errorism.

ahra
7 min readJun 16, 2023

--

Untuk melihat manusia yang ia cinta mati-matian kini dengan mudahnya mencium sosok lain yang terduduk di atas meja makan di dalam rumahnya sendiri agaknya begitu mengiris nadi.

Bara memang memulai perpisahan itu, ia yang dengan jujur bertutur pada kakaknya jika ia mulai bosan dengan hubungan ringkih yang coba mereka pertahankan di atas awan yang begitu tipis.

Bara masih mampu lihat dengan jelas bagaimana kini mata itu terpejam menikmati labium yang bukan miliknya. Ia tak seharusnya berada di sini, menjejakkan kaki ke sini lagi artinya sama saja dengan bunuh diri.

Sejak awal ini memang salahnya.

Namun apa kabar dengan janji Gara yang tak akan pernah mampu untuk mencintai orang lain?

Get a room, please. Jorok,” desis Bara sambil melewati keduanya.

Gara melepas ciuman dan menoleh ke belakang, mandapati punggung adiknya yang kini terlihat polos dan lesu di balik jaket kulit hitam yang dikenakannya.

“Ada apa ke sini, tumben?” tanya Gara, tangannya membantu menurunkan Yisel dari atas meja makan.

“Lah? Kan ini juga rumah gue, belinya pake duit berdua, bukan cuma pake duit lo,” jawab Bara asal, tangannya hampir gemetaran saat memegangi handle kulkas dan meraih apel hanya untuk melampiaskan rasa sakitnya dengan menggigit buah itu walaupun kemudian ia simpan lagi dengan kesal.

Okay, nanti gue ganti ya uang punya lo. Besok, mungkin.”

Bara berbalik, menatap nyalang pada presensi yang dulu begitu ia puja-puja itu. “Gue tau lo banyak duit, tapi gue nggak butuh duit lo. Lagian ini rumah juga mostly gue yang design, banyak barang kemauan dan pilihan gue, lo nggak berhak ngusir gue dari sini,” desisnya.

“Kamu mau tunggu di kamar?” tanya Gara pada Yisel.

“Boleh, mas,” jawabnya.

Haha.

Bara sepatutnya menertawakan dirinya sendiri yang kini terlihat begitu menyedihkan, bertopeng tak tahu malu dan berpura-pura menunjukan kebencian pada Gara disaat yang ia inginkan sejak kemarin hari hanyalah kembali pada dekapan lelaki itu.

Kenapa semuanya malah menyakiti dirinya.

Semuanya terasa sakit dan Bara tidak tahu dari mana sumber tersebut hingga ia sama sekali tidak paham cara untuk mengatasi darah yang mengalir dengan begitu deras.

Ia kesakitan.

“Itu kamar gue, lo nggak berhak masuk ke sana.” Bara menujuk wajah Yisel.

Gara kini mengecup ujung pipi kekasihnya. “Tunggu di mobil, nanti aku susul. I love you,” bisik Gara dan menyelipkan kunci mobil di tangan kekasihnya.

Bara menatap dengan penuh amarah, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk menutupi rasa sedih dan sakit itu hanyalah amarah. Ia tidak bisa mendengar Gara megatakan kalimat itu kepada orang lain.

Hanya kepadanya.

Dulu.

“Bara, listen,” Gara memulai pembicaraan mereka saat Yisel sudah kelar dari area dapur dan langsung menuju mobil Gara di depan rumah. “Gue udah turutin apa yang lo mau, kan? Gue udah pergi dari hidup lo, gue udah berhenti bilang I love you ke lo, gue udah berhenti sayang berlebihan ke lo. Now, we’re just twins, right? Betul?”

Bara tak ingin dengar.

Ia berharap jika semua ini hanya mimpi di tengah demam tinggi hingga jika ia terbangun, Gara akan menjadi miliknya lagi. Selalu menjadi miliknya.

“Nggak.”

“Bara, di sini yang punya hati bukan cuma lo. Don’t you think I loved you too much to be used and discarded. Gue juga mau Bar, disayang. Gue juga mau kok dicintai kaya gimana gue selalu mencintai lo dulu. Gue pikir kalau gue nggak akan pernah capek sama apa yang kita laluin, sama apa yang harus selalu gue handle, sama lo yang selalu pengen enaknya sendiri. Ternyata gue capek juga akhirnya, and I’m glad that I stopped running for nothing.”

Hampir saja Bara mendengar retakan dari hatinya sendiri. Apa benar selama bersama dengan dirinya, Gara tak pernah merasa dicintai?

Apa benar Bara selalu seegois itu dalam kisah cinta yang katanya mereka bangun berdua ini?

Hatinya seakan hampir mati.

“Gar-” Suara Bara hampir hilang oleh getar tenggorokannya sendiri.

Rasa perih menyayat-nyayat ujung matanya dan yang ingin ia lakukan kini hanya menangis dan berharap jika Gara akan kembali memaafkannya seperti biasa dengan bualan janji milik Bara yang ingin menjadi lebih baik kedepannya.

“Gar, maksud gue waktu itu nggak gini.”

Gara tersenyum. “Bara, gue udah berhenti ngemis cinta lo. Gue udah nggak mau lagi ada di posisi sujud-sujud buat lo sayangin gue kaya gue sayang ke lo. Gue udah nggak punya waktu lagi untuk itu. Tapi jangan mikir kalau gue bakal lupain apa yang pernah kita lakuin selama bertahun-tahun ini, gue nggak akan pernah bisa lupa.”

Napas Bara tersendat, kini matanya sudah hampir memburam dan kehadiran Gara yang semakin terhalang oleh lautan air mata yang bisa kapan saja turun.

“Maaf,” cicit Bara.

Feel sorry for yourself. Please, pelase stop being sad and crying everynight. It hurts me too. Lo yang sedih, gue juga keikut sedih. I hate that feelings. Gue nggak punya cara buat mutusin ikatan batinnya, gue nggak tau gimana biar gue nggak ikut ngerasa sedih setiap malem padahal gue lagi bahagia sama Yisel. Please stop that.”

Bara kini merunduk, ia berlutut di hadapan kakaknya. “I’m sorry. Maaf. Maaf. Gue nggak tau kalau misalkan perasaan gue kemarin cuma perasaan bosen sesaat. Gue takut, Gara. Gue takut. Gue nggak mau kalau nggak sama lo.”

Rasa sakitnya nyata meskipun segala kisah cinta mereka yang lalu hanya seonggok fiksi yang buta aksara.

Ini hanyalah sepintas jalan lain yang diberikan pada mereka untuk segera berpisah karna mau bagaimanapun, karna mau dengan sekeras apapun mereka untuk berusaha, mereka tak akan pernah berada di atas izin yang sama.

Mereka tidak akan pernah bisa mengenyam hubungan yang sama.

Mereka terlalu berharap banyak dan yakin jika bangunan yang mereka tumpuk cukup kuat untuk mengalahkan apa kata takdir.

“Bar, udah selesai masanya. Udah abis. Gue sama lo udah selesai, nggak ada kita lagi. We can’t fix this anymore. Mungkin karna gue terlalu banyak maafin lo sampe rasa sayang gue habis cuma buat maafin segala kesalahan lo. Sampe rasa sayangnya nggak kesisa lagi. Gue bahkan bingung gimana kasih lo perhatian kalau kita udah kaya gini, kalau gue udah capek.”

Bara meraih kaki kakaknya, ia terisak. “Maaf. Gue mohon. Gue mohon lo jangan sama Yisel. Please love me again, please, please. Gara… jangan tinggalin gue. Gara, gue nggak bisa kalau nggak ada lo. Gara gue minta maaf. Gara hiks — Gara, I’m sosrry for being me, for being not good enough for you, for being like this. I’m sorry.

Gara memalingkan wajahnya. Ia bukanlah kancil bodoh yang akan masuk ke dalam lubang yang sama. Ia tidak akan membiarkan tinta hitam yang sama mengotori kertasnya yang sudah kembali putih.

Gara tidak akan membiarkan dirinya berdarah lagi.

“Gue udah nggak bisa sayang sama lo.”

Bara menggeleng, ia bersujud di depan sepatu pantofel Gara yang mengkilap dan super mahal. “Gue mohon jangan tinggalin gue. Gue mohon jangan pernah jatuh cinta sama orang lain. Kalau sayang lo ke gue udah habis, gue janji bakal sayangin lo sama rasa sayang punya gue. Gak masalah kalau lo udah nggak bisa sayang, asal lo terus sama gue.”

Gara berjongkok, ia menarik tangan adiknya untuk terduduk di hadpannya, masih dengan isak tangis yang sama. Gara dengan lembut menghapus jejak air mata itu dengan ibu jarinya. “Jangan nangis terus, sakitnya kerasa sampe sini. Gue yang sakit. Please stop, ya?”

Bara menggeleng, ia memeluk tangan Gara yang tadi menghapus air matanya. “Tolong, hiks — nggak mau ditinggalin. Jangan sama Yisel, sama gue aja. I can love you harder than him.”

You missed you last chance, Baraja.”

“Gar, what about the plans we made?” tanya Bara, kini air matanya semakin turun tak terhindarkan.

Gara benci melihat itu, ia benci merasakan sakit yang ia pun tidak tahu sumbernya dimana, namun kini dadanya ikut sesak dan air mata mulai kembali berlinang di pelupuknya.

“Udah , ya? Stop hurting yourself like this. Aja belum makan?”

Bara semakin menangis mendengar itu, hatinya sakit, seluruh badannya sakit, kepalanya juga, kini pendengarannya seakan berdenging namun yang bisa ia lakukan hanya memangis.

“Gue juga nggak mau sakit hati terus, gue — gue… hiks — sakit, Gar. Sakit.” Bara menggenggam kuat-kuat lengan kakaknya itu. “Gue mohon, gue mohon. Gue bakal lakuin apa aja demi lo.”

I can’t. Aga nggak bisa kasih apa-apa lagi, Aga udah selesai sama semuanya.”

“Jangan tinggalin Aja sendirian, Aja takut.” Bara menerjang kakaknya dengan sebuah pelukan.

Gara tak bisa menghentikan itu.

Memang biasanya apa warna kasih yang mereka bagi? Kenpa semuanya terasa begitu abu-abu.

Memang biasanya apa rasa yang mereka bagi? Kenapa semuanya malah terlihat semakin pahit.

“Jangan — hiks.. jangan tinggalin Aja sendiri, Aja masih kecil.”

Gara tak lagi mempu menahan air mataya lebih lama sebab apa daya jika kini hatinya tak lagi berbentuk, lak lagi berupa.

Memang biasanya ombak setinggi apa yang menerjang mereka? Kenapa saat ini kelihatannya tak ada lagi yang mampu berdiri.

Memang biasanya sederas apa api menghujani rasa perih keduanya? Kenapa kini kedengarannya begitu pedih.

“Aganya udah capek.”

Bara tak mampu menjawab.

Kekalahan adalah hal mutlak yang ia dapat.

“Maaf ya, lama. Kamu pasti laper banget, sayang. Kita makan katsu, ya? kamu mau?” tanya Gara yang kini sudah berada di dalam mobil.

Yisel mengecup ujung bibir lelakinya itu. “Kamu nggak apa-apa?”

“Aku nggak apa-apa.”

“Mas.”

“Ya? Aku nggak apa-apa, sayang.” Gara mencium punggung tangan kekasihnya.

“Bara nggak apa-apa?”

Gara melirik pintu rumahnya. “Nggak apa-apa. Barusan tidur. Besok kita cari rumah, ya?”

Yisel menganguk. “Please use me to forget him, I’m fine with it.”

“Makasih, sayang. Maaf kalau aku masih banyak kurangnya, tapi yang jelas, aku mau bahagia sama kamu, aku mau disayang sama kamu. Aku mau berdua sama kamu. Aku sayang sama kamu. Yisel, mungkin sekarang waktu kita bakal sering kepotong sama ha-hal kaya tadi, aku minta maaf untuk itu. Tapi aku janji bakal beresin itu secepatnya.” Gara mengelus sayang setiap jemari Yisel.

“Aku tunggu kamu. Yang penting hati kamu nyaman, yang penting aku yakin kalau kamu emang punyanya aku. Aku nggak masalah kalau emang kedepannya bakal dibenci Bara, aku di sini buat kamu, bukan buat minta restu dia.”

Gara mengecup kening Yisel. “I love you.”

“I love you more, mas.”

--

--