274. Belenggu Kelabu

seokjinjuseyyo
10 min readFeb 26, 2023

--

From Mahika: Baskara Raditya (seokjinjuseyyo on twt)

Kelabu.

Bahkan sampai pintu kamar nomor 520 terbuka, yang pertama menyapa indera penglihatan Bara adalah warna kelabu.

Bara sering menjalin kontak mata dengan lawan bicara untuk memperhatikan gelagatnya. Menafsirkan hal-hal terkecil meliputi intonasi suara sampai raut wajah, untuk menilai karakter seseorang.

Tapi tidak dengan Keenara.

Dia yang tidak pernah kentara, seterang putih apalagi sekelam hitam–kelabu.

Sorot matanya dingin dan menusuk. Bibirnya masih terkatup bahkan setelah Bara dipersilakan masuk. Duduk di kursi sebagai tamu, sementara perempuan itu menempati singgasana di tepi kasur. Kinar tidak membuang wajahnya, terus membalas tatapan nyalang yang diberikan Bara.

Bara yang akhirnya memutus tatap. Meratapi seikat bunga layu di genggaman, sebelum menaruhnya di meja.

“Di antara lo sama gue, orang yang paling berhutang penjelasan adalah lo, Keenara. Banyak yang harus lo jelasin sama gue.” Bara akhirnya memulai. “Dan kata maaf, adalah kata yang paling tepat buat mulai penjelasan lo.”

Masih kelabu.

Bara membuka kerah kancing kemejanya. Mengusap tengkuk guna mengusir emosi yang mulai menjeratnya. “Gue kayak orang tolol, tau nggak?” sindirnya. “Gue siap-siap lama banget. Milih baju yang paling bagus, gue setrika berkali-kali biar nggak kusut–anjir, kayaknya waktu gue interview kerjaan juga gue nggak serapi ini.”

Alih-alih marah dan menggebu, Bara seperti orang yang putus asa. Intonasinya landai dan lembut, namun ia menekankan setiap kata. Sayangnya, sorot mata Bara tidak dilibatkan dalam sandiwara. Dari mata yang berkilat-kilat, Bara jelas kecewa.

“Gue nggak tau lo suka bunga apa. Jadi gue konsultasi sama tukang bunga di Wastukencana. Gue certain semua tentang lo. Gue bilang, saya mau ketemu sama perempuan yang bakal protes kalau parfum saya terlalu nyengat. Perempuan yang bakal marah kalau bunganya kebesaran, jadi ribet bawanya. Perempuan yang ngerasa bunga itu nggak penting, karena ujung-ujungnya bakal jadi sampah.

“Tapi karena hari ini bakal spesial, seenggaknya buat gue, makanya gue tetep beli bunga. Buat lo.” Bara memilin bibir bawahnya. Memalsukan senyum dengan bibir bergetar. “Lo kebayang nggak, gimana perasaan gue waktu nyampe sana malah ketemu sama Adis?”

Masih kelabu.

“Kecewa, Cil. Sedih, marah juga,” lanjutnya penuh penekanan.

Diliriknya Kinar yang masih betah menatapnya lurus. Setelah cukup lama mengenal Kinar, Bara tau perempuan itu memang kesulitan mengurai perasaan, persis seperti abangnya.

Namun untuk kali ini, Bara tidak sedang mampu berkompromi dengan sifatnya.

“Bingung gue sama lo, Cil.” Bara menumpukkan kedua sikut pada paha. Tubuhnya melengkung sembari terus memijat telapak tangannya. “Bisa nggak sih, lo nunjukin perasaan lo sedikit aja–”

Merah kalau marah, kuning kalau seneng, atau warna apa aja asal maknanya jelas. Lo pernah minta gue kayak gitu, inget nggak?” Suara Kinar membuat Bara akhirnya mendongak, masih dengan posisi yang sama. “We’ve promised to stay true, showing colors as it is, and i always did. Apa yang gue rasain adalah apa yang gue tunjukin. Gue nggak pernah bohong sama lo.”

Kelabu.

Bara tergelak sumbang. “Jadi lo nggak ngerasa bersalah sama sekali?”

“Bukannya lo harusnya berterima kasih sama gue?” Jawaban Kinar membuat darah Bara mendidih. “Percaya sama gue, Adis itu paling tepat buat lo–”

“Kalau gue maunya lo, gimana?”

Senyap.

Meski tidak kentara, namun Bara menangkap riak pada air muka Kinar.

“Kalau gue bilang, selama ini gue ikut campur urusan lo, karena gue nggak mau lo kenapa-napa, gimana?” Bara beranjak dari kursinya. Merajut langkah demi langkah hingga berdiri di hadapan Kinar. Membuat perempuan itu sontak mendongak agar bisa menatap Bara. “Kalau gue bilang, semua makanan enak ngingetin gue sama lo karena gue pengen lo nyicipin itu juga. Gue sengaja dengerin semua sesi siaran si Trixie yang lo handle, gue denger lagu yang lo pilih. Gue denger baik-baik liriknya supaya tau apa yang lagi lo rasain.”

Bara mengisi jeda dengan menarik napas sedalam-dalamnya.

“Kalau gue bilang gue sengaja ngomong setiap kita nonton film, sengaja nyanyi Merasa Indah keras-keras, sengaja nyalain lampu siang-siang, sengaja naro gelas di ujung meja. Semua gue lakuin biar lo ngomelin gue, nge-chat gue,” tuturnya. “Kalau gue lakuin semua itu buat lo, gimana?”

Kinar bergeming. Namun pupil matanya sedikit melebar.

“Kalau gue sayangnya sama lo gimana, Cil, gue tanya?”

Senyap.

Kedua sudut bibir Kinar merenggang. Detik berikutnya menjelma menjadi secercah tawa kecil.

Bara mengernyit. “You just laughed–”

“Don’t,” jawabnya. “Lo nggak boleh sayang sama gue.”

“Sekarang ada aturannya mana orang yang boleh gue sayang mana yang nggak?”

Just don’t.”

“Kenapa?”

“Karena gue nggak akan bisa kasih apa yang lo mau.”

“Yang gue mau?” sambar Bara. “Emang apa yang gue mau dari lo? Nggak ada, Cil. Gue cuma mau ada buat lo, kayak lo yang selama ini ada buat gue–”

Look around you,” tukas Kinar.

Bara terlalu sibuk mematri perhatian pada Kinar sejak langkah pertama, sehingga Baru sempat mengamati sekeliling kamar 520. Dua koper besar di sudut ruangan. Beberapa kardus rokok yang sudah disegel. Tirai yang sudah tidak lagi terpasang menyisakan vitrase. Rak dapur yang kini kosong, tidak lagi penuh oleh alat makan yang biasa Bara pinjam.

“Cil…” Lidah Bara mendadak kelu. Butuh beberapa tarikan napas sampai ia menemukan suaranya. “Lo… mau kemana?”

“Lo inget mimpi gue apa?”

“Produser,” gumam Bara. “Lo kan lagi magang jadi produser…”

Kinar menggeleng. Beranjak dari duduknya hingga Bara melangkah mundur. Berjalan mengitari kamar 520. “Dimarahin komdis, ikut kepanitiaan, punya group kelas, belajar di perpustakaan, jajan di kantin tanpa mikir sisa uang cukup buah besok apa nggak, ngejar deadline tugas, kuis dadakan, begadang buat ujian, nyiapin sidang, lulus, wisuda, punya gelar…” Tawa Kinar mengisi jeda. “Hal yang cuma-cuma buat lo, dan mungkin kebanyakan orang. Tapi gue pengen ngerasain itu juga. Itu mimpi gue, kuliah.”

Bara mengepal tinju di sisi celana. Tidak ingin Kinar menangkap tubuhnya yang mulai gemetar karena prasangka di benaknya. Tidak juga ingin menginterupsi binar di mata Kinar yang hanya muncul saat sedang membicarakan mimpinya.

“Gue nggak pernah berani mimpi ngerasain pendidikan yang maksimal. Tamat SMA aja nggak.” Ujung jemari Kinar menyentuh kardus yang belum tertutup rapat. Menyunggingkan senyum setelahnya. “Tapi ternyata gue dikasih jalan lewat cara dan orang yang nggak pernah gue duga, lewat Abang. Abang mau biayain gue kuliah–”

“Kemana…” Suara Bara nyaris tak terdengar. “Sejauh… apa?”

Senyap.

Bara berusaha memaksakan tawa. Tidak semestinya ia memasang wajah masam saat menerima kabar baik. Setidaknya bagi Kinar, ini jelas kabar baik. “O-oh, inget gue. Lo sempet bilang lagi ikut kejar paket C itu, kan? Udah keluar emang jadwal ujiannya? Kok gue nggak tau–”

“Paket C kelamaan. Gue mau langsung coba ikut GED.” General Education Development, ujian kesetaraan sekolah menengah atas. jawaban Kinar sudah cukup menohoknya. “Not gonna be easy either. Tapi gue mau coba buat mempersingkat waktu, sekalian kuliah di luar — ”

“Ini… lo yang mau?” Bara membuang tatap pada sepasang sepatunya. Rasanya berat kalau harus melihat senyum di wajah Kinar. “Lo yang mau, Cil? Bukan dipaksa Deehan, bukan bokap lo — ”

“Gue yang mau,” ujarnya. Bara menangkap intonasi antusias dari kalimatnya. “Ini kesempatan yang nggak dateng dua kali, kan? Malah mungkin cuma sekali seumur hidup gue. Selama ini gue nggak pernah berani punya mimpi karena masalah finansial. Sekarang ada Abang yang bisa biayain semuanya. It’s great, right?”

Bara memejamkan mata. Ini kabar baik. Kabar yang semestinya baik.

“Gue juga bisa ketemu banyak orang baru. Belajar langsung dari orang-orang hebat. Kuliah di tempat bagus. Nikmatin environment hidup di luar negeri. Kayak lo bilang waktu itu, after a long time surviving i think it’s the right time for me to just live — ”

“Terus gue… gimana?” tanya Bara, terdengar seperti mengemis belas kasih. Matanya terbuka untuk memancarkan putus asa.

You’ll be just fine. Lo harus percaya sama diri lo sendiri — ”

“Nggak,” bantahnya. “Gue butuh lo buat pulih.”

“Lo cuma butuh diri lo sendiri buat pulih — ”

But i want you.” Kalimat Bara menggantung. “Gue mau bareng-bareng terus sama lo.”

Kinar menarik senyum tipis.

“Di antara semua mimpi-mimpi lo itu, nggak ada gue sama sekali, Cil?”

Lengang.

“Mimpi kita beda.” Kinar menghampiri Bara. Dari jarak sedekat ini, binar di mata Kinar terlihat lebih nyata. “Jauh banget bedanya.”

Kedua mata Bara terus bergerak. Mencoba menggali dusta yang Kinar sembunyikan pada kelabunya.

Namun nihil.

Benar kata Kinar, it is what it is.

“Gue tau, mimpi lo adalah berkeluarga. Lo udah belajar dari retaknya rumah tangga bokap nyokap lo, dan lo bakal nerapin itu di rumah tangga lo kelak. And i can picture you will be doing so great as a husband, a father,” tuturnya lembut. “Tapi bukan gue orangnya.”

Bara menahan napasnya.

“Menikah, punya anak, menua bersama–that’s never the life i want to live. Makanya gue bilang, gue nggak akan bisa kasih apa yang lo mau–”

Then i’ll just wait,” potong Bara cepat. “Gue bisa nunggu lo pulang. Setaun lagi, dua taun lagi, nggak papa. Gue paham, di umur lo yang sekarang mungkin lo nggak kepikiran sampai sana. Tapi siapa tau beberapa tahun lagi prinsip lo berubah, kan? Until then, i can wait–”

Don’t.” Kinar membubuhkan senyum getir. “Please.”

“Gue nggak ngerti. Kenapa?” desak Bara. “Gue… gue bisa menghormati keputusan lo. Kuliah, hidup di luar negeri, selama apapun yang lo mau–terserah. Gue cuma mau nunggu lo. Kenapa nggak boleh?”

Kinar tidak langsung menjawab. Kedua matanya menjamah seisi ruangan seakan mencari padanan kata yang tidak akan terlalu menyakiti Bara.

“Jawab gue. Kenapa, Cil?” Bara memegang kedua bahu Kinar. Netranya masih bergerak lincah, mencoba mencari jawaban dari sepasang matanya.

Kelabu.

Masih kelabu. Selalu kelabu.

Wajah Bara menegang saat menyadari suatu hal. Binar yang selalu menyala saat Kinar membicarakan mimpinya tidak ada di sana. Tidak pernah muncul saat Bara menatapnya. “Cil, lo… ”

Caranya menatap Kinar, tidak sama dengan cara Kinar menatapnya.

“Lo ngerasain apa yang gue rasain, kan?” desak Bara lagi. “Kita udah cukup lama ngabisin waktu bareng-bareng, lo juga ngerasa hal yang sama, kan?”

Hening.

Please tell me you also feel the way i feel.” Bara menurunkan intonasi suara, seperti sedang memohon. “Tolong bilang gue nggak jatuh cinta sendirian.”

Kinar bergeming.

Namun diamnya Kinar adalah jawaban yang sangat jelas untuk Bara.

“Cil…” Tangan Bara merosot dari bahu Kinar. Langkahnya ditarik mundur hingga terduduk di kursi ruang makan. Kepalanya berdenyut hebat. Napasnya terpenggal, mendadak dirampas kenyataan. Rentetan peristiwa yang terjadi belakangan ini melintas di hadapannya.

Ternyata selama ini, Bara keliru.

“Jadi maksud lo… selama ini cuma gue yang nunggu-nunggu pagi, kadang sampe nggak tidur supaya kita bisa sarapan bareng?” tanya Bara sepotong-potong. “Cuma gue yang deg-degan, cuma gue yang tiap hari ngorek-ngorek alesan supaya kita bisa ketemu? Iya, Cil?”

Sunyi.

Please ngomong, Cil. Ngomong…”

Namun Kinar tetap kelabu.

Bara menyugar surainya. Berulang kali mengusap wajah, sebelum kembali menatap Kinar yang masih membatu.

“Kalau gitu bohong aja, nggak papa,” paksa Bara. Suaranya bergetar hebat. “Gue mohon sama lo. Sekali aja, Cil. Bohong sama gue. Bilang lo ngerasain apa yang gue rasain juga, ya? Gue nggak mau sendirian.”

“Baskara.”

Please…” tuntut Bara sekali lagi. “Sekali aja, Cil. Gue nggak suka sendirian.”

“Lo inget nggak, gue pernah nanya lo lebih suka gue bohong demi jaga perasaan lo atau mending gue jujur tapi nyakitin lo? Terus lo jawab–”

“Nggak, Cil, gue nggak mau denger.” Bara menutup kedua telinga. Meski sia-sia saja karena deru napasnya saja masih terdengar. “Gue nggak mau–”

“Terus lo jawab, mending lo didamprat kenyataan supaya lo nggak perlu nebak-nebak arti omongan gue. Inget, kan?”

“Cil… Udah…”

“Perasaan yang gue rasain ke lo nggak sekuat itu sampai gue mau ngorbanin mimpi-mimpi gue,” jawab Kinar. “Nggak sebesar itu buat ngalahin logika gue.”

Setiap kata yang Kinar ucapkan bagai peluru tak kasat mata yang kini menembus sanubarinya. Untuk itu Bara memalingkan wajah, tak ingin Kinar mendapati air mata yang mulai menggenang di pelupuknya.

“I do have certain feelings for you. But it doesn’t enough to make me wanna stay,” lanjutnya. “Untuk bagian itu, gue minta maaf.”

“Maaf… buat apa?”

“Kalau gue pernah bikin lo salah paham dan ngerasa demikian.”

So we’re not meant to be together,” ucap Bara. Kali ini pernyataan, bukan lagi pertanyaan. Tidak ada yang perlu dipastikan lagi. Semuanya sudah jelas. “We will never be.

Ada segaris jeda yang Bara habiskan untuk menata hatinya.

Terlalu banyak.

Perasaan yang berkecamuk di hati Bara saat ini rasanya terlalu banyak.

Bara sampai sesak. Kedua sikutnya kembali bertumpu pada paha, menundukkan badan. Tak henti memijat telapak tangan. Berulang kali menarik napas lalu membuangnya kasar. Menyugar surai, sesekali menjenggutnya untuk mengusir pening di kepala. Butuh waktu cukup lama baginya untuk memilah perasaan apa yang lebih dulu ingin Bara muntahkan.

Sementara Kinar tetap diam. Memberi ruang bagi Bara untuk bernapas sebanyak-banyaknya. Tidak memaksa, tidak mempertanyakan. Apalagi menunjukkan belas kasih.

“Kapan lo pergi?” Belum sempat Kinar bicara, Bara kembali menyela. “Jangan dijawab deh. Kalau gue tau lo kemana, kapan, kemungkinan besar gue bakal nyusul lo lagi,” sindirnya. “Pergi setenang mungkin, bisa?”

Kinar mengangguk.

Bara menghimpun kekuatan untuk beranjak dari duduknya. Ditatapnya perempuan itu sekali lagi. Rasanya percuma saja kalau Bara berharap Kinar akan merubuhkan prinsipnya dalam hitungan menit.

Keenara Ayu bukan orang yang seperti itu.

Lagipula, ini semestinya kabar baik.

Lantas Bara menepikan perasaannya. Ada kabar baik yang harus dirayakan. Setidaknya untuk Kinar, ini kabar baik.

Congratulations, Keenara. Besar banget kabar baiknya.” Diraihnya bunga dari atas meja, lalu ia berikan dengan segaris senyum terbaiknya. “Semoga kedepannya, doa-doa baik dari gue buat lo juga bisa terwujud satu per satu.”

Thank you. Buat doa-doa baiknya. Buat semuanya. I can’t make this far without you.” Kinar tersenyum dengan matanya. “Doa gue buat lo juga sama baiknya, bahkan lebih.”

Rahang Bara sampai menegang untuk mempertahankan senyum di wajahnya. Pelan-pelan tangannya terulur untuk mengusap pucuk kepala Kinar. “Lo… keren. Hebat. Nggak pernah nggak hebat,” gumamnya. “It’s time for you to shine, Cil. Kejar semua mimpi lo, ya? Nanti gue tagih ceritanya.”

Kinar mengangguk. “Semoga lo bisa capai cita-cita lo juga.”

Menikah. Bara menggigit bibir yang bergetar saat teringat cita-cita yang ia tuliskan pada angket siswa di bangku sekolah.

Just so you know, i always watch the sunset and hope you are doing the same too. Jadi setiap lo lagi liat matahari terbenam, entah itu sengaja atau nggak, lo harus inget gue juga lagi ngelakuin hal yang sama,” tutur Kinar. “The sunset will reminds you, matahari juga harus redup sebelum bersinar lagi.”

Matahari, seperti arti namanya, Baskara.

Everytime you feel down, you can always look up to the sunset too,” lanjutnya. “Ada gue yang bakal selalu berpihak sama lo.”

Meski berat, Bara menarik sentuhannya. Menyembunyikan tinju di sisi saku celana, sebelum mengangguk. “Kecuali matahari yang ini. Redup terus soalnya.”

“You’re the brightest, actually,” jawab Kinar. “Tapi lo keseringan liat orang lain, berpaku sama warna orang lain. Jadi lo nggak bisa liat itu.”

Lidah Bara mendadak kelu. Tidak tau tanggapan apa yang tepat untuk mengisi senyap. Kalau boleh jujur, Bara ingin selamanya di sini.

Sampai jumpa lagi, rasanya berat bagi Bara untuk mengucapkan itu. Sebab Bara sendiri tidak yakin, apakah ada kesempatan bagi mereka untuk berjumpa, sekali lagi.

Tidak juga dengan ucapan selamat tinggal, a proper goodbye. Terlalu munafik bagi Bara. There is nothing good in goodbye. Ini bukan perpisahan yang bisa Bara rayakan dengan selusin donat. Sehingga yang meluncur dari bibir Bara adalah,

I’m glad to know you. Be good, Cil.” Bara menatapnya lekat. Memahat paras perempuan itu dalam ingatannya. “Gue … ke sebelah dulu.”

Sampai pintu 520 tertutup dan menelan sosok perempuan di dalam sana, Keenara tetap kelabu.

Keenara adalah kelabu-nya. Patah hati terbesarnya.

Pertemuan itu adalah terakhir kalinya Bara melihat Keenara Ayu.

Sebelum kamar 520 dilahap sunyi, selamanya.

--

--