Surat untuk : Ruhi [01]

kalleii
6 min readNov 19, 2023

--

Hari masih pagi, tapi sudah sedari tadi aku menghela napas kasar. Rasanya kepalaku sakit, dunia serasa berputar. Kuputuskan kembali merebahkan diri di atas ranjang, sepertinya badanku panas.

Mataku mengerjap beberapa kali sebelum aku mendengar suara knop pintu ditarik, sepertinya itu Jibran – sahabatku. Jibran datang membawa beberapa obat-obatan dan air hangat. Oh ya, hampir lupa, sudah tiga hari aku tidur di rumah Jibran.

Kulihat wajah Jibran yang amat gusar. “Ru, bangun..” Ucapnya, dengan nada bergetar, “minum obat dulu.” Lanjutnya.

“Lebas mana?” Tanyaku dengan suara sedikit serak, tenggorokanku sakit.

Jibran tak menjawab, ia kini sibuk membantuku untuk berada pada posisi setengah duduk, dibantunya aku untuk meminum obat dengan segera.

“kamu lupa, Ru?”

“Perihal apa?”

Lagi-lagi Jibran hanya bisa terdiam, tak menjawab sama sekali, terdengar helaan napas kasar sebelum ia meninggalkan kamarnya. Aku sibuk menebak-nebak apa yang sebenarnya telah terjadi.

Perlahan kuambil ponselku yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang, jariku perlahan bergerak menuju gambar pesan berwarna hijau, kutelusuri kontak bernama ‘Lebas’ dengan simbol hati berwarna merah tepat di samping namanya.

Aku langsung mematung memandangi pesan terakhir yang kukirim untuk Lebas. Pesan berisi kata-kata menyakitkan dan kalimat akhir yang membuat air mataku mengucur deras. “Bas, mulai hari ini kita putus, aku benci kamu, jangan pernah datang ke hidupku lagi, aku muak.” Akhirnya aku ingat, sangat jelas tentang kejadian lusa.

Hari itu ketika aku dan Jibran bergegas menuju warung Bu Asih untuk menyusul Lebas. Di sepanjang perjalanan pikiranku kacau balau, membayangkan hal apa saja yang akan dilakukan Lebas kepada Damar.

Sampai di sana, benar saja, Warung Bu Asih terlihat cukup berantakan. Tampak orang-orang yang kini mengerubungi asyik menyuarakan nama Lebas dan Damar, suasananya mirip dengan judi sambung ayam yang sering Pak Anton-tetanggaku lakukan.

Emosiku memuncak lagi ketika Lebas dengan kesetanan memukul wajah Damar yang sudah jatuh tersungkur ke tanah.

“Lebas!” Teriaku lantang, dengan sigap aku menghampiri Lebas, lalu tanganku refleks menonjok pipi kanan Lebas. Lebas pun ikut tersungkur ke tanah.

“Berapa kali aku bilang ke kamu, jangan pakai kekerasan, Bas!”

“Tapi, Ruh-”

“Ga usah mencari pembelaan, Bas.”

“Kamu dipukul Damar, apa aku harus diam saja melihat kamu diperlakukan seperti ini, Ruhi?” suara Lebas terdengar serak dan sangat menyayat hati, kulihat matanya berkaca-kaca.

Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan Lebas dan gerombolan orang-orang di sana, baru setengah perjalanan telingaku menangkap suara sirine mobil polisi menuju ke tempat Lebas. Dengan panik aku minta Jibran putar balik, tapi sepertinya aku sudah terlambat. Lebas dan Damar diseret paksa masuk ke dalam mobil polisi itu.

“Bas, Lebas!” Teriaku meraung, berlari berusaha menghampiri Lebas dan menyibak seluruh gerombolan manusia yang ukurannya lebih tinggi dan besar dari tubuhku.

Sial, aku terlambat lagi, Lebas hanya tersenyum simpul padaku, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja sebelum ia memasuki mobil polisi itu.

“Lebas!” Teriaku lagi, berusaha membuka pintu mobil, tetapi sialnya mobil polisi itu malah melaju, akhirnya aku jatuh tersungkur ke tanah. Ku lihat dari kaca belakang, sepertinya Lebas memberontak ketika melihat aku terjatuh.

“Ruhi…Ruhi..Ru!” Aku bisa mendengar teriakan paniknya yang lebih khawatir ketika aku terjatuh dibandingkan menghawatirkan dirinya yang bisa saja dijebloskan ke dalam jeruji besi.

Pandanganku tiba-tiba saja kabur, rasanya semua suara Lebas menyerbu pikiranku. Aku terjatuh kedua kalinya, kini perlahan semuanya menggelap dan aku tersadar di rumah Jibran. Jibran bilang aku tak sadarkan diri selama tiga hari karena badanku sangat panas dan terus mengigaukan nama Lebas.

Tanpa pikir panjang dengan kondidiku, aku bangkit dari tempat tidur, menghampiri Jibran di dapur. Seakan mengerti dengan ekspresiku, Jibran langsung berlari merangkul tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala kesedihan dan menyesali kebodohanku.

“Lebas mana, Ji?” Tanyaku dengan suara yang masih bergetar menahan isak tangis dan sakit yang begitu menusuk kepalaku.

Jibran tertunduk. “Lebas balik ke Bandung.”

Aku sangat kaget sampai-sampai mengguncangkan bahu Jibran kencang, berharap Jibran hanya berkata bohong dan Lebas yang tengah bersembunyi di balik pintu bersiap memberi kejutan kepadaku.

“Dua hari lalu Lebas datang, dia bilang kalau polisi gak nahan dia, wajah lebas dua hari lalu kelihatan kurang sehat, sepertinya dia gak tidur, Ru. Dia titipkan surat ini ke aku, dia bilang tolong sampaikan ke Ruhi.”

Dengan tangan bergetar, kuambil surat di tangan Jibran, kubuka perlahan dan lagi-lagi air mataku mengucur deras.

Apa kabar Ruhi?

Aku dengar kamu sakit dan belum siuman sampai sekarang, maaf semuanya gara-gara aku, Ru.

Ruhi…kamu tidak perlu khawatir, aku dibebaskan. Ru, aku benar-benar minta maaf, selama tiga tahun ini aku selalu menyusahkan kamu.

Tolong jangan cari aku, Ru. Kamu selalu sakit selama ini gara-gara aku.

Aku sudah putuskan kalau aku akan kembali ke Bandung, ke rumah nenek. Kamu bilang kalau kamu sangat benci ke Lebas dan gak akan pernah mau lihat Lebas lagi. Apa pun untuk Ruhi kesayangannya Lebas.

Jangan pernah berpikir kalau aku sudah gak sayang ke kamu, Ru. Aku sayang sekali, sangat sayang ke Ruhi. Kalau Tuhan berkata kita jodoh, kita pasti ketemu lagi.

May God always protect you, may good things always come to you. Be a strong human being, I really love you. tomorrow, today and forever.

Kalau boleh jujur, aku gak rela ninggalin kamu, tapi ini semua demi kebaikan kamu. Sekali lagi, terima kasih untuk segala hal yang manis.

Lebas.

Hari itu rasa marah, kesal, sedih kubercampur. Tak bisa kubayangkan kesedihan Lebas. saking kesalnya hingga kepalan tanganku menonjok tembok yang tak salah apa pun.

“Ruhi!”

Jibran kemudian menghentikan tindakan bodoh yang ku lakukan, tanganku berdarah tapi rasa sakitnya tak sebanding dengan sakit hati akibat kehilangan Lebas.

Usai tanganku selesai di obati, kuputuskan untuk menelepon ibu Lebas tapi beliau tak mengangkatnya samas sekali, berulang kali aku menghubungi Lebas namun hasilnya nihil, sepertinya lebas menghapus semua akun media sosial dan mengganti nomor ponselnya. Aku tak menyerah, ku tanyakan satu-satu perihal Lebas ke teman-temannya, tapi reaksi mereka sama kagetnya dengan reaksiku. Mereka semua tak ada yang tahu jika Lebas sudah meninggalkan Jakarta.

“Bran, aku harus apa? Aku gak tau alamat rumah nenek Lebas di Bandung.” Ucapku hampir menyerah, sementara Jibran hanya bisa menepuk pundaku pelan mengisyaratkan kata sabar.

Tante Melinda-Ibu Lebas bahkan tak bisa mengatakan di mana Lebas sekarang, karena beliau sudah berjanji pada Lebas bahwa ia tak akan mengatakan apa pun kepada Ruhi. Beberapa hari kemudian, Tante Melinda dan Ayah Lebas memutuskan untuk pindah ke Sulawesi. Kini aku tak punya harapan apa pun, sepertinya Tuhan menyuruhku untuk menyerah saja.

Kemudian lima tahun kuhabiskan tanpa kehadiran Lebas, mau bagaimanapun aku harus tetap melanjutkan hidup, begitu juga Lebas. Sementara itu, aku masih selalu bersyukur sebab Jibran tak pernah meninggalkanku sendirian. Kini kami berdua bekerja di perusahaan penerbitan buku dan aku tinggal menunggu novel karyaku tentang Lebas akan diterbitkan minggu ini. Saat pertama kali aku tanpa sengaja mengunggah penggalan dari novel itu ke twitter, sepertinya semua orang ikut senang dan sangat menantikan dan ingin mengenal pemuda bernama Lebas. Aku harap kamu juga membacanya, Bas.

Perlu waktu lama untuk sembuh, Bas. Semoga Tuhan selalu melindungi kamu di Bandung.

Kalian penasaran kan, sosok lebas itu seperti apa? Okay biar ku beri tahu, Ini adalah Lebas☀️🙆

Lebas itu tinggi, kulitnya coklat dan rahangnya tegas. Lebas sangat baik dan pintar, selain itu Lebas jago bela diri, tapi Lebas itu pemalas dan sering bolos waktu SMA. Kalau diajak jalan pasti jawabanya ‘Lagi Mager’ mulu. But for me Lebas is my home and my world, Lebas is everything. even though now I don’t know where Lebas is, but I still love him. Lebas itu hangat seperti matahari, namun kadang dia juga bisa membakar seperti teriknya matahari di siang hari.

--

--

kalleii

If you wanna tell me anything about my story you can send me message on valereeaval@gmail.com