampai langit yang terhampar di luar sana sudah kelabu.

Gelap gulita langsung menyambut Bara saat ia membuka pintu kediamannya. Unit aparkos yang berantakan menyusul setelahnya. Selimut yang belum sempat ia benahi letaknya, ujung seprai kasur yang tersingkap, tumpukan baju bersih di dalam plastik laundry yang belum sempat ia rapikan ke lemari, sampai sampah yang menggunung hingga tutupnya menganga.

Bara yakin, Keenara pasti memarahinya.

Sebetulnya, kondisi yang terhampar di hadapannya tidak terlalu menyakitkan mata kalau dibandingkan dengan kondisi kamarnya sebulan yang lalu. Berkat penghuni unit 520 serta ocehannya soal kebersihan, Bara pelan-pelan membenahi kamar agar bebas dari berantakan.

“Sampah itu dipisah, yang basah sama yang kering. Percuma pendidikan tinggi kalau nggak diajarin begini.” Ini ucapan Kinar tempo hari. Berjongkok di hadapan tempat sampah, lalu memilahnya menjadi dua keresek besar. Saat itu, Bara yang sebetulnya masih membutuhkan sepuluh hitungan untuk berpikir kertas itu masuk sampah organik atau non-organik hanya mematung seperti orang dungu. “Bukan cuma ngurangin pekerjaan pengelola sampah. Tapi sampah basah rawan jamuran, harus cepet-cepet dibuang. Biar kamar lo nggak lembab juga. Ngerti?”

Senyum Bara tercetak saat lamunan di kepalanya buyar. Lantas berjongkok guna memisahkan sampah yang didominasi bungkus mie instan. Setelah merampungkan urusan sampah, tatapan Bara beralih pada plastik laundry berisi baju bersih yang menumpuk pada kursi ruang makan.

Suara menyebalkan itu menggema lagi mengusik sunyi di kamarnya. “Lo selama ini selalu laundry? Di lantai bawah ada fasilitas mesin cuci, kenapa nggak lo pake?”

“Dukung UMKM, Cil. Ngasih kerjaan ke laundry biar nggak tutup bisnisnya.”

“Bilang aja males.” Ekspresi jengkel Kinar masih segar di ingatan Bara. Apalagi saat perempuan itu menoleh lalu memicingkan mata. “Jangan bilang lo nggak tau cara pake mesin cuci?”

Tentu saja setelahnya, Bara mendapat penyuluhan dadakan mengenai cara menggunakan mesin cuci yang diampu oleh Keenara Ayu Dhaninjaya.

Ah, mengingat bagaimana tabiat Abangnya yang selalu menuliskan nama Deehan pada botol air mineralnya supaya tidak tertukar dengan yang lain, Bara mulai bisa memaklumi sifat Kinar yang satu itu.

Kalau disebutkan satu-satu akan lebih banyak lagi.

“Biasain jangan nyalain lampu siang-siang. Boros listriknya.”

“Aduh, itu gelas geserin, jangan pinggir meja. Jatuh entar.”

“Gue bilang apa ya soal matiin TV waktu lo tidur? Listriknya mahal.”

Kinar boleh jadi beberapa tahun lebih muda dari Bara. Bara malas mengakuinya, tapi soal beberapa aspek kehidupan, perempuan itu memang lebih unggul darinya.

Bicara soal Keenara Ayu, Bara tidak bisa memisahkan nama perempuan itu dari warna kelabu.

Bukan hanya karena wajah serta intonasi yang sulit ditafsirkan, di tengah-tengah, tidak pernah seterang putih atau sepekat hitam. Tapi bersama Keenara, Bara merasa bisa menunjukkan sisi kelabu yang tidak bisa ia tunjukkan pada siapapun.

Terlebih lagi, Keenara hanya muncul saat Bara membutuhkannya.

Seperti saat ini.

Tepatnya saat Bara betah dalam temaram, duduk di bangku ruang makan dengan kepala yang tersender pada dinding. Matanya terpaku pada detak jarum jam dinding di kamar yang bergerak lambat, sebelum bergulir pada foto kelulusan anak puri dalam formasi lengkap yang terpatri di kulkas. Di sampingnya, menggantung kunci rumah berkarat yang sudah lama dibiarkan di sana.

Masih sama.

Bara mengusap sekeliling tengkuknya berharap bisa sedikit mengurangi sesak. Menarik kerah kaus yang sudah longgar. Kepalanya berdenyut berulang kali hingga matanya terpejam, menyenderkan kepala pada dinding yang membatasi kamarnya dengan kamar 520.

Jemarinya mengetuk bangku untuk menuntun ritme napas yang mulai berantakan karena perasaan itu hadir lagi. Lengang di kamarnya selalu membuat Bara seperti tenggelam, kehabisan napas. Udara di sekitarnya seakan menipis, berebut dengan riuh di kepalanya. Bibir Bara sampai bercelah untuk meraup lebih banyak udara. Keringat dingin sudah mengucur dari tengkuk, turun menyusuri punggungnya.

Sayup-sayup rungunya menangkap alunan musik dari sebelah. Buru-buru matanya terbuka, tubuhnya menegak. Sempat celingukan sebelum mendekatkan kepala ke dinding untuk memastikan dugaan. Lantas langkahnya dengan cepat menghampiri balkon kamar. Kepalanya melongok untuk menanti keberadaan penghuni kamar 520.

“Cil?”

Bibir pucatnya meregang membentuk senyum lebar saat mendapati Keenara

Benar kan, apa kata Bara?

Like a cancelled plan, Keenara Ayu hanya muncul saat Bara membutuhkannya.

“Pasti dari siang lo belum makan karena nggak ada yang nemenin.” Prasangka itu muncul karena Bara melahap potongan ayam dengan cepat. Nasinya sudah habis duluan. Kebiasaan Bara menyisakan lauk enak di akhir sesi makan.

“Eh, lo mau kemana?” tanya Kinar saat Bara hendak beranjak dari duduknya. “Duduk. Belum bersih itu ayamnya. Masih banyak dagingnya, sayang.”

Bara tersedak. Diliriknya Kinar sebelum menjawab, “Oke, sayang.”

Senyap. Kening Bara mengerut saat Kinar tidak juga mencacinya. “Tumben nggak ngomel?”

Kinar mengedikkan dagu. Menatap Bara yang tampak berantakan. Kerah kausnya kusut. Surai panjangnya mencuat ke sembarang arah. “Kayaknya lo lagi nggak eligible untuk dihina.”

“Terima kasih atas belas kasihannya, Keenara. It’s a bad day for me, indeed.” Bara mengecup ujung-ujung jemari tangan kanan, sebelum mengacungkan tulang ayamnya. “Udah bersih kan, Bu? Boleh saya cuci tangan?”

Bara tidak menunggu izin Kinar untuk berlalu ke dapur kecil di unit kamar Kinar. Mencuci tangan serta piring yang ia pinjam untuk alas makan malamnya agar tidak berceceran. “Belakangan ini lo sibuk banget ya, Cil? Baru kedengeran berisiknya sekarang.”

“Gue lagi prepare sesuatu, sih.”

“Good for you. Gue tunggu deh kabar baiknya.” Bara mengelap tangan pada kain yang tergantung di samping piring keran cuci. “Lo belum traktir gue, by the way. Dalam rangka baikan sama Abang lo, yang abis dari Bali itu — “

“Kalau lo?” pungkas Kinar. “Lagi sibuk apa? Tumben nggak ganggu.”

Bara meregangkan tubuhnya sebelum kembali duduk di kursi seberang Kinar. “Gitu-gitu aja, kateringnya Bunda mau kerja sama jangka panjang bareng wedding organizer besar. Jadi gue yang ngurus tetek bengeknya.”

“Nggak ada planning balik ngantor lagi, ya?”

“Belum sih, kayaknya. Lagian dari kateringnya Bunda udah cukup banget, ngalah-ngalahin income gue kerja di sana. Jauh banget, malah.” Lelaki itu mengambil jeda untuk menghela napas. “Apa gue cabut aja, ya?”

“Lo beneran nanya saran sama gue yang lulusan SMP ini?”

“Yeeeh, kambing. Masih aja lo begini, Cil.”

Kinar tertawa. Tidak sampai menggariskan lesung halus di pipinya, namun cukup menular pada Bara. “Gue sih nggak bisa ngasih saran buat karir lo dalam jangka panjang. Secara gue nggak punya pengalaman apa-apa.”

Wajah Bara mengendur. Tubuhnya seperti terhipnotis saat Kinar menaikkan kedua kaki lalu memeluknya, membuat aroma sabun menguar sampai penghidunya.

“Tapi sebagai orang yang belakangan ini kenal sama lo, kayaknya lo tipe orang yang harus terikat komitmen deh,” katanya. “Bukan cuma pertimbangan soal income, tapi lo kayaknya tipe orang yang kalau dikasih kebebasan malah males-malesan karena nggak ada tuntutan. Mau itu kerja kantoran atau bisnis keluarga lo, menurut gue harus ada kewajiban yang mengikat lo.”

“Anjir emang lo yang paling paham gue, Cil. Libra kebanyakan gitu, soalnya. Apalagi kalau nggak ada temennya, susah.” Jawaban Bara membuat Kinar memutar dua bola matanya. “Dulu juga tugas akhir gue bisa kelar gara-gara Adis — “

Senyap.

Kedua mata Kinar terpaku lurus menatap Bara. Sampai Bara merasa harus membanting topik pembicaraan. “Cieee. Tapi ternyata diem-diem merhatiin gue, ya?”

“Nggak diem-diem. Gue memang merhatiin lo.” Alis Bara terangkat saat Kinar beranjak dari duduknya, melenggang ke dapur yang terpaut beberapa langkah saja sehingga suaranya masih terdengar. “Termasuk rambut lo, udah kepanjangan itu. Gerah gue liatnya.”

“Ih mau lo apain, Cil?” Bara bergidik saat Kinar kembali dengan gunting di tangan. “Nggak mau ah— “

“Selama ini juga gue potong rambut sendiri, kok. Baik-baik aja, kan?” bujuk Kinar, suaranya masih datar. Bara semakin yakin, dengan suara dan wajah senetral itu, Kinar memang bukan persuader yang baik. Kalau jualan pasti susah lakunya. “Buka bajunya.”

“Buka bajunya?”

“Buka bajunya.”

Tapi Bara selalu mendapati dirinya tidak bisa membantah perintah Kinar. Termasuk dirinya yang kini meloloskan kaus dari leher, lalu kembali melempar tatapan tajam. Bibirnya sudah terbuka untuk melayangkan tuduhan, namun tertahan saat Kinar mengalungkan kausnya sebagai serbet cukur.

“Supaya nyapunya gampang, rambutnya nggak kececer dimana-mana,” jelasnya. Kinar berlalu untuk menempatkan cermin di atas meja yang disandarkan pada gelas. Kemudian menyisir surai Bara ke arah depan, hingga menghalangi indera penglihatannya.

Setelahnya, Bara hanya bisa mendengar bunyi derit gunting yang bersinggungan dengan surai yang terpangkas. Matanya melihat helai demi helai rambut yang jatuh pada kausnya.

Entah atas dasar apa, namun Bara menahan napasnya saat merasa Kinar ada di hadapannya. “Cil?”

“Hm.?”

“Cil…”

“Apa?”

“Cuma mau make sure lo masih di sini.”

“Kepala lo lagi berisik ya? Tumben nggak banyak omong.”

Bara berdeham. Ia masih belum bisa melihat keberadaan Kinar, namun derap langkahnya sudah cukup menenangkan Bara. “Soal komitmen yang lo omongin tadi — ”

“Tegak duduknya.”

Bara meneguk salivanya sebelum patuh meluruskan tulang belakangnya. “Soal komitmen yang lo bilang barusan… maksudnya nikah, ya?”

“Nggak juga sih. Komitmen kan nggak cuma muncul di hubungan.” Bara kini bisa merasakan kehadiran Kinar di sisi kanannya. “Apapun yang bisa mengikat lo supaya lo punya tujuan, tanggung jawab. Nggak mesti grand, asal teratur aja.”

“Contohnya?”

“Di deket tempat siaran gue ada tempat gym yang baru buka. Diskon 25% kalau lo apply membership setaun. Lumayan, kan? Biar lo ada alesan bangun pagi selain nungguin gue sarapan bareng.”

Bara tidak menjawab, namun tanpa sadar menoleh untuk menuntut penjelasan dari Kinar. Bahunya tersentak saat Kinar memegang sisi kepalanya agar kembali menghadap ke depan.

“Siapa tau lo mau mulai nge-gym, lagi,” tutur Kinar sebagai penumpas rasa penasaran Bara. “Perut kayak gitu nggak mungkin tiba-tiba jadi aja, kan? Nggak mungkin pengangguran yang minum alkohol tiap malem kayak lo perutnya gitu, kalau lo nggak pernah nge-gym.”

Bara melirik perutnya sebelum menutupnya dengan kedua tangan. Entah mengapa pipinya menghangat. “Dulu emang rajin, terus berenti.”

Let me guess.” Kedua mata Bara sontak tertutup saat Kinar mulai memangkas rambut bagian depan. “Sekarang males karena udah nggak ada temennya?”

“Mhm,” jawabnya. “Dulu bareng Aksa.”

Well, it’s never too late to start over? Keburu lo buncit, balikin laginya susah–”

“Aksanya kan, udah nggak ada.”

Ada sepotong jeda yang Kinar habiskan untuk berkutat dengan rambut Bara. Hening di antara mereka diisi oleh derit gunting di tangan Kinar.

“Diskonnya bisa berlaku buat semua orang kok. Nggak mesti jadi temennya Aksa dulu baru bisa daftar.” Suara Kinar mengalun lembut. “Nama lo Baskara Raditya. Bukan Baskara temennya Aksa. You should start to live your life that way.

Senyap.

Bara menggigit bibir bawahnya saat tiba-tiba merasa sesak. Ucapan Kinar terasa jauh lebih dalam dari konteks pusat kebugaran yang baru buka.

“Rambut lo panjang banget. Terakhir potong rambut kapan, sih — “

“Hari ini gue ketemu Adis.” Bara akhirnya memuntahkan kalimat yang mengendap di pangkal tenggorokannya sejak awal berkunjung ke kamar 520. “Gue… akhirnya ketemu Adis.”

Bunyi derit gunting terhenti. “Oh, terus? Gimana?”

“Adis nggak jadi nikah sama cowok itu.” Bara mengepal tinju di atas pahanya. “Dia bilang mau bantu gue, tapi gue bilang nggak mau.” Tidak kunjung menuai tanggapan, Bara melanjutkan lagi, “Adis masih sama, ternyata. Masih cerah, idealis, masih tau apa yang lagi dia omongin — “

“Gue nggak nanya Adis, gue nanya lo.”

“Gue?”

“Iya. Lo.”

“Gue…” Lidah Bara mendadak kelu. Perasaannya kusut. Butuh beberapa detik sampai Bara mampu mengurai apa yang ia rasakan, dan meramunya menjadi susunan kata-kata. “Gue masih nggak bisa benci sama Adis. After all she did to me, gue tetep nggak bisa, Cil.”

Bara tidak perlu melirik cermin untuk bisa melihat ekspresi Kinar yang kini berdiri di belakangnya. Sudah pasti perempuan itu tetap tenang.

Kelabu seperti biasa.

Lantas Bara sedikit mendongak, kepalanya menyentuh tubuh Kinar yang kini mematung tanpa bicara.

“Kok tiba-tiba banyak yang peduli sama gue ya, Cil?” tanya Bara. “Padahal gue baik-baik aja.” Kinar hanya menanggapi dengan segaris senyum tipis. “Iya, kan?”

Eventually.”

“Berantakan banget, ya?”

Masih bisa dirapiin kok,” balasnya. Mata Bara terpejam saat Kinar menyapukan jari di atas keningnya. “Sabar, sebentar lagi selesai.”

Bara yakin Kinar pun sebetulnya sadar, percakapan mereka bukan lagi soal potongan rambutnya.

--

--