kukisterbang
4 min readFeb 6, 2022

The missing pizza slice

sebetulnya, sebesar apa rasa sayangmu kepadanya?

Pertanyaan seorang kawan mendadak terlintas kembali di benakku ketika melihat sesosok manusia yang tengah menulis sesuatu di meja dapur. Remang kuning lampu dapur menghangatkan awal tahun yang dingin. Alunan lirih lagu Rnb kesukaannya keluar dari speaker kecil di sudut ruangan.

Memandanginya tidak pernah membosankan. Saat itu pukul setengah sembilan malam ketika aku menatap lama sosoknya dari dekat pintu. Hari itu merupakan hari yang panjang dan melelahkan. Seluruh energiku rasanya telah habis digunakan untuk bertahan di hari itu.

Aku melepas jaket dan melemparkan tas sembarangan ke sofa. Aku lantas duduk berseberangan dengan orang tersebut. Kak Jun, begitulah aku memanggil nya, tersenyum menyambut kedatanganku.

“Cantikku udah pulang?” Aku hanya tersenyum, terlalu lemas untuk menjawab.

“Udah makan? Pasti belum. Aku tadi habis beli pizza. Bentar ya aku angetin dulu.” Ia lantas memasukkan beberapa potong pizza ke dalam microwave.

“Kak Jun, kalo aku pulang telat makan duluan aja gapapa…Aku nggak mau kakak kelaparan nungguin aku… ”

“Iyaa, tapi aku baru kerasa lapernya sekarang. Tadi belum kerasa.” Ia terkekeh menanggapi ringan. Aku tau dia berbohong. Toples kacang yang terbuka di depanku memperlihatkan isinya yang tinggal separuh.

Kak Jun lantas menyiapkan piring serta menuangkanku segelas cola. Ia mengeluarkan pizza dari microwave sesaat setelah alat tersebut mengeluarkan bunyi tanda makanan siap disantap.

Sesi makan bersama berlangsung sedikit lebih hening daripada biasanya. Wangi oregano memenuhi ruangan dapur yang mungil. Aku yang masih larut dalam pikiranku tadi, asik memandangi Kak Jun yang tengah mengunyah potongan pizzanya. Aku sungguh menyukai saat saat seperti ini. Hangat ruang makan, sedikit musik tanpa keramaian, serta orang kesayanganku berada tepat di depanku sedang makan dengan nikmatnya. Seolah tiada lagi yang perlu dikhawatirkan.

“Kok nggak dimakan sih pizza nya. Apa harus aku suapin?” Kak Jun yang menyadari tingkahku sedikit protes dan menggoda.

“Aku udah kenyang liat kakak makan. Enak liatnya…” Aku menjawab sungguh-sungguh.

“Sebenernya aku nggak suka makan pizza sendiri.” Ujar Kak Jun setelah menghabiskan sepotong pizza. “Setiap satu potongnya hilang, aku sedih. Rasanya aku makin sendirian ketika lihat potongan pizzaku nggak utuh.”

Aku kembali meletakkan sepotong pizza yang telah separuh aku makan dan memperhatikan penuh Kak Jun yang kini mengusap kepalaku. Ia lalu membetulkan letak rambut rambut nakal yang menghalangi wajahku.

“Tapi kalo makannya berdua sama kamu, aku seneng walaupun pizzanya lebih cepet abis. Soalnya aku tau pizzaku akan selalu utuh.”

Ia melanjutkan ucapannya,“Cacak kamu harus tau, aku sangat bersyukur atas momen ini dalam hidupku.”

Aku tersenyum sambil melanjutkan makan. “Aku mau kok nemenin kakak makan pizza terus, besok besok dan seterusnya.”

Sebesar apa rasa sayangku kepadanya? Aku yakin sekali lebih besar dari loyang pizza paling raksasa di dunia.

Sekitar setengah jam kemudian setelah kami selesai makan Kak Jun segera membereskan alat makan dan bersiap mencucinya di wastafel.

“Aku aja yang nyuci piring, kakak udah nyiapin makan tadi.” Aku beranjak dari kursi makanku.

“Nggak usah, liat itu mata kamu capek banget. Sana langsung mandi aja. Hari ini berat ya?” Kak Jun menoleh ke arahku. Hariku memang berat, tapi aku mendapat malam yang hangat. Aku sudah memaafkan hari ini. Semua orang dan diriku sendiri.

Lantas karena sendari tadi aku merasakan hangat hangat di hatiku, aku memeluk Kak Jun, berharap bisa membagi nyaman yang aku rasakan.

“Bukannya kakak yang kesulitan hari ini? Tadi ketemu klien yang rewel kan…” Aku bertanya hati-hati, masih memeluk punggung lebar Kak Jun.

Kak Jun tergelak pelan. “Nggak masalah, aku habis makan pizza sama kamu. Aku baik-baik aja sekarang. Capeknya udah ilang.”

Ya Tuhan.

sebetulnya, sebesar apa rasa sayangmu kepadanya?

Aku tidak tahu. Besar sekali. Sungguh loyang pizza bukan tandingannya.