Éphémère — Pengecut?

--

Arhan berjalan dengan langkah ringannya — yang ia sendiri saja tidak ingat kapan terakhir kali melangkah tanpa beban seperti ini — , tidak lupa senyum sumringah yang tergambar di bibirnya, seolah seluruh semesta harus tahu jika dirinya saat ini tengah bahagia. Lega rasanya setelah berdamai dengan kedua orang tuanya. Pada akhirnya apa yang Arhan idam-idamkan sejak dulu berhasil ia dapatkan. Meskipun terlambat, ia tetap bersyukur karena berhasil mendekap keluarga utuhnya.

Dan lagi, reaksi positif papa dan mamanya saat ia menceritakan tentang Arin membuat kekhawatirannya hilang dalam sekejap. Meskipun nampak tenang, nyatanya masih ada sedikit keraguan yang mengganjal di dalam hati Arhan. Ia takut jika ternyata Arin tidak mau bertemu dengannya. Namun ia tetap memberanikan diri seperti apa yang telah dikatakan oleh Andra kepadanya.

Langkahnya pun kembali berayun menuju ke ruangan dimana Arin dirawat. Namun saat melewati taman, Arhan tiba-tiba berhenti karena melihat seseorang yang sepertinya mirip dengan Arin sedang bercengkerama dengan seorang pria. Agak lama Arhan diam dan memastikan jika matanya tidak sedang salah melihat, ternyata mamang benar gadis yang dilihatnya itu Arin.

Detik berikutnya, Arhan secara otomatis berbalik menyembunyikan tubuhnya di balik pilar — berharap tidak terlihat oleh Arin — dan terdiam. Lantas kembali teringat dengan pesan terakhir yang dikirimkan Andra yang seketika membuat dirinya dilanda ketakutan.

“Mas Arhan?”

Sebuah tepukan dipundak berhasil menyadarkan Arhan dari lamunan singkatnya. Iya, pelakunya adalah Yuansyah; adik Arin.

“Eh, Yuansyah, mas kirain tadi siapa.”

“Mas kaget ya? Aduh maaf aku udah ngagetin Mas Arhan,” sesal Juan.

“Iya nggak apa-apa, kamu jangan merasa bersalah gitu,” jawab Arhan seraya menepuk pelan lengan Juan.

“Oh iya, Mas mau ketemu Kak Arin, ya? Tapi Kak Arin masih ngobrol sama Mas Wisnu,” jelas Juan yang lantas mengarahkan pandang pada Arin dan Wisnu. “biar aku panggilin — ”

Belum sempat Juan menyelesaikan kalimatnya, Arhan sudah terlebih dahulu menahan tangan Juan yang akan beranjak. “Yuansyah, mas lupa kalau harus ngirim berkas via e-mail, mas ke mobil dulu, ya. Nanti kalau Kak Arin udah selesai, kamu tolong chat mas Arhan aja.”

“Oke kalau gitu, Mas.”

“Mas tinggal dulu, ya.”

Tanpa menunggu jawaban Juan, Arhan pergi begitu saja setelah berpamitan. Langkah kaki yang tadinya ringan seketika terasa berat. Rasa takut yang tertanam di dalam hatinya pun seakan tumbuh semakin dalam. Kedengaran seperti pengecut memang, tapi Arhan harus menyiapkan hatinya kembali sebelum bertemu dengan Arin.

--

--

No responses yet