"Pak mie ayamnya 2 ya!" ucapku ke Pak Amin, penjual mie ayam gerobak yang mangkal di tikungan jalan menuju kampus.
"Biasa kan mba?" sahut pak Amin.
"Iya pak."
Aku menoleh ke jejeran kursi dan meja yang disusun sedemikian rupa di pinggir jalan kemudian mendapati Arka sudah duduk manis sambil melambaikan tangannya ke arahku.
"Nutri sari jeruk nipis dingin kan, kaya biasa?" tanyanya saat aku duduk di hadapannya yang kemudian kubalas dengan anggukan.
"Nina, nina nina nina. Tau gak sih, kemaren di radio kampus ada yang nitip salam gitu buat pacarnya."
"Hah, masa? Kok aku ga denger? Padahal aku dengerin terus kalo kamu siaran."
Arka langsung tersenyum lebar setelah mendengar perkataanku. Tidak lupa pula jari telunjuk dan jempolnya yang membentuk tanda checklist ia letakkan di dekat dagu. Kebiasaan.
"Aduh, emang bener pacarnya Nina tuh emang paling keren sekomplek. Bagus kan suaraku pas siaran?"
"Kebiasaan. Mau lanjut cerita gak nih?" jawabku.
"Jawab dulu, bagus gak?" ucapnya lagi sambil mengerucutkan bibirnya.
"Iya dong, bagus banget. Pacarnya siapa dulu nih, pacarnya Nina!" ucapku sambil menepuk-nepuk punggung tangannya yang kemudian diiringi tawa renyahnya.
Persetan para pembeli mie ayam Pak Amin. Manusia di depanku ini sangat menggemaskan. Kalau kalian iri, cari satu buat kalian sendiri.
"Ini mba, mas, mie ayamnya." ucapan salah satu karyawan Pak Amin menginterupsi tawa kami berdua. Arka buru-buru mengangguk sambil mengucap terima kasih lalu mulai mengaduk-ngaduk mie ayam di depannya.
Dua mangkuk mie ayam bakso, yang satu tidak boleh pedas, yang satu lagi harus tanpa daun bawang. Satu gelas nutri sari jeruk nipis dingin untukku dan juga teh susu dingin untuk Arka. Menu ini akan selalu menjadi pesanan kami setiap kali singgah di gerobak Pak Amin. Entah mengapa secara tidak sengaja kami berbagi tugas di sini, aku memesan makanan dan Arka yang memesan minumannya.
Pernah dulu sekali, Arka yang memesankan makanan. Ketika dua mangkuk mie ayam datang ke meja kami, aku langsung membuang napas panjang.
"Kenapa, Na?" tanyanya bingung.
"Aku ga suka daun bawang." ucapku menunduk.
Ada jeda sejenak sebelum Arka mulai menyendokkan semua daun bawang di mangkuk mie ayamku dan dia pindahkan ke mangkuknya. Aku mendongakkan kepala dan melihat Arka dengan serius menyendokkan daun bawang yang tersisa di mangkukku. Setelah memastikan sudah tidak ada daun bawang, lalu dia menepuk tangannya girang.
"Yeay! Udah gaada daun bawangnya!" ujarnya.
Aku tersenyum melihat tingkah kekanakannya.
"Makasih ya." ucapku sekilas lalu mulai mengaduk mie ayamku.
Arka hanya mengangguk lalu menepuk puncak kepalaku pelan.
Good old day, doesn't it?
Di sela-sela kunyahanku, aku menatap Arka yang dengan lahap menyantap mie ayamnya. Arka memang selalu suka makan. Pipinya selalu menggembung sempurna setiap kali dia makan. Sangat menggemaskan. Rasanya mie ayam di hadapanku ini bertambah lezat setiap kali aku makan bersamanya.
"Ngapain ngeliatin aku? Ganteng?" ucapnya saat mendapatiku menatap ke arahnya.
"Makannya pelan-pelan aja, Ka. Aku ga minta kok." ucapku lalu tertawa.
"Laper, Naa." ucapnya sambil menyedot teh susu dinginnya.
"Laper mulu dah perasaan, kaya ga makan seminggu."
"Emang uda seminggu kan ga makan di tempat pak Amin?"
Aku menyuapkan sesendok mie ayam ke dalam mulut sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Abis ini temenin aku ke sekre dulu mau gak, Na?"
"Boleh, mau ngapain?"
"Jaketku ketinggalan, ntar jadi hak milik sekre kalo ga diambil."
"Ohh, okee." jawabku sambil mengangguk.
Aku menyuapkan sesendok mie ayam lagi lalu menambahkan sesedok sambal cabe ke mangkuk mie ayamku.
Gerobak Pak Amin menjadi saksi bisu dalam sejarah hubunganku dan Arka. Dimulai dari pertemuan pertama yang berujung Arka harus memesan bergelas-gelas teh susu dingin karena kepedasan. Iya, Arka tidak kuat makan pedas dan tidak memberitahuku apapun saat aku memesan mie ayam. Waktu itu, wajah dan telinga Arka berubah merah padam.
'Kok kamu gabilang kalo ga bisa makan pedes?' tanyaku dengan sangat merasa bersalah.
'Kamu ga nanya.' jawabnya sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan bibir.
'Kok uda tau pedes tetep dimakan?'
'Abisnya laper.' jawabnya sambil mengerucutkan bibirnya yang merah dan sedikit membengkak akibat kepedasan.
Aku melemparnya gulungan tisu dan tertawa.
'Aku lagi kepedesan malah diketawain.' cicitnya lalu menyesap teh susu dinginnya yang ke tiga.
'Abis kamu lucu, maaf ya jadi bikin kamu kepedesan gini.'
Ada hening yang tercipta di antara ku dan Arka pada saat itu. Setelah jeda beberapa saat, seulas senyum melengkung di bibir Arka.
"Udah selese, Na?" tanya Arka membuyarkan lamunanku saat aku menyedot tetes terakhir minumanku.
"Udaaaahhh, yuk bayar. Nih aku nyumbang dua puluh rebu." ucapku sambil menyerahkan selembar uang berwarna hijau.
"Oke sip." jawabnya meraih uang tersebut dan bangkit menghampiri pak Amin dan membayar pesanan kami.
Bertemu dengan Arka merupakan salah satu hal paling menyenangkan yang pernah terjadi padaku. Melihatnya tersenyum dan terawa, melihat antusiasmenya saat bercerita atau sesederhana bagaimana dia makan dengan sangat lahap membuat hatiku terasa hangat.
"Nina?" panggilnya menginterupsi lamunanku.
"Apa?" sahutku mendekat ke arahnya.
"Dompetku di jaket.... Ehehe."
Dasar, kebiasaan!