Sebelum benar-benar pulang ke rumah, Arion mengajak Sunghoon untuk makan siang di restoran terdekat.
Di sana, saat mereka menunggu makanan tersaji, Sunghoon hanya bermain dengan handphone nya. Membuka tutup aplikasi atau hanya mengetik, berpura-pura mengirim pesan. Entahlah, Sunghoon merasa tak nyaman sekarang.
“Bunda gimana kabarnya? Udah lama gak liat bunda.” tanya Arion
Sunghoon yang awalnya berpura-pura mengetik, lantas mendongakkan kepalanya, “Ohh, bunda baik kok.” jawab Sunghoon lalu kembali menundukkan kepalanya menatap handphone.
“Habis makan mau langsung pulang aja?” tanya nya lagi
“Iya.” jawab Sunghoon singkat.
“Yaudah, gimana kalo besok kita main lagi?”
“Gak tau.”
Obrolan mereka terhenti ketika seorang pelayan memberikan makanan mereka.
Bukannya makan, Sunghoon tetap fokus pada handphone nya. Udon, yang selalu menjadi favoritnya ia biarkan begitu saja.
“Makan, hoon.” titah Arion
“Nanti, masih panas.”
5 menit berlalu, Sunghoon masih setia dengan handphone nya yang membuat Arion geram. Lantas, ia merebut paksa handphone Sunghoon.
“Lo kenapa sih, hah? Gue ajak ngobrol jawabnya singkat singkat. Sekarang mau makan, pandangan lo dari tadi ke hp mulu. Mau lo apa?” ujarnya sedikit membentak
Sunghoon tentu saja terkejut, karena baru kali ini Arion berani membentaknya.
“Jawab! Mau lo apa? Mau makan atau enggak?”
Sunghoon menunduk, tak berani menatap Arion.
“Mau pulang…”
“Emang nyusahin lo.”
Arion berdiri, lalu menarik pergelangan tangan Sunghoon membawanya keluar dari restoran. Tak lupa menyimpan uang di atas meja.
Sunghoon memberontak, cengkraman Arion sangat menyakitkan. Ia mencoba melepasnya dengan tangan kiri nya, namun semuanya sia-sia. Tenaga Arion lebih kuat dari tenaga nya.
“Sakit.. lepasin.”
Percuma, semakin Sunghoon memberontak, semakin kuat cengkraman Arion di tangannya.
Sunghoon menangis, bahkan ketika ia di paksa untuk masuk ke mobil pun rasanya ia ingin lari saja. Namun, ia tidak bisa lepas dari Arion.
Selama perjalanan Sunghoon hanya diam, tak berani mengeluarkan suara. Setelah beberapa menit, sadar mobil tak sampai-sampai ke rumahnya, Sunghoon menatap sekitar. Ia merasa asing tempat ini. Dan akhirnya ia sadar, bahwa saat ini Arion tidak mengantar ia pulang ke rumah.
“Arion, ini dimana?”
Tak ada jawaban. Arion tetap fokus menyetir mobil.
“Arion, please… lo mau bawa gue ke mana?”
Tetap tak ada jawaban.
“Arion, turunin gue di sini please, gue mau pulang sendiri.”
“Arion…”
“Arion, gue mau pu — ”
bugh
“BERISIK! LO BISA DIEM GAK?!”
Sakit. Itu yang Sunghoon rasakan sekarang. Pipi kanan nya terasa kebas lalu di susul rasa nyeri. Selama ini tidak ada yang pernah memukul nya. Bunda selalu menjaga Sunghoon agar tak merasa kesakitan. Jake, sahabatnya selalu melindungi Sunghoon dari mereka kecil. Dulu, Jay, yang menurutnya galak sekalipun, tak pernah main tangan dengannya. Lantas, Arion yang belum lama ia kenal, mengapa berbeda?
Sunghoon akhirnya terdiam, tak ingin lagi di pukul. Ia hanya menangis sambil memegang pipi kanan nya.
Arion membawanya jauh dari kota. Mereka sampai di sebuah rumah kecil. Di sekelilingnya tumbuh pohon pohon liar yang sangat tinggi. Seperti hutan, namun bukan hutan.
Arion kembali menarik Sunghoon untuk masuk ke rumah itu. Sunghoon takut, rumah itu seperti tidak terawat. Di dinding rumah itu ada banyak sekali rumput liar yang menjalar, juga banyak daun daun kering berserakan di lantai rumah.
Ia di bawa ke salah satu kamar di rumah itu, Arion melempar tubuh Sunghoon ke sebuah ranjang berukuran kecil.
“Kenapa? Sakit?” tanya nya lalu tertawa remeh.
“Baru di gituin aja nangis. Mana gaya songong lo waktu tadi makan? Lo pikir gue se cinta itu sama lo? Hhhh, kagak! Lo kebanyakan mimpi.”
Salah. Sunghoon salah mengira Arion orang baik. Pertemuan mereka mungkin memang baik, tapi tidak sekarang. Sunghoon takut setengah mati, berharap ada seseorang yang akan menyelamatkannya.
“Gue mau pulang!”
“Terus? Itu bukan masalah gue.”
“Lepasin gue, atau gue teriak?”
“Silakan teriak, gak bakal ada yang denger teriakan lo, cantik. Cantik cantik bego.”
Setelah mengatakan itu, Arion lalu meninggalkan Sunghoon sendiri di ruangan itu. Mengunci dari luar.
Tak ada yang bisa ia lakukan di sana. Di ruangan itu hanya ada 1 ranjang kecil dan sebuah sofa berukuran sedang yang penuh dengan jaring laba-laba. Sunghoon mencoba membuka jendela di sana, namun usahanya sia sia, itu terkunci. Lalu ia duduk di teras sambil menopang kepalanya dengan kedua lututnya.
Ia bergumam, “bundaa, jake, jeyii.. tolong aku”