Shoku Bunka: Ragam Unik Budaya dalam Makanan Jepang

Annisa Fathihana Rizqita
7 min readDec 6, 2021

--

Halo semuanya, saya Annisa Fathihana Rizqita dari Universitas Komputer Indonesia. Kali ini saya berkesempatan untuk membahas tentang uniknya budaya dalam makanan Jepang. Semoga teman-teman bisa menikmati tulisan saya, selamat membaca. :)

Berada di antara Cina dan Korea, Jepang memiliki berbagai macam budaya, salah satunya adalah budaya dalam makanan. Jepang terletak di daratan Asia, hal ini mempengaruhi pertumbuhan sumber daya alam dan budaya. Alhasil, Jepang menjadi negara yang memiliki sumber daya alam yang dapat menyediakan pangan yang cukup, baik dari gunung, laut maupun sungai. Perubahan iklim yang mengakibatkan munculnya 4 musim juga mempengaruhi keragaman budaya pangan. Dengan berbagai upaya untuk menghasilkan berbagai ciri khas makanan yang unik, Jepang menjadi negara yang dikenal dengan identitas kulinernya. Jepang mampu menghasilkan warna budaya dalam makanannya yang mudah diterima oleh masyarakat internasional.

Dalam kebudayaan Jepang ada istilah yang dikenal dengan “shoku bunka”, yaitu 食shoku: makanan; 文化bunka: budaya. Istilah ini diciptakan para peneliti untuk memudahkan penelitian makanan dalam ranah budaya. Sejauh ini Jepang terkenal dengan berbagai macam jenis makanan oleh dunia internasional, baik makanan tradisional maupun modern. Dibalik keunikan dan lezatnya makanan Jepang, ada banyak juga berbagai kebudayaan yang belum banyak orang ketahui. Selama perkembangannya, makanan Jepang juga mengalami adanya pengaruh globalisasi. Namun Jepang mampu mempertahankan konsistensi akan ciri khas makanannya dengan menciptakan beberapa inovasi baru. Beberapa makanan yang mengalami perkembangan seperti sushi, shabu shabu, onigiri, dan okonomiyaki dapat mudah diterima oleh masyarakat dunia. Kunci utama negara Jepang dalam mempertahankan ciri khas makanannya adalah tidak jauh dari budayanya. Setiap makanan memiliki sejarah dan budayanya masing-masing yang secara tidak langsung memberikan keunikan tersendiri. Hal inilah yang menjadikan makanan Jepang sebagai identitas pelestarian budaya negara.

Shabu-Shabu

Pengaruh daratan Asia telah terungkap baik dalam tumbuhan alami maupun budidaya. Sejak dulu, oryza sativa atau padi merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Jepang sendiri sudah mengonsumsi nasi sejak zaman Jomon dengan lauk dari bahan makanan yang dibuat dengan cara direbus, dipanggang, dan dikukus. Lalu pengolahan makanan dengan cara digoreng mulai berkembang pada zaman Asuka yang berasal dari semenanjung Korea dan Tiongkok. Dalam perkembangannya, makanan Jepang mengalami pengaruh paling besar dari negara Tiongkok. Cara memasak dari Tiongkok digunakan untuk mengolah bahan makanan lokal, disesuaikan dengan keadaan alam di Jepang hingga akhirnya melahirkan makanan dengan ciri khas Jepang. Berikut ini adalah bentuk dari budaya yang ada dalam makanan Jepang.

  1. Penyajian Makanan Jepang

Istilah nihonjin wa me de taberu ‘Orang Jepang makan dengan matanya’ mempunyai makna bahwa penyajian hidangan di Jepang merupakan hal yang sangat diperhatikan. Oleh sebab itu orang Jepang sangat detil dalam menyajikan makanan, mulai dari produk makanan yang dijual di toko serba ada hingga makanan dengan level tinggi. Seperti contohnya pada onigiri yang dijual dengan kemasan plastik, terdapat nomor urutan yang memandu konsumen agar dapat membuka kemasan dengan mudah. Pada makanan tradisional, Jepang memiliki ciri khas yaitu menonjolkan bahan dasar. Misalnya, pada tumisan sayur digunakan shoyu yang encer agar warna asli sayuran masih terlihat segar saat disajikan.

Cara penyajian makanan di Jepang berbeda dengan cara penyajian makanan pada negara Cina atau Eropa. Penyajian makanan Eropa umumnya bertahap dimulai dari makanan pembuka hingga yang terakhir makanan penutup. Di Jepang, semua makanan disajikan langsung secara sekaligus. Jepang tidak mengenal perbedaan antara tata cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di restoran, terkecuali untuk jamuan makanan dan kaiseki yang disajikan secara bertahap. Tradisi penyajian makanan secara langsung ini dikarenakan rasa makanan Jepang yang umumnya harus dicampur saat di konsumsi. Seperti misalnya tsukemono yang akan terasa terlalu asin kalau dimakan begitu saja, namun akan lebih lezat jika dimakan dengan nasi putih.

Di setiap rumah keluarga Jepang, masing-masing anggota keluarga memiliki mangkuk dan sumpit sendiri yang tidak saling dipertukarkan dengan milik anggota keluarga yang lain. Peralatan makan yang digunakan umumnya dibuat dari keramik, porselen, atau kayu yang dipernis dengan urushi dan terdiri dari berbagai macam ukuran. Mulai dari mangkuk nasi, gelas, dan sumpit dibedakan ukurannya untuk membedakan milik laki-laki dan perempuan. Ukuran standar yang digunakan untuk diameter mangkuk adalah 11cm hingga 12cm. Untuk sumpit yang digunakan bisa berupa sumpit kayu, sumpit bambu, atau sumpit sekali pakai. Alat makan yang terbuat dari porselen biasanya diberi hiasan gambar-gambar untuk mempercantik tampilan hidangan. Jepang tidak memiliki peraturan tertentu untuk bentuk alat makan dari keramik. Piring bisa saja berwarna gelap dan berbentuk segi empat sehingga sangat mencolok jika dibandingkan dengan piring makanan Eropa.

2. Etika dan Tata Cara saat Makan

Dalam menyantap makanan, orang Jepang memiliki budaya tersendiri yang dibentuk dan dijaga hingga kini. Dari mulai cara menggunakan alat makan, hingga cara makan hidangan yang berbeda. Sebelum makan, biasanya orang Jepang akan memuji makanan yang sudah disajikan sebagai ungkapan terima kasih dan mengucapkan kalimat itadakimasu yang artinya ‘selamat makan’. Ketika makan, ada etika yang harus diperhatikan. Seperti contoh tidak boleh membicarakan hal yang jorok, bersendawa, dan memainkan sumpit. Setelah selesai makan, orang Jepang akan mengucapkan gochisousamadeshita sebagai bentuk terima kasih pada orang yang menyediakan makanan.

Pada restoran Jepang saat ini sudah banyak diterapkan cara penyajian ala Barat. Namun, untuk beberapa acara tertentu mereka tetap menggunakan tradisi sendiri saat makan. Biasanya untuk makan bersama digunakan meja besar dengan ukuran yang lebih tinggi. Saat makan, orang Jepang akan menggunakan sikap duduk dengan melipat kaki atau disebut seiza. Dibawah kaki akan disediakan bantalan tipis untuk menahan tulang supaya tidak bergesekan dengan lantai. Lantai juga dilapisi dengan alas jerami yang disebut tatami. Semua upaya ini dilakukan untuk menghindari resiko keram atau kesemutan saat sedang makan.

Di Jepang, chawan digunakan sebagai tempat untuk nasi atau sup. Chawan sendiri berasal dari bahasa Jepang yang artinya ‘mangkuk beras’ atau ‘cangkir teh’. Penggunaan chawan diharuskan menggunakan tangan kiri sedangkan tangan kanan memegang sumpit untuk mengambil lauk yang ada di atas tatami. Chawan yang diangkat saat makan akan memudahkan menyuap makanan ke mulut.

Penggunaan ohashi atau sumpit dalam menyantap makanan juga harus diperhatikan karena orang Jepang sangat sensitif akan hal ini. Ketika akan mulai makan, sumpit hendaknya jangan dipegang terlebih dahulu. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memegang chawan dengan tangan kiri lalu baru boleh mengambil sumpit dengan tangan kanan. Setelah selesai makan, sumpit harus diletakkan disamping chawan seperti semula.

3. Makanan Tradisional Jepang

Makanan tradisional Jepang berdasarkan penyajiannya dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu Honzen ryouri atau makanan yang biasa disajikan pada nampan berkaki di acara formal, Chaikaiseki ryouri atau makanan yang biasa disajikan sebelum upacara minum teh, Kaiseki ryouri atau makanan yang biasa disajikan pada pesta. Selain itu, terdapat pula Oseji ryouri atau makanan yang biasa disajikan saat tahun baru, dan Shoujin ryouri atau makanan vegetarian yang biasa di sajikan di kuil agama Buddha.

Bahan dasar umum yang digunakan dalam makanan Jepang yaitu beras, sayuran, kacang-kacangan, dan makanan laut. Biasanya makanan laut disajikan mentah dengan kualitas bahan yang segar dan diolah dengan teknik yang baik. Bahan untuk bumbu yang menjadi tipikal dari makanan Jepang adalah bahan-bahan fermentasi seperti shoyu, miso, sake, dan mirin. Rasa makanan Jepang dibentuk dengan menggunakan dashi atau air kaldu yang dibuat dari konbu atau ikan bonito (katsuobushi). Walaupun pada umumnya rendah lemak, tetapi makanan Jepang mengandung kadar garam yang tinggi. Untuk mempertahankan cita rasa alami dari bahan dasar makanan, orang Jepang tidak menggunakan bumbu dengan rasa yang kuat. Mereka hanya memakai beberapa bahan rempah seperti jahe, sitrun, dan wasabi. Masakan Jepang memakai lima bumbu utama yang harus dimasukkan secara berurutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so: satou (gula pasir), shio (garam), su (cuka), seuyu (ejaan zaman dulu untuk shoyu/kecap asin).

Karena nasi merupakan makanan pokok di Jepang, banyak olahan makanan berbahan dasar nasi yang diolah dengan berbagai macam cara dan bahan tambahan. Seperti contoh makanan yang paling terkenal adalah sushi yang dibuat dari nasi dengan tambahan makanan laut, telur, dan sayuran. Biasanya disajikan saat sarapan pagi dengan wasabi dan shoyu. Sekihan yaitu makanan berbahan dasar nasi yang dikukus bersama kacang merah, dan biasa dihidangkan saat perayaan suatu momen yang bahagia. Ada pula onigiri yang terbuat dari nasi yang dibumbui garam dan didalamnya diisi dengan ikan salmon, ikan sake, umeboshi, dan sebagainya. Onigiri dibentuk oleh telapak tangan hingga menyerupai bentuk segitiga lalu dibungkus oleh nori. Kayu atau okayu adalah bubur asal Jepang yang hanya dibumbui garam, biasanya makanan ini disarankan untuk orang sakit.

Makanan Jepang pada umumnya banyak berasal dari Tiongkok yang notabene adalah negara pencipta mie. Salah satu mie yang berasal dari Tiongkok dan menjadi makanan Jepang adalah udon. Kata udon sendiri berasal dari bahasa Tiongkok, yaitu wonton yang berarti pangsit lalu dilafalkan dengan katan undon/udon. Udon adalah sejenis mie yang terbuat dari tepung terigu dan memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan ukuran mie pada umumnya. Terdapat berbagai macam jenis udon berdasarkan cara memasaknya dan isiannya. Ada pula ramen yang terbuat dari tepung terigu, telur, garam, dan air soda. Biasanya ramen dikemas dalam sebuah cup dan dimasak dengan menambahkan air panas ke dalamnya lalu ditunggu beberapa saat hingga mie menjadi lunak.

Udon

Selanjutnya yaitu nabe yaki atau nabe ryouri, adalah hidangan berkuah yang biasa disajikan saat makan malam. Makanan ini pada umumnya dikonsumsi pada musim dingin bersama keluarga. Salah satu makanan nabe yaki adalah shabu shabu yang berisi daging iris tipis, tahu, dan sayuran. Daging yang dipakai adalah daging sapi, namun sekarang ada yang menghidangkannya dengan memakai daging ayam, ikan, dan gurita. Shabu shabu biasanya dimasak dengan panci khusus dan dinikmati bersama saus Jepang yang mengandung wijen (gomadare). Ada pula sukiyaki yang cara penyajian dan bahan-bahan yang digunakannya sama persis dengan shabu shabu. Yang membedakannya dengan shabu shabu adalah irisan daging sapi dalam sukiyaki disantap dengan cara dicelupkan ke dalam kocokan telur ayam.

Nah, menarik bukan? Apakah anda tertarik untuk mencoba berbagai kuliner di Jepang? Jika anda sedang berkunjung ke Jepang, jangan lupa dengan budaya dan aturan yang sudah diterapkan, ya!

63818026 — Annisa Fathihana Rizqita
Program Studi Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Komputer Indonesia

Referensi:
Ashkenazi, Michael & Jacob, Jeanne. (2000). The essence of Japanese cuisine: An essay on food and culture. Curzon Press, 37–38.

Mulya, Ayu Tri, Ivo Amanda, & Salma Rema Khair. (2020). Pengolahan Dan Penyajian Makanan Negara Jepang. Jurnal Pendidikan Tata Boga dan Teknologi 1.1, 26–35.

Rosliana, Lina. (2017). Shoku Bunka: Warna Budaya Dan Tradisi Dalam Makanan Jepang. IZUMI 6.2 1–8.

--

--