Science fiction sebagai sebuah cerminan kecemasan masyarakat pada masanya.

Nabilah Hana
6 min readMar 13, 2024

--

Science fiction adalah sebuah sastra (kata sastra yang nantinya diperdebatkan) yang mempersiapkan kita untuk menerima perubahan, untuk melihat perubahan sebagai hal yang natural dan tidak dapat dielakkan, Dan seraya perubahan menjadi suatu tetapan dalam kehidupan kita, daya tarik dari genre science fiction dapat dipahami dan memberi semangat. Ditambah dengan kemolekan populer yang dimiliki science fiction sebagai sebatas hiburan saja, menjadi jelas kenapa sastra ini menarik banyak pembaca dari berbagai demografi.

Photo by Michael Dziedzic on Unsplash

Science fiction memiliki nenek moyang yang bermula dari keinginan manusia di masa kuno untuk menjelaskan keajaiban alam semesta. Benih science fiction ditanamkan seraya manusia menerka-nerka dunia yang belum diketahui.

Awal mula science fiction dimulai dari abad ke-2 masehi, dengan seorang Yunani, Lucian yang mensatirkan masyarakatnya sendiri melalui perjalanan ke bulan yang imajiner. Meskipun cerita perjalanan yang menakjubkan dan karya lain yang mengandung elemen science fiction muncul di sastra barat selama berabad-abad, awal dari Revolusi Industri di abad ke 18 dengan gambaran masa depan yang dipengaruhi oleh teknologi menjadi titik awal science fiction sebagai bentuk sastra. Tiba-tiba ada kemungkinan bahwa hari esok akan membawa dunia yang lebih baik, dan perkembangan sains membawa ide bahwa manusia mungkin bisa mengontrol nasibnya. Sampai abad ke-19, dunia mulai percaya dengan keajaiban sains yang tidak terbatas, dan benih perkembangan science fiction pun mulai tersemai.

Science fiction sering dianggap bermula dengan karya Mary Shelley, Frankenstein. Ia memulai tren yang meninggalkan elemen supernaturan dan memperkenalkan sains sebagai unsur dari karya fiksi. Frankenstein menunjukkan tema dimana manusia menciptakan kehidupan dan konsekuensi yang menghantuinya. Novel ini memperingati bahwa sang ilmuwan lah yang bertanggungjawab untuk mengantisipasi efek jangka panjang dari ciptaannya yang mungkin berdampak ke dunia. Tema ini digaungkan dalam majalah-majalah pulp di tahun 1920–1930an hingga kini.

Di abad ke-19 ketertarikan utama adalah terhadap ide-ide sains dan progres, dan mood dari masa tersebut secara umum adalah optimis. Banyak penulis-penulis besar di Amerika dan Eropa bereksperimen dalam menulis cerita tentang sains bau dan kemungkinan masa depan, tapi Jules Verne merupakan salah satu penulis yang paling berdedikasi. Ia hampir dalam disebut archetype dari ketertarikan romantis terhadap sains dan teknologi di abad ke 19. Selama hidupnya ia menyaksikan era besar dari invention, dan karya-karyanya merepresentasikan ketertarikan Eropa terhadap keajaiban dan kemungkinan dari sains. Karya karyanya menyorot revolusi dalam transportasi, seperti Five Weeks in a Balloon (1863), From the Earth to the Moon (1865), Twenty Thousand Leagues Under the Sea (1870), dan Around the World in Eighty Days (1873). Mungkin Verne bukanlah innovator yang hebat mengenai ide-ide science fiction, tapi ia menangkap spirit optimistik dari abad ke-19 ketika ia membuat pencapaian teknologi sebagai subjek dari karya fiksi. Maka sceince fiction, meski belum memiliki nama, memiliki identitasnya sendiri melalui karya-karya Verne. Dunia Verne terlihat sempit apabila dibandingkan oleh penulis abad ke-19 lainnya, H.G. Wells.

Dengan latar belakang sebagai ilmuwan, guru dan jurnalis, H.G. Wells menerbitkan karya “romansa ilmiah” pertamanya, The Time Machine di 1895. Novel ini tak hanya merupakan media untuk perjalanan menakjubkan melalui waktu, novel ini juga mengandung komentar sosial. Wells mengkritisi eksploitasi dari kelas-kelas pekerja dengan menyerang sistem kelas Inggris yang memisahkan pekerja dari orang-orang kaya. Ia menantang gagasan abad ke-19 mengenai perkembangan peradaban dan mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan terkait arah kemajuan yang akan datang.

Melalui berbagai motif dan perspektif, H.G. Wells membuat sindiran terkait insignifikansi manusia di alam semesta. Melalui Wells, science fiction mulai memiliki bentuk dan arah, menjadi sebuah media untuk ide-ide alih-alih petualangan belaka. Ia tak hanya menujukkan bahwa karya fiksi dapat mengantisipasi kekuatan sains untuk mengubah dunia, ia juga memprediksikan bahwa penemuan ilmiah akan mengubah pandangan masyarakat mengenai posisinya di alam semesta. Visi Wells akan masa depan, sebagaimana tercermin melalui karya science fictionnya cenderung pesimistis, tidak sama dengan Jules Verne, yang cenderung optimistik dalam cerita-certia perjalanannya di era scientific.

Motif-motif lain mulai bermunculan dalam ranah science fiction, seperti motif perang di masa depan. Cerita-cerita mengenai hari kiamat juga berevolusi mulai dari karya Mary Shelley The Last Man (1826) dimana wabah menghacurkan uumat manusia, dan ancaman ancaman seperti kehancuran dunia, hingga Bumi yang hancur akibat perang atom, overpopulasi, populasi, dsb yang lebih sering terlihat pada era pasca-Perang Dunia ke-2. Science fiction kontemporer cenderung memilih fokus bukan pada kehancuran dunia, tapi kepada tipe masyarakat yang berkembang setelah kehancuran dunia.

Motif yang populer baik di Amerika atau Eropa adalah “ras yang hilang”, yang berkembang dari ketertarkan dalam geologi, arkeologi, paleontologi, dan eksplorasi. “Melarikan diri” menjadi garis pokok karya science fiction di tahun-tahun awal abad ke-20. Cerita-cerita mengenai daerah eksotis dan ras yang hilang memberikan pembaca kebebasan sementara dari dunia yang membosankan. Latar yang menakjubkan, petualangan yang memukau memberikan pembaca kebebasan dari kemuraman kota-kota terindustrialisasi dan kenyataan Perang Dunia 1.

Hugo Gernsback (1884–1967), seorang imigran dari Luxembourg mulai menerbitkan majalah yang menampilkan cerita-cerita science fiction secara rutin. Pada tahun 1926, Gernsback menerbitkan edisi pertama dari Amazing Stories, yang merupakan majalah pertama yang khusus menerbitkan cerita science fiction (sciencetifiction, sebutan pertama dari Gernsback). Bentuk sastra ini melepaskan diri dari sastra mainstream dengan mengisolasi diri melalui berbagai judul-judul novel pulp, dan menjadi satu-satunya outlet untuk penulis science fiction hingga pasca Perang Dunia ke-2. Kebanyakan cerita science diction di Amazing Stories menekankan keajaiban sains dan dipenuhi dengan hal-hal futuristik dan petualangan fantastis– salah satu bentuk dari karya fiksi escapism. Pada tahun 1952, Hugo Gernsback menjadi tamu kehormatan di World Science Fiction Convention di Chicago. Pada tahun berikutnya, di konvensi di Philadelphia, karya science fiction yang populer dianugerahkan sebagai “Hugos”, sebuah kehormatan bagi pencetus istilah science fiction.

Science fiction mulai berubah bentuk dan arah ketika, di akhir 1937, John W. Campbell, menjadi editor dari Astounding Stories. Ia merekrut penulis yang mampu membuat karya yang lebih realistis mengenai sains dan ilmuwan, dan meminta mereka untuk menulis dengan gaya dan teknik dengan lebih canggih. Para penulis memperbaiki alur cerita dan karakter-karakternya, serta menekankan hubungan manusia, dan didukung oleh Campbell ntuk menyertakan aspek psikologi, filsafat, politik dan “soft science” lainnya. Salah satu penulis yang muncul di edisi Astounding STories adalah Isaac Asimov. Dipandu dengan permintaan Campbell akan scientific conjecture yang lebih serius, genre science fiction semakin matang, dan memasuki era yang disebut “Era Keemasan” pada periode 1938–1950.

Ketika karya science fiction sebelum perang fokus terhadap keajaiban teknis yang muncul akibat perkembangan ilmiah, penulis-penulis di era PD 2 mulai mengusut konsekuensi dari perkembangan ini dan ketakukan bahwa manusia akan menjadi korban dari ciptaan kita sendiri. Science fiction mengalami sebuah arah perkembangan yang baru seraya ilmu-ilmu sosial menjadi subjek penting bagi para penulis di tahun 1950an dan 1960an. Tema masa depan distopia menjadi alur cerita utama di science fiction pulp tahun 1950an. (Fahrenheit 451 karya Ray Bradbury, A Clockwork Orange karya Anthony Burgess, dll)

Respons terhadap isu-isu sosial menjadi semakin intens di tahun 1960an. Penulis-penulis di era ini disebut “The New Wave”, yang memperingatkan kekacauan dan keputusasaan yang muncul dari potensi terjadinya perang dan korupsi internal dari masyarakat teknologi. Penulis penulis New Wave menghasilkan pendekatan baru dalam menulis science fiction, dan akhirnya teraklimasi ke dalam genre science fiction.

Science fiction kembali berkembang pada tahun 1970an, dengan karya-karya Ursula K. Le Guin (The Left Hand of Darkness, The Dispossessed) dan Philip K. Dick (Flow My Tears, A Scanner Darkly) dll yang menjadi standar kualitas science fiction pada masa tersebut. Banyak penulis lain yang mulai memasuki sceince fiction pada tahun 1970an, dekade yang subur bagi science fiction. Robert Holdstock menyatakan pada Encyclopedia of Science Fiction : “The field has diversified to the point where to describe it any longer as a genre, while a convenient shorthand, is hopelessly inadequate. SF, if the term means anything, is a form of contemporary metaphor, a literary device for examining our world and our lives from another perspective. It is a significant form of the contemporary novel: not a substitute for it, not a poor relation of it, but an integral part of it. Its species of imaginative metaphor is one which has been attracting more intelligent readers and more serious and dedicated writers in the 1970s.”

Dalam banyak aspek science fiction masih berkembang, mengubah bentuknya, memodifikasi teknik dan pokok bahasannya. Keinginan untuk beradaptasi terhadap perubahan dalam gaya penulisan dan arah perkembangan adalah hal tipikal bagi science fiction, yakni sastra yang utamanya fokus dengan mengevaluasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kondisi masa depan yang akan terbentuk, dan memberikan visi dari kemungkinan yang mungkin terjadi kepada masyarakat dan manusia.

Studi science communication terbaru juga menyatakan bahwa science-fiction meningkatkan kesadaran pembaca mengenai isu-isu ilmiah, dan menstimulasi diskusi di antara orang awam non-ilmuwan. Topik-topik ini bisa bermula dari teknologi yang sedang berkembang, isu-isu iklim, dan lain sebagainya. Tapi, science-fiction tidak memberikan solusi, tapi dengan meningkatkan awareness terhadap topik-topik itu pembaca awam bisa menstimulasi diskusi tentang solusi isu-isu yang mencekam. Selain itu, science fiction juga menguatkan kepercayaan kemampuan manusia untuk melalui isu-isu ini. Science-fiction memang bukan genre segala-bisa, tapi science fiction memberi secercah harapan dan menstimulasi kontemplasi di hidup kita yang muram ini.

--

--

Nabilah Hana

studies physics and STS, classics and myths enthusiast, aspiring science writer.