Éphémère — Berdamai
Arhan menghela napas berat, lantas kembali memarkir motornya di tempatnya semula. Sebenarnya Arhan juga tidak mau menuruti permintaan Andra karena ia ingin segera bertemu dengan Arin yang akhirnya bangun setelah dua hari. Namun, karena Andra telah banyak membantunya, membuat Arhan tidak bisa menolaknya. Walaupun ia sendiri tidak tahu kemana Andra akan membawanya.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya ia bisa melihat Andra yang tengah berjalan ke arahnya.
“Lo mau ngajakin kemana, sih? Sepenting itu emangnya?” protes Arhan.
“Behave juga lo beneran mau nungguin gue. Udah pokoknya lo tinggal ikut aja,” jawab Andra yang kini telah memasuki mobilnya.
Sedang Arhan sedang menahan diri agar tidak berakhir menjitak sepupunya yang terkadang — menurutnya — menyebalkan itu. “Kalau aja kita nggak lagi di area kantor, beneran udah gue jitak,” gerutunya.
Andra hanya bisa menahan tawa sebagai tanggapan atas protes yang dilayangkan oleh Arhan.
“Oh, ngomong-ngomong gimana Arin? Udah ada perkembangan, Han?”
Arhan sedikit menoleh ke arah Andra. “Udah, gue barusan dikabarin adeknya, makanya gue tadi buru-buru mau ke rumah sakit, tapi lo malah ngajakin gue ke tempat yang gue aja gak tau mau kemana. Awas aja kalau ternyata urusan lo ini gak penting.”
“Syukur deh, gue ikut seneng kalau Arin udah bangun. Jadi sepupu gue ini gak akan sedih-sedih lagi.”
Tentu saja Andra tidak akan bilang kalau ternyata ia akan membawa Arhan untuk bertemu dengan orang tuanya. Ia jelas sudah bisa mengira kalau Arhan tidak akan mau bertemu jika dari awal Andra mengatakan tentang fakta itu.
Selang beberapa saat, Arhan mengernyit saat tahu mobil Andra memasuki gang yang menuju ke kontrakannya.
“Lah, ngapain malah ke kontrakan gue?”
Begitu menghentikan mobilnya, Andra menoleh ke arah Arhan. “Ada yang mau ketemu sama lo, Han. Buruan lo turun, kasihan mereka udah nungguin dari tadi.”
Arhan bingung. Memangnya siapa yang mengajaknya bertemu. Seingatnya ia tidak punya teman di Malang. Lagi pula jika ingin bertemu dengannya, kenapa harus menjadikan Andra sebagai perantara.
“Lo gak lagi ngerjain gue ‘kan, Ndra?” Arhan kembali bertanya dengan tatapan menyelidik.
Andra menggeleng, “Gue cuma pengen bantu ngelurusin hidup lo yang kusut itu. Udah buruan turun, gih.”
“Lah, lo gak ikutan masuk?”
“Gak, gue tunggu sini. Ya kalau 5 menit lo gak keluar, gue cabut, sih.”
“Dasar gila!”
Lagi-lagi ia hanya bisa menurut apa kata Andra tanpa menaruh kecurigaan apapun pada sepupunya. Karena yang ia tahu Andra bukan tipe orang yang seperti itu. Namun, ia masih tetap bertanya-tanya tentang siapa yang mengajaknya bertemu.
Begitu hendak memasuki rumah, Arhan terkejut karena pintu rumahnya tidak terkunci. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya telah berada di ruang makan — yang sebenarnya bercampur menjadi satu ruangan dengan dapur — tengah menyiapkan berbagai makanan di meja.
Arhan terdiam. Fakta bahwa sang mama sedang memasak di dapur kontrakan kecilnya, juga papa yang tengah membantu menyiapkan piring seadanya, merupakan pemandangan yang sangat langka bagi Arhan. Lantas dalam hati ia mulai bertanya-tanya, untuk apa mereka berdua kemari?
“Eh, anak mama udah pulang?” sapa sang mama, lantas membuat papanya juga turut menoleh menatap putera semata wayangnya.
Canggung. Tentu saja, setelah pertengkaran Arya dan Arhan, mereka belum sempat berhubungan lagi.
“Yuk makan dulu, mama udah masak buat kita. Loh, Andra mana? Kok nggak kamu ajak masuk sekalian?”
“Mama sama Papa ngapain kemari?” Bukannya menjawab pertanyaan sang mama, Arhan malah balik melempar pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Mendengar hal itu, Arya pun mendekat ke puteranya, karena tidak tahan dengan “perang dingin” antara dirinya dan juga Arhan. “Papa mau minta maaf sama kamu, Han. Maaf, karena selama ini papa sama mama nggak pernah ngelihat dari perspektif kamu. Maaf, selama ini udah bikin kamu merasa sendirian, karena terlalu sibuk sama pekerjaan masing-masing sampai nggak merhatiin kamu,” ucap Arya seraya mengusap lembut kepala puteranya.
Zara tidak tinggal diam, ia menghentikan kegiatannya, lantas ikut menghampiri Arhan.
“Belum terlambat ‘kan, kalau mama sama papa minta maaf ke kamu sekarang? Kamu masih mau maafin mama sama papa ‘kan, Han?” ucap Zara penuh sesal.
Arhan masih bungkam. Sejujurnya jika harus mengingat semua yang telah dilakukan kedua orang tuanya, Arhan masih merasa kesal. Ia merasa kedua orang tuanya tidak pernah menganggapnya berharga, pun selama ini ia juga tidak pernah dirayakan.
Namun, entah mengapa suara lembut Arya dan Zara seolah mampu meluluhkan hati Arhan yang sudah terlanjur membeku tersebut. Maka saat dinding pertahanannya berangsur terbuka, perasaan ingin disayangi yang sejak dari kecil ia dambakan pun menyapa. Bersamaan dengan itu air mata mulai berlinang. Tubuhnya bergetar, Arhan menangis tanpa suara.
Meskipun dari luar Arhan terlihat kuat, nyatanya ia masih seperti anak kecil saat di hadapan orang tuanya. Zara yang melihat itu lantas membawa Arhan ke pelukannya. Tentu saja ia tak dapat menahan tangisnya. Lagi pula ibu mana yang tidak hancur saat melihat anaknya menangis. Benar, itu Zara, tapi bukan Zara yang sekarang ini tengah mendekap erat sang putera, menyalurkan rasa rindu yang membuncah pada Arhan.
“Mama minta maaf, Han. Mama menyesal karena nggak banyak ngehabisin waktu sama kamu. Sekarang tolong kasih kesempatan mama buat menebus semua itu, ya. Mama sayang kamu, mama nggak mau kehilangan kamu, Han.”
Arhan masih belum bersuara. Hanya isakkan yang terdengar darinya. Arya yang sedari tadi hanya memperhatikan, kini ikut mendekap kedua manusia paling berharga di dalam hidupnya.
“Papa juga minta maaf karena udah nganggep remeh kamu, tanpa mikirin perasaan kamu, Han. Kita pulang, ya. Kita mulai dari awal, kita belajar sama-sama buat membangun keluarga kita biar bisa utuh lagi.”
Iya, setelah bertahun-tahun menunggu, inilah yang sebenarnya diinginkan oleh Arhan sejak kecil. Ia sangat mendambakan keluarga yang utuh, dimana saat ia pulang sekolah, mama akan menyambutnya dengan pelukan hangat dan juga masakan buatannya yang telah tersaji di meja makan. Juga saat sore hari, ia akan berlari menyambut papanya yang baru pulang bekerja, berharap akan ditanya bagaimana dengan harinya di sekolah.
“Kita sama-sama pulang ke Jakarta, ya,” ucap Arya lagi.
Jujur saja Arhan bahagia. Namun, untuk kembali ke Jakarta bukanlah hal yang mudah. Karena sekarang ada seseorang yang tidak bisa begitu saja ia tinggalkan.
“Ma, Pa, Arhan juga minta maaf karena pernah bersikap kurang ajar. Arhan bahagia karena bisa ketemu Papa sama Mama lagi. Tapi maaf, Arhan nggak bisa pulang ke Jakarta, Pa. Masih ada yang ingin Arhan usahakan,” jelas Arhan yang masih terbata karena isakkan yang belum sepenuhnya reda.
Zara dengan sigap mengusap air mata Arhan. Lega rasanya saat permintaan maafnya diterima. Namun masih ada perasaan mengganjal saat Arhan tidak mau kembali ke Jakarta.
“Memangnya apa yang mau kamu usahakan, Han? Nggak bisa di Jakarta aja?”
“Nggak bisa, Pa. Papa pernah bilang sama Arhan buat ngambil komitmen ke 1 orang ‘kan? Arhan udah ketemu orangnya, Pa, dan itu yang mau Arhan usahakan.”