Semifinal

lea
10 min readJul 30, 2022

--

Jam pada pergelangan tangan Anin menunjukkan pukul dua siang. Lapangan utama sekolah menjadi pusat perhatian seluruh siswa siang ini. Pasalnya sepuluh menit lagi akan dimulai pertandingan semifinal futsal antara kelas XI IPA 6 melawan XI IPA 8. Entah bagaimana dalam cabang futsal di setiap acara olahraga yang diadakan sekolahnya, kedua kelas ini selalu bertanding dalam babak semifinal dari tahun ke tahun walaupun dengan formasi yang tentunya berbeda.

Berhubung posisi kelasnya yang strategis berada tepat di pinggir lapangan dan seberang podium utama, Anin bersama beberapa teman sekelasnya memutuskan untuk menonton di depan kelas mereka. Sinar matahari yang terasa menyengat siang ini tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk beranjak dari posisinya.

Kita diem aja di sini jangan kemana-mana, soalnya geser dikit tuh pasti langsung ditempatin sama kelas lain. Begitu kata Dian tadi saat waktu istirahat dan makan siang pada seisi kelasnya.

Mata Anin mendapati Jinan yang kini duduk di seberang sana dengan sebuah mikrofon di tangan kanannya. Sang ketua futsal itu memang kerap kali diminta menjadi komentator yang meramaikan pertandingan olahraga di sekolahnya dan Anin yakin sekarang pun begitu. Di kedua sisi lapangan terlihat kedua tim yang akan bertanding sedang mempersiapkan diri untuk memperebutkan juara tiga dalam acara kali ini.

Gadis itu terus menaruh perhatiannya pada sekitar hingga tidak sadar bahwa ada seseorang dengan sepatu berwarna abu-abu kini tengah berdiri di hadapannya. Jinan langsung berpindah posisi menjadi jongkok demi menyejajarkan pandangannya dengan pandang Anin. Perhatian gadis itu teralihkan ketika Dian menepuk bahunya kemudian memberi tanda agar Anin melihat ke depan dan betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat Jinan yang tadi ia lihat berada di podium kini berpindah menjadi tepat di hadapannya.

“Nontonnya jangan di pinggir lapangan banget nanti kena bola, Nin,” ucap Jinan lembut. “Tuh duduk di atas aja di belakang jaring jangan di sini.”

Anin menggeleng. “Kalau di sana nanti ketutupan tanaman, enggak keliatan futsalnya.”

“Enggak bakal ketutupan kan tempat duduknya lebih tinggi daripada di sini. Mending duduk di sana aja deh beneran, IPA 6 kalau udah main futsal suka beringas nanti lo bisa kena bola kalau tetep duduk di sini.”

Tanpa sadar, sepanjang Jinan mengucapkan kalimatnya, tangannya bertengger sempurna tepat di puncak kepala Anin yang kemudian ia tepuk pelan-pelan agar gadis itu menaruh perhatian penuh pada dirinya dan apa yang ia ucapkan. Sesuai perkiraan Jinan, kalimat serta tepukan lembut di atas kepala gadis itu seolah menghipnotis Anin untuk mengalah dan menuruti kalimat Jinan tadi. Pada akhirnya, Anin mengajak teman-temannya untuk berpindah posisi menuju tempat yang Jinan arahkan tadi tanpa kembali melayangkan protes.

Senyum Jinan mengembang begitu melihatnya. Begitu dirasa Anin sudah berada pada tempat yang lebih aman, Jinan membalikan tubuhnya dan melangkah kembali pada posisi awalnya di podium sana. Kini giliran ia yang harus menenangkan dirinya karena entah mengapa perasaannya mengatakan bahwa akan ada hal buruk yang terjadi dalam pertandingan ini. Namun, dengan cepat Jinan menggelengkan kepalanya menghapus segala skenario buruk dalam otaknya mengenai jalannya pertandingan siang ini. Sebisa mungkin ia harus berada dalam mood yang bagus agar dapat maksimal menjadi komentator dalam babak ini.

Jinan hapal betul tabiat dari kedua kelas yang akan bertanding siang ini. Mengingat banyaknya intensitas mereka bertemu sebagai lawan dalam pertandingan olahraga membuat Jinan hapal karakter dari masing-masing formasi tim futsal XI IPA 6 maupun XI IPA 8 siang ini. Seperti yang Jinan katakan pada Anin tadi, kelas XI IPA 6 memang cenderung lebih sering bermain kasar terutama di detik-detik terakhir pertandingan demi merebut titel juara untuk kelasnya. Sedangkan lawannya, XI IPA 8, cenderung lebih santai namun mereka akan memakai strategi untuk menyerang lawan secara habis-habisan di detik terakhir dan alasan itu yang sering memicu hawa panas dari lawannya siang ini.

Bunyi peluit panjang mulai terdengar di seluruh penjuru sekolah membuat para siswa yang tadinya sibuk dengan aktivitas masing-masing kini menaruh fokusnya pada para pemain yang mulai memasuki lapangan. Kedua tim yang akan bertanding saling berjabat tangan kemudian membaur pada posisinya masing-masing sesuai strategi yang telah mereka rancang.

“Oke balik lagi sama gue Jinan si komentator ganteng dan partner gue siang ini ada Adrian si seksi acara,” mulai Jinan. “Siang ini bakal ada pertandingan futsal antara XI IPA 6 melawan XI IPA 8. Buat kalian yang nonton panas begini jangan lupa sambil minum es biar adem. Kalau ada yang mau beliin buat gue juga boleh ditunggu di podium.”

“Tolong mbak di seberang sana yang dikodein Jinan harap peka,” balas Adrian yang tentunya mendapat tepukan pada lengannya dari partner komentatornya. “Kalian yang nonton di pinggir lapang banget tolong munduran ya, guys. Jangan mepet banget lapangan nanti kena bola nangis.”

Bunyi peluit panjang selanjutnya mulai terdengar, menjadi pertanda bahwa babak pertama dalam pertandingan kali ini sudah dimulai. Pertandingan futsal siang ini terdiri atas dua babak dengan durasi setiap babak selama 15 menit. Setiap tim berhak meminta satu kali time out kepada wasit selama satu menit pada setiap babak dengan jeda setiap babak yang diberikan oleh panitia adalah selama 5 menit.

Di menit awal pertandingan berjalan begitu santai. Penonton yang melihat jalannya pertandingan pun tetap fokus sambil sesekali diselingi tawa mendengar lelucon ataupun reaksi heboh yang diucapkan oleh para komentator. Pada menit ke-5, tim XI IPA 6 berhasil mencetak satu gol yang langsung dihadiahi sorakan ricuh serta yel-yel dari koridor teman-teman kelasnya. Namun, tak lama kemudian suara selebrasi mulai terdengar dari tim lawan begitu seseorang yang bertugas menjadi pivot andalan kelas XI IPA 8 berhasil menyamakan kedudukan skor.

Kedudukan skor tetap sama hingga peluit panjang dari wasit kembali berbunyi pertanda bahwa babak satu telah selesai. Selama jeda berlangsung, Jinan sempat meminta Satria yang berdiri tepat di belakang gawang XI IPA 6 untuk memanggil Ziel dan beberapa teman sekelasnya mendekat ke arah gawang maupun podium. Firasatnya terus berkata bahwa akan ada sesuatu yang terjadi seberapa besar pun Jinan berusaha untuk mengusir firasat buruk itu.

Lamunannya terhenti begitu wasit kembali membuka babak baru dalam pertandingan kali ini. Di lapangan tempat berlangsungnya pertandingan terlihat beberapa wajah baru yang masuk ke dalam tim XI IPA 8 sedangkan lawannya tetap menggunakan formasi yang sama seperti babak sebelumnya. Jeda yang diberikan panitia tadi nyatanya dapat memperkuat pertahanan dari kedua tim yang terlihat dari kedudukan skor yang tidak berubah bahkan hingga pada menit ke-5 dalam babak ini.

Suasana di lapangan siang itu seketika berubah menjadi tegang. Para penonton terlihat harap harap cemas sekaligus penasaran apakah pertandingan semifinal ini akan diakhiri dengan perbedaan skor saat pertandingan atau dengan penalti yang dilakukan oleh kedua tim secara bergantian. Tiga menit kemudian, sorak gembira terdengar dari gerombolan siswa XI IPA 8 begitu pivot andalannya kembali mencetak gol dan menambah skor untuk timnya. Gol yang tercipta tadi tentu semakin menambah bara semangat dari tim lawan untuk mengejar ketertinggalannya.

Suasana kembali menegang ketika salah satu pemain dari kelas XI IPA 6 meminta time out kepada wasit yang tentunya langsung dikabulkan saat itu juga. Dengan cepat para pemain dari kelas XI IPA 6 langsung membentuk lingkaran untuk kembali membahas atau mungkin mengganti strategi yang mereka gunakan dengan strategi lain yang sudah disiapkan. Sedangkan di sisi kanan para pemain dari tim lawan terlihat lebih santai namun tetap siaga.

Sampai akhirnya wasit meniup kembali peluit pertanda time out yang diberikan sudah habis. Terdengar decitan antara sepatu futsal dari para pemain dengan lapangan yang masuk ke dalam indra pendengaran para siswa. Sepi yang tercipta dalam sisi-sisi lapangan kini mulai berisik dengan berbagai bisikan dari mulut ke mulut.

“Wah, hawanya udah enggak enak ini mah.”
“Eh, kalian yang di pinggir lapangan munduran deh beneran ini udah enggak enak banget keliatannya.”
“Woy liat itu udah mulai main pake fisik, curang banget.”

Dan beragam bisikan lain yang masuk ke dalam telinga Anin serta teman-teman di sekitarnya membuat mereka bergerak gelisah di tempatnya. Firasat mereka kini selaras berkata bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi dalam beberapa menit kemudian.

Silau yang tercipta dari sinar matahari, suhu yang semakin sore entah mengapa terasa semakin panas, ditambah rasa frustasi dari para pemain yang kini tengah saling mengejar skor menjadi kombinasi yang hebat untuk membuat beberapa pemain dari kelas XI IPA 6 yang akhirnya bermain sedikit lebih kasar di detik-detik terakhir permainan. Bisikan yang tadinya terasa samar kini terdengar semakin jelas begitu para pemain di lapangan mulai menggunakan bahu dan kaki untuk mengalihkan fokus lawan pada permainan yang tengah berlangsung.

“Kasar banget mainnya sumpah.”
“Woy, santai aja mainnya enggak usah kasar gitu lo semua bukan lagi tanding piala dunia.”

Tepat ketika kalimat terakhir tadi masuk ke dalam telinga Jinan, pivot andalan dari kelas XI IPA 8 merasa tidak terima dengan perlakuan kasar dari lawan hingga akhirnya rasa lelah serta frustasinya memancing amarahnya untuk membuncah seketika. Kedua tangannya dengan cepat mencengkram bagian kerah jersey sang lawan dan perdebatan serta pertengkaran di antara keduanya pun tidak dapat dihindari. Kedua pemain yang saling mencengkram kerah lawan itu berjalan cepat ke pinggir lapangan, menuju depan kelas XI IPA 3 lebih tepatnya dan mulai melampiaskan amarahnya secara fisik. Para siswa yang tadinya duduk santai menonton pertandingan pun langsung terperanjat dan menghindar dari sumber keributan di lapangan siang itu.

Suara teriakan kaget dari beberapa siswa mulai terdengar dan hal itu membuat beberapa panitia OSIS dengan sigap berlari ke arah mereka untuk berusaha melerai. Termasuk Jinan yang dengan cepat melempar mikrofon yang tadinya ia gunakan dan segera berlari masuk ke dalam kerumunan siswa yang melihat pertengkaran yang tengah terjadi. Satria dan Ziel yang paham dengan keadaan pun langsung memberi tanda pada beberapa teman di sampingnya untuk membantu OSIS dan Jinan menyudahi adu fisik yang terjadi.

Anin yang duduk tak jauh dari sumber keributan pun mendadak membeku ketika melihat pertengkaran yang terjadi dengan kedua matanya. Gadis itu melirik ke arah podium dan nahasnya ia tidak mendapati Jinan pada tempatnya. Beberapa detik kemudian netranya menangkap Jinan yang kini tengah berada di dalam kerumunan berusaha melerai kedua pemain yang masih sibuk dengan emosinya masing-masing.

Keributan yang terjadi baru selesai lima menit kemudian setelah Pak Agus yang menjabat sebagai kesiswaan ikut turun dan melerai kedua siswanya yang kini sudah tak beraturan kondisinya. Kedua pemain itu tentu mendapat pelanggaran berupa kartu merah dari wasit dan langsung dipisahkan guna menghindari keributan yang mungkin dapat terjadi lagi.

Kondisi keduanya sama kacaunya begitu pun beberapa manusia lain yang berusaha melerai, termasuk Jinan. Rambutnya berantakan, nafasnya tak beraturan, wajahnya tak karuan. Pemuda itu sibuk mengatur nafasnya hingga tak sadar ada luka yang cukup panjang serupa luka bekas cakaran menghiasi hidungnya. Pelipisnya yang berubah warna menjadi sedikit kemerahan pun tak begitu ia hiraukan walau sakitnya mulai terasa. Ah, mungkin enggak sengaja tadi kena siku orang pas misahin, batinnya.

Sisa waktu dalam pertandingan itu kembali berlanjut namun kini suara komentator didominasi oleh suara Adrian, tanpa Jinan. Lelaki Februari itu tadinya akan berjalan kembali pada tempatnya begitu wasit dan panitia memberi kode bahwa pertandingan akan kembali dilanjutkan sesuai waktu yang tersisa. Namun pergerakannya terhenti ketika Satria menariknya cukup kencang ke pinggir lapangan, berjalan pada tempat tunggunya tadi bersama Ziel dan memberi sebotol air dingin yang Ziel beli tadi pada Jinan. Ziel yang akhirnya paham maksud Satria memintanya untuk membeli air minum dingin pun hanya mengamati keduanya dalam diam. Baik Satria maupun Ziel ikut meringis ketika Jinan menempelkan botol dingin itu pada pelipisnya yang mereka yakin besok akan berubah menjadi berwarna keunguan di sana.

“Udah gue mintain izin ke Adrian tadi biar dia jadi komentator dulu sendirian. Lo ngaca sana anjir ini muka lo kenapa jadi ikut enggak karuan juga?” ucap Satria.

Yang ditanya pun hanya mengangkat kedua bahunya cuek. Fokusnya ia pusatkan pada botol dingin di genggamannya yang secara perlahan mengurangi rasa sakit pada pelipisnya yang kini mulai terasa jelas. Pandangnya ia jatuhkan pada pertandingan di lapangan sana, berusaha meneliti berapa persen kemungkinan keributan seperti tadi akan terjadi. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada lagi keributan yang tercipta sampai saat wasit membunyikan peluit panjang pertanda pertandingan telah selesai walaupun sebenarnya hawa tegang masih meliputi seisi sekolah siang ini.

Pertandingan dimenangkan oleh kelas XI IPA 8 dengan kedudukan skor 2–1. Sorak gembira sarat perayaan berkumandang setelah suara peluit wasit pada akhir permainan. Tentunya berasal dari kelas yang berhasil mendapat skor lebih tinggi pada pertandingan ini.

Jabat tangan antar pemain dari kedua tim menjadi pertanda bahwa pertandingan panas siang ini telah selesai. Dengan pengumuman selanjutnya yang mengatakan bahwa kelas XI IPA 8 berhasil meraih juara tiga pada pertandingan futsal hari ini.

Anin tidak langsung pergi menuju gerbang dan memesan ojek online begitu bel pulang hari ini berbunyi. Pesan dari Jinan yang membuatnya berlaku demikian. Isi pesannya secara kurang lebih meminta Anin untuk tetap diam pada posisinya dan menunggu Jinan menghampirinya. Gadis itu kini duduk di depan kelasnya bersama Tasya yang juga sedang menunggu Satria.

Tiga menit kemudian Satria datang menghampiri keduanya, seorang diri. Hal itu tentu membuat Anin juga Tasya keheranan. Biasanya dimana ada Satria maka disitu ada Jinan — dengan Ziel juga terkadang. Kedua sejoli itu selayaknya anak kembar yang tidak ingin berpisah setiap waktu walaupun sebenarnya jarak antara keduanya selalu diisi dengan beragam perdebatan mulai dari hal penting sampai yang sangat tidak penting.

Satria tanpa basa basi langsung mengajak Tasya untuk segera pulang. “Langsung pulang ya, Ca. Ini ibu negara tiba-tiba minta tungguin rumah soalnya mau kumpul ibu PKK.”

”Perasaan kemarin udah kumpul.”

”Beda lagi. Kemarin kumpul bahas lomba senam antar kelurahan kalau yang sekarang mau ada latihan paduan suara buat lomba antar RW.”

Baik Tasya maupun Anin berdecak kagum mendengar kalimat yang Satria lontarkan. Tasya yang paham betul bahwa ibu dari sahabatnya ini memang sangat terkenal di kalangan ibu-ibu komplek sekitar rumahnya. Bahkan Tasya tak merasa asing dengan rentetan kalimat sarat akan kekaguman yang mamanya lontarkan ketika sedang makan malam bersama.

”Kenapa belum pulang, Nin? Nunggu si Jinan?” tanya Satria memastikan.

Anin menganggukkan kepalanya. Sesekali gadis itu melirik sekitarnya, berusaha mencari kehadiran Jinan yang entah berada dimana sekarang.

”Tadi anaknya di depan ruang OSIS bareng si Ziel paling bentar lagi turun,” jawab Satria. “Nah panjang umur. Tuh anaknya muncul.”

Pandangan Anin langsung berpindah ke sisi kirinya dan benar saja ada Jinan di sana tengah melangkahkan kaki ke arahnya sembari berbincang dengan Satria. Anin tidak dapat melihat dengan jelas wajah Jinan karena tertutup tudung hoodie miliknya namun Anin yakin bahwa setidaknya akan ada satu berkas entah itu luka atau memar pada wajah Jinan akibat sengaja masuk ke dalam kerumunan keributan siang tadi.

Begitu sampai tepat di depan Anin, Jinan langsung menghentikan langkahnya dan memamerkan deretan giginya ketika Anin melihat ke arahnya. Jinan kini berdiri tepat di hadapannya dengan plester kecil yang menutupi luka pada bagian tulang hidungnya dan memar samar yang tercipta di pelipis kanannya yang Anin yakini warnanya akan menggelap esok hari. Gadis itu menghembuskan napasnya kasar sekaligus lega melihat kondisi Jinan yang lebih baik dari apa yang bertengger di kepalanya sejak tadi.

”Pulang sekarang?” tanya Jinan lembut.

Dengan cepat Anin menganggukkan kepalanya dan tanpa kata langsung menarik Tasya mengajak gadis itu untuk langsung berjalan menuju parkiran, tempat para pemuda menaruh kendaraan roda dua beserta helmnya. Jinan yang melihat itu hanya tersenyum kecil karena tahu gadis yang akan mengisi jok belakang motornya pasti tidak akan bersuara sepanjang perjalanan nanti. Beberapa bulan dekat dengan si gadis membuat Jinan paham akan tabiat Anin ketika sedang merasa khawatir akan sesuatu seperti sekarang ini misalnya.

Benar saja, sepanjang perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang mengeluarkan suaranya. Jinan yang sibuk dengan jalanan dan Anin yang sibuk dengan isi kepalanya. Pun ketika keduanya sampai di depan rumah si gadis, Anin langsung turun kemudian mengucapkan terima kasih tanpa kalimat apapun setelahnya dan langsung melangkah masuk ke dalam rumahnya. Menyisakan Jinan yang kini terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk menyalakan kembali mesin motornya dan melaju menuju rumahnya.

--

--

lea
0 Followers

find me on twitter : @skiesdy