Éphémère — Bahagia(?)
|| tw — car crash, mention of blood, a few harsh words
Seperti yang telah direncanakan semalam, Arhan benar-benar menemani Arin yang ingin memakan bakso di tempat kesukaannya sebelum keberangkatannya ke Jakarta. Mereka tidak hanya berdua, karena Arhan mengajak serta Pak Hadi; supir pribadi Bunda, untuk makan bersama. Tentu saja Almira tidak akan membiarkan Arhan dan Arin berangkat sendiri ke bandara.
“Gimana? Beneran enak ‘kan baksonya?” tanya Arin pada Arhan yang tengah duduk di hadapannya.
Kini mereka berdua tengah menunggu pesanan bakso frozen untuk dibawa ke Jakarta yang masih disiapkan oleh penjualnya. Tidak lupa juga Arhan membelikan bunda dan Andra yang nanti akan dititipkan ke Pak Hadi.
“Iya, enak. Kamu tau tempat ini darimana emangnya?”
“Waktu SMA diajakin temenku, akhirnya keterusan sampek kerja juga dia masih sering ngajakin aku makan di sini,” jelas Arin bersemangat.
Sedang Arhan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. “Yang ngajakin temen cewek, ya?”
“Bukan, si Wisnu itu loh, Han.”
Mendengar jawaban Arin membuat Arhan seketika terdiam. Iya, tentu saja dia cemburu saat mengetahui fakta bahwa Arin sering makan bersama dengan Wisnu yang sempat menjadi ancaman baginya.
Sedikit konyol memang, pun Arhan mengakui itu.
“Kamu kenal Wisnu ‘kan?”
“Iya, aku tau. Pernah ketemu juga,” jawab Arhan sedikit dingin dan malas.
Arin memusatkan perhatian pada pria itu, “Kok jawabnya gitu? Cemburu, ya?”
Agaknya Arin bisa membaca raut muka Arhan yang berubah. Detik berikutnya tersirat pemikiran untuk menggoda calon suaminya tersebut.
“Ih lucu banget kamu kalo cemburu.” Arin pun terkikik seraya mencubit gemas pipi Arhan. “Sekarang dengerin aku, ya. Aku sukanya cuma sama kamu, Han. Kita juga udah sampai di titik ini, jadi nggak ada lagi cowok lain yang ada di pikiran aku, cuma kamu sama Juan yang bisa masuk. Sampai sini ngerti, ya?”
Sontak saja pipi Arhan merona. Pria itu tersipu begitu kalimat penjelasan Arin menyapa telinganya.
“Ehehe iya, aku ngerti. Maaf, Sayang.”
“I love you, Han.”
“I lo— ”
“Mas Arhan, ini baksonya udah siap.”
Belum sempat ia membalas ungkapan cinta ke Arin, Pak Hadi lebih dulu menyelanya karena pesanan bakso mereka sudah selesai disiapkan. Akhirnya pria itu berdiri dan membayar tagihan mereka.
Arin pun terkikik karena menganggap itu lucu. Toh tanpa Arhan membalas ungkapan cintanya, Arin dengan jelas mengetahui bahwa pria itu juga sangat mencintainya.
Di tengah perjalanan mereka, Arhan tidak sengaja melihat sebuah toko bunga di seberang jalan. Entah mengapa tiba-tiba ia terpikirkan untuk membelikan Arin buket bunga.
Tapi dirinya bingung harus beralasan bagaimana. Jika ia berterus terang ingin membelikan Arin, terkesan tidak romantis, dan juga Arin pasti akan menolak.
Selang beberapa detik ia teringat jika Bunda baru saja mengabari, bahwa beliau juga sedang dalam perjalanan menuju bandara. Agaknya Almira tidak tega melepas keponakannya pergi begitu saja. Padahal nanti mereka akan bertemu kembali saat pernikahan Arhan dan Arin.
Lantas ide cemerlang pun melintas di pikiran Arhan.
“Pak, bisa berhenti di depan sebentar, nggak? Aku mau mampir beliin bunga buat Bunda,” tanya Arhan sopan kepada Pak Hadi.
“Loh, biar saya anterin kesana mas, ‘kan tokonya ada di seberang.”
“Eh, nggak usah, Pak. Nanti repot puter baliknya jauh, biar saya aja yang jalan kesana.”
“Yasudah, Mas. Saya tunggu disini, ya,” ucap Pak Hadi setelah menepikan mobilnya.
“Aku tunggu sini sama Pak Hadi aja, ya.”
Arhan mengangguk, “Iya, kamu duduk manis aja udah, aku cuma bentar.”
Arin mengangguk. Sedangkan Arhan, ia segera berjalan menuju toko bunga setelah berpamitan. Senyum sumringah tak kunjung memudar dari bibirnya. Pria itu sedang sibuk membayangkan bagaimana reaksi Arin nanti saat mengetahui tujuan awal Arhan membeli bunga adalah untuk dirinya. Tapi ia akan tetap membeli juga untuk Bunda, sebagai ucapan terima kasih karena telah menaruh perhatian selama ia berada di Malang.
Selagi menunggu Arhan, kini Arin sedang sibuk mengobrol dengan Pak Hadi. Sebatas bertanya pertanyaan umum, seperti; berapa banyak anak yang dimiliki Pak Hadi, juga sudah berapa lama Pak Hadi bekerja dengan Bu Almira. Namun di tengah itu, dering ponsel Arhan tiba-tiba memecah pembicaraan mereka. Arin menoleh, ternyata telepon dari Bu Almira.
Sebenarnya Arin enggan untuk mengangkatnya, selain itu takutnya tidak sopan jika ia mengutak-atik ponsel orang lain. Tapi jaga-jaga jika ternyata ada sesuatu yang penting, maka ia memutuskan untuk menerima telepon tersebut.
“Halo, ini Arin, Tante,” sapa Arin kepada Almira.
“Loh, Arhan kemana, Rin?”
“Arhan masih beli sesuatu, Tante. Kalau penting, biar Arin panggilin Arhannya,” ujar Arin sopan.
“Nggak usah, Rin. Bilangin aja kalau bunda udah mau nyampek di bandara, ya.”
“Iya, Tan, nanti Arin bilangin ke Arhan.”
“Makasih, Rin.”
Setelah itu telepon pun terputus. Namun, saat Arin ingin meletakkan kembali ponsel Arhan, ia baru menyadari jika dompet pria itu tertinggal. Pasti setelah membayar bakso tadi Arhan lupa memasukkannya ke dalam saku.
“Pak, bentar ya, aku mau nganterin dompet sama HP-nya Arhan dulu,” pamit Arin pada Pak Hadi.
“Loh, ketinggalan ya, Mbak? Sini, biar saya yang anterin.”
“Makasih, Pak. Tapi nggak apa-apa, biar aku aja, sekalian mau lihat-lihat juga.”
Setelah itu Arin pun bergegas untuk menyusul Arhan.
Di sisi lain, saat Arhan ingin membayar bunganya, ia baru menyadari jika dompetnya tidak ada di dalam saku. Pun ia juga tidak bisa menemukan ponselnya saat ingin membayar secara nontunai.
“Maaf, kayanya dompetku ketinggalan di mobil deh, Mbak,” ujar Arhan kepada penjaga toko tersebut.
“Bentar, biar ku ambil dulu, Mbak. Aku nggak akan kabur, kok. Mobilku ada di seberang, kalau Mbak nggak percaya bisa liatin aku dari luar toko sambil siap-siap nelpon polisi kalau aku nanti kabur,” jelas Arhan meyakinkan.
Sedang si penjaga toko terlihat seperti sedang menahan tawa, namun ditahan karena mungkin takut menyinggung Arhan.
“Yaudah, Mas. Tapi bener ya, jangan kabur.”
“Iya, Mbak.”
Tanpa tunggu lama, Arhan segera bergegas kembali ke mobilnya. Saat ia baru keluar dari toko, ia bisa melihat Arin yang tengah bersiap menyeberang, dengan sebuah dompet di genggamannya. Dan sepertinya Arin juga menyadari keberadaan Arhan, lantas melambaikan tangan pada pria itu.
“Kamu di situ aja, biar aku yang anterin dompetnya kesana,” ucap Arin sedikit lantang agar terdengar oleh Arhan.
Arhan pun mengangguk. Lagi-lagi senyum di bibirnya kembali mengembang. Entah mengapa setiap kali melihat Arin, Arhan merasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia.
Setelah lampu bagi pejalan kaki yang ingin menyeberang berubah menjadi hijau, Arin segera berjalan bersamaan dengan pejalan kaki lain yang juga akan menyeberang. Sesekali mencuri pandang pada Arhan, lalu senyum pun merekah di bibirnya.
Iya, Arin juga sama bahagianya seperti Arhan.
BRUAK!
Hanya dalam waktu sepersekian detik saja, senyum Arhan memudar saat melihat sebuah mobil yang tadinya diam tiba-tiba terdorong sangat keras oleh mobil yang hilang kendali di belakangnya sehingga mobil tersebut menghantam tubuh kekasihnya. Tubuhnya bergetar dan kakinya terasa lemas, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depan matanya.
Suasana di sana seketika menjadi riuh, banyak orang berkerumun untuk menyelamatkan para korban; termasuk Arin yang sudah tergeletak di sana.
Saat melihat mobil yang tadi hilang kendali itu berniat untuk kabur, Arhan lantas berlari menyeberang jalan yang lampunya sudah berubah menjadi hijau kembali. Ia sama sekali tidak peduli dengan suara klakson yang ditujukan padanya. Ia marah. Terlebih pada mobil yang tidak bertanggung jawab tersebut.
“Brengsek, jangan kabur! Keluar sekarang lo bajingan!” teriak Arhan sembari memukul-mukul kap mobil tersebut. Pria itu benar-benar murka.
Namun malang, bukannya menuruti perkataan Arhan, mobil tersebut kabur secepat kilat dan malah menyerempet Arhan, membuat pria itu tersungkur.
Pak Hadi lantas segera menghampiri Arhan, “Mas Arhan udah, Mas. Ayo kita ke rumah sakit aja, Mas. Saya udah telepon ambulan.”
Saat mendengar suara Pak Hadi, Arhan langsung teringat akan keberadaan Arin. “Pak, Arin gimana, Pak? Arin baik-baik aja ‘kan, Pak?”
Dengan tertatih ia berdiri, kemudian segera menghampiri Arin yang masih tergeletak dan bersimbah darah. Arhan bersimpu, lantas mendekap Arin di dadanya.
“Rin, kumohon bertahan, ya. Bentar lagi ambulannya dateng,” mohon Arhan dengan suara serak karena isakkan.
Sedang yang diajak bicara hanya terdiam, dengan pandangan yang sudah mulai melemah. Arhan segera menggenggam tangan Arin dan menempelkan di pipinya saat tahu kekasihnya itu ingin mencoba menyentuh wajahnya. Ia bahkan tidak memperdulikan jika wajahnya terkena bercak darah dari Arin. “Please, bertahan ya, sayang. Tunggu sebentar, kamu pasti baik-baik aja. Setelah itu kita bisa berangkat ke Jakarta.”
“Han — ”
Samar-samar ia bisa mendengar suara lemah Arin. Hati Arhan terasa semakin hancur saat pandangan mereka bertemu. “Iya, Sayang? Tunggu sebentar, ya.”
“Sa — kit, Han,”
Tentu saja tangis Arhan semakin menjadi saat mendengar rintihan Arin.
“Pak! Cepet panggilin ambulannya. Ayo, Pak!” mohon Arhan pada Pak Hadi.
“Han — ”
“Sayang, please.”
Arhan yang sudah terlihat putus asa pun memohon pada Arin agar calon istrinya tersebut bisa bertahan. Ia menempelkan keningnya pada milik Arin, berharap hal tersebut bisa lebih menguatkan Arin.
“Ma-kasih, un-tuk semuanya,” bisik Arin terbata-bata.
“No, kamu jangan ngomong gitu, Rin. Kamu nggak akan kemana-mana. Kamu cuma boleh pergi ke Jakarta sama aku,” ucap Arhan dengan nada yang sedikit dinaikkan. Ia frustasi.
Arin tersenyum tipis, “A-ku bahagia pu-nya kamu, Han. Terima kasih.”
“Enggak, kamu boleh bilang gitu kalau kamu udah baik-baik aja. Seperti kamu minta aku nunggu kamu sembuh dulu, ya?”
Arhan bisa merasakan anggukan lemah dari Arin setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Tidak lama setelahnya, suara sirine ambulan mulai terdengar mendekat. Namun bersamaan dengan itu, mata Arin perlahan menutup. Tangan yang tadinya menyentuh pipi Arhan pun tiba-tiba merosot. Gadis itu kehilangan kesadarannya.