Apa yang sesungguhnya kita rayakan di tanggal 17 Agustus?

Jawaban singkat: patriotisme, bukan kemerdekaan. Karena itu, seruan tentang belum sepenuhnya bangsa ini merdeka akan masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Paramita Mohamad
6 min readAug 18, 2018

Hari-hari ini, kita merayakan 17 Agustus dengan berbagai cara, mulai dari yang formal yakni upacara bendera di kantor pemerintahan, …

Sumber: Wikimedia

… yang meriah seperti aneka lomba dan acara hiburan di komunitas, …

… sampai dengan berbelanja di hari libur menggunakan diskon 17%, 8%, — tentunya tidak pernah 45% apalagi 1945%. .

Sumber: Tribunnews

Lewat Twitter dengan tagar #17an, kita bisa lihat bahwa unggahan (“posts”) tentang merayakan kemerdekaan kebanyakan berisi ekpresi cinta tanah-air atau bangga menjadi Bangsa Indonesia. Dan tentu saja penggunaan warna merah putih ada di mana-mana, kadang diselingi dengan pakaian khas Indonesia, termasuk pakaian adat. Saya kira cukup aman untuk menarik generalisasi (sementara) bahwa nilai yang dominan dalam perayaan 17 Agustus akhir-akhir ini adalah patriotisme.

Ini menarik untuk dibandingkan dengan sejarah. Kita belajar (lebih tepatnya, diajarkan) bahwa proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 adalah hasil dari semangat membebaskan diri dari penjajah yang mengebiri hak dan kesempatan orang Indonesia, dan keinginan menentukan nasib sendiri (“self-determination”). Nilai yang menjadi acuan utama jelas adalah kemerdekaan. Tidak heran jika “Merdeka!” menjadi salam solidaritas, dan “Merdeka atau mati!” menjadi slogan yang dominan sepanjang Perang Kemerdekaan 1 dan 2.

Sumber: Wikimedia

Sejalan dengan waktu, nilai yang dirayakan setiap 17 Agustus bergeser dari kemerdekaan atau kebebasan menjadi patriotisme. Seruan “Merdeka” menjadi kebiasaan belaka, dan tidak merujuk ke makna kata yang sama di tahun 1945–1949.

Namun masih ada yang pada tanggal 17 Agustus berusaha mengusung nilai kemerdekaan atau kebebasan ke permukaan. Mereka umumnya mempertanyakan betulkah Indonesia benar-benar sudah merdeka, jika masih ada kelompok yang belum sepenuhnya bebas dari penindasan. Misalnya,

Atau ini,

Atau ini.

Karena nilai yang dominan dalam perayaan 17 Agustus adalah patriotisme, maka saya cukup yakin unggahan di atas —tentang kesetaraan dan kebebasan dari penindasan— akan tenggelam dalam keriuhan cinta tanah air. Cuitan-cuitan di atas salah momen.

Lalu kapankah momen yang tepat untuk mengingatkan publik dan penyelenggara negara bahwa masih adanya kelompok-kelompok yang belum sepenuhnya merdeka dari penindasan bangsa sendiri?

Jawaban saya yang tidak populer dan pesimistik adalah: tidak ada.

Mengapa begitu? Saya akan membahasnya melalui perspektif fondasi moral. Perspektif ini bisa menerangkan mengapa di satu sisi perbuatan yang dianggap benar atau salah (atau terpuji atau tercela) oleh satu budaya bisa berbeda di budaya lain; sementara di sisi lain tetap ada banyak kesamaan dan tema-tema yang terus muncul.

Fondasi moral bisa diibaratkan bagai sebuah “landasan” bawaan lahir yang dimiliki semua orang sebagai hasil evolusi. Di atas “landasan” itu masyarakat akan membangun narasi-narasi dan lembaga-lembaga, sehingga moralitas dari satu masyarakat (atau golongan) berbeda dengan yang lain.

Sejauh ini dikenal ada enam fondasi moral yang dimilki semua orang, namun dalam kadar yang berbeda-beda, tergantung bagaimana mereka diasuh (Haidt, 2012):

  • Harm vs care, yang terkait dengan penderitaan orang lain. “Orang lain” di sini oleh golongan liberal diartikan sebagai “semua umat manusia”, dan oleh golongan konservatif sebagai “komunitas saya”.
  • Fairness vs cheating. Golongan konservatif mengaitkan fondasi ini dengan kesetimpalan (“proportionality”). Bagi golongan liberal, fairness vs cheating berkaitan dengan persamaan hak (“equal rights”). Golongan konservatif dan liberal bisa menggunakan fondasi yang sama namun punya pendapat yang berseberangan, misalnya dalam hal kuota keterwakilan minoritas (“affirmative action”).
  • Liberty vs oppression, yang terkait dengan kebencian universal kepada “bully” atau penindas. Golongan liberal akan fokus pada pembelaan atas korban penindasan, sementara golongan konservatif dengan perlawanan terhadap si penindas.
  • Loyalty vs betrayal, yang terkait dengan keterikatan emosional yang pekat terhadap kelompok. Dalam patriotisme, kelompok ini adalah bangsa. Namun kelompok ini bisa juga mencakup suku, ras, agama, dan identitas sosial lain. Beda dengan golongan konservatif, golongan liberal cenderung tidak menggunakan fondasi moral ini.
  • Authority vs subversion, yang terkait dengan kepatuhan pada figur otoritas, tugas, dan tanggung jawab. Sama seperti di atas, golongan konservatif mempedulikan fondasi ini, tapi tidak bagi golongan liberal.
  • Sanctity vs degradation, yang terkait dengan kesucian atau kemurnian dari hal-hal yang dijunjung kelompok. Fondasi moral ini pekat hubungannya dengan emosi jijik terhadap hal-hal yang mencemari kemurnian dari hal-hal yang dianggap sakral oleh suatu kelompok. Lagi-lagi fondasi ini penting bagi golongan konservatif, tapi tidak bagi kelompok liberal.

Fondasi moral mana saja yang penting bagi orang Indonesia pada umumnya? Dalam peta budaya yang digagas Inglehart dan Welzel, Indonesia digolongkan dalam rumpun “Islamis” dan masuk di kuadran tradisional dan “group survival” (mengutamakan keselamatan kelompok sendiri). Artinya, mayoritas masyarakat Indonesia tergolong konservatif yang menggunakan semua fondasi moral di atas. Orang Indonesia yang tipikal menjunjung kepatuhan pada otoritas, menganggap penting agama, nasionalisme, tribalisme dan etnosentrisme, serta punya kepercayaan dan toleransi yang rendah pada orang di luar kelompoknya.

Inglehart–Welzel Cultural Map

Dengan demikian, orang Indonesia pada umumnya tidak akan bergeming mendengar ajakan atau argumentasi yang dasarnya adalah kesetaraan, pembelaan kaum tertindas, persamaan hak, atau hak asasi manusia. Inilah mengapa saya tidak yakin ada momen yang tepat untuk mengangkat isu “masih ada kelompok yang belum sepenuhnya merdeka” ke permukaan.

Saya yang pesimistis menyimpulkan bahwa momen yang tepat tidak ada. Namun mereka yang optimistis percaya bahwa momen ini bisa dibuat. Apakah optimisme ini naif atau punya dasar yang cukup kuat?

Teori meramalkan kita punya harapan untuk mengubah pendapat publik asal kita tahu bagaimana mengemas atau membingkai isu itu, sehingga relevan dengan nilai atau fondasi moral audiens. Di Indonesia yang konservatif, bingkai “this is how we Indonesians roll” (kita orang Indonesia, begini cara kita) yang berdiri di atas fondasi loyalty vs betrayal patut dipertimbangkan.

Namun bingkai ini akan sia-sia, karena sampai sekarang kita tidak punya kesepakatan bersama tentang apa artinya menjadi, berpikir, dan bertingkah laku sebagai orang Indonesia. Saya tidak bisa mengingat narasi tentang Indonesia dan bangsanya yang teguh dipegang oleh mayoritas orang Indonesia.

Supaya jelas, mari kita bandingkan dengan narasi bertema “the home of the brave, the land of the free”, “the melting pot”, “the American dream” yang menganyam mitologi tentang Amerika Serikat. Narasi-narasi ini tidak saja pervasif, namun yang lebih penting mereka sarat emosi dan kaya imajinasi.

Narasi mana tentang Indonesia yang sama pervasif, imajinatif, dan emosionalnya dengan narasi tentang Amerika Serikat? Apakah narasi “zamrud katulistiwa” yang sering kita dengar dari lagu sejak jaman dulu, tentang bentang alam yang subur dan dihuni oleh orang-orang yang ramah dan cinta damai? Apakah “bhinneka tunggal ika” sebuah narasi yang cukup kaya kandungan emosi dan imajinasinya, atau hanya sedangkal slogan didampingi visual yang dilansir iklan televisi Indomie jaman dulu?

Barisan Binneka Tunggal Ika untuk memperingati Hari Kartini di Ponorogo tahun 2012 http://ramuslimatmayak.blogspot.com/2012/04/in-action.html

Membangun supra-tribe Indonesia yang melintasi suku, ras, dan agama mungkin bukan panacea yang bisa menyelesaikan seluruh masalah keadilan sosial di Indonesia. Tapi saya yakin, selama tidak ada pemahaman kuat dan seragam tentang apa itu “berpikir, merasa, dan bertindak seperti orang Indonesia”, kekosongan ini akan diisi oleh identitas tribalistik. Selama ini terjadi, saya percaya yang akan membela kaum minoritas (agama, ras, masyarakat adat, gender dan seksualitas) lagi-lagi hanya mereka yang berteriak di ruang gema.

--

--

Paramita Mohamad

I help those who want to make Indonesia suck less get buy-in and make changes. I tell stories, use visuals, evoke feelings, and get rid of gibberish.