Orang Ketiga

kuraaa
7 min readNov 16, 2023

--

“Ini harus banget aku ikut kamu masuk?” Kara menatap Cece yang sudah menenteng proposal skripsi miliknya.

Dengan yakin Cece mengangguk. “Bukan harus lagi Ra, tapi wajib!” tegas Cece.

Kara mengembuskan napas, melangkah malas menaiki tangga penghubung lantai satu dan lantai dua gedung fakultasnya.

Sebenarnya hari ini Kara sudah selesai Konsul dengan Bu Sri dospem duanya, tapi karena rengekan Cece yang sampai menangis bawang Bombay membuat Kara dengan terpaksa menemani temannya itu untuk menemui Pak Angga, alias mas pacar.

“Kira-kira nanti gue ada revisi gak ya?” tanya Cece yang jantungnya sudah ketar-ketir.

“Revisi buat apa?” Bingung Kara.

Pasalnya Cece ini sudah seminar proposal Minggu lalu, jadi revisi buat apa? Sidang? Ambil data saja belum.

“Siapa tahu kan pak Angga gak srek sama proposal gue, terus dicoret, terus disuruh sempro ulang.”

Kara melirik malas. “Gak mungkin lah, paling nanti cuka diarahin buat langkah metode penelitian doang.”

“Iyakah? Kok lo keliatan yakin banget?” sahut Cece.

Mengangkat bahu santai. “Cuma nebak,” balas Kara.

Mendengus kesal, Cece menolehkan kepala saat tak sengaja telinganya menangkap suara Angga. Benar saja, pacar temannya itu sekarang tengah mengobrol dengan dosen lain. Cece langsung menahan Kara, menunjuk ke arah pojok belajar tempat Angga duduk.

“Tunggu disini ajalah Ra, itu juga pak Angga lagi ngomong sama pak Arif,” ujar Cece.

Kara melihat sekeliling, mereka berdiri tepat didepan meja admin prodi fisika, yang mana itu adalah meja pak Bambang.

“Mau berdiri disini?” tanya Kara.

“Ya iya, emang ada lo liat tempat duduk? Atau mau ngemper duduk disana?” Cece menunjuk pojokan dekat ruang dosen fisika.

Kara mengabaikan Cece, matanya menatap Angga yang tak sengaja menatap ke arahnya juga. Bisa Kara lihat Angga tersenyum padanya, laki-laki itu menggerakkan jari, memberi Kara pentunjuk.

“Nunggu diruangan Mas aja yuk Ce,” ajak Kara.

Cece menaikkan alis kanannya. “Mas siapa?”

“Mas Angga, siapa lagi,” balas Kara.

“Heh! Yang bener aja lo, yang punya ruangan aja lagi gak diruangannya, ya kali kita main nyelonong masuk!” sembur Cece dengan kedua mata melotot.

Kara menarik tangan Cece. “Banyak cincong lo.” Membawa tubuh Cece untuk ikut dengannya masuk ke dalam ruangan dosen milik Angga.

“Anjir bocah, ini kalau pak Angga marah gimana?” Cece jelas panik, mana Kara main langsung mengajaknya duduk disofa lagi.

“Tinggal gue cium,” sahut Kara asal.

Plak!

“Apasih Ce!” Kara menatap kesal Cece yang memukul kencang pahanya.

“Ciam cium, bukan muhrim anjeng!” Ingin rasanya Cece mencekik Kara. “Lagian lo, gue ngomong serius malah becanda.”

Kara mengembuskan napas, menyesal dia menemani Cece.

“Udah sih, santai aja, nanti kalau Mas marah gue yang tanggung jawab,” tukas Kara.

“Awas aja kalau gara-gara nyelonong gini Pak Angga jadi marah sama gue.” Cece menunjuk tajam wajah Kara.

“Gak bakalan,” balas Kara santai, memilih memainkan salah satu game pada hpnya.

Cukup lama mereka berdua menunggu, sekitar lima belas menit sampai pintu ruangan kembali terbuka dan menampilkan presensi Angga. Laki-laki itu masuk ke dalam ruangannya, menuju meja kerja dan duduk pada kursi dengan nyaman. Menatap bergiliran Kara dan Cece yang masih duduk disofa. Kara terlihat santai masih memainkan game masak-masaknya, sementara Cece sudah tersenyum pias menatap Angga.

“Jadi konsul Ce?” tanya Angga.

Cece langsung menganggukkan kepala. “Jadi pak.”

Cece bangun dari duduknya, menghampiri meja Angga, duduk pada kursi yang memang sudah disediakan khusus untuk mahasiswa. Posisi Cece dan Angga sekarang berhadapan.

“Apa yang mau dikonsultasikan dengan saya?” tanya Angga, menatap proposal skripsi Cece yang sudah berada di atas mejanya.

“Begini pak, Minggu lalu saya sudah seminar proposal dengan pak Bayu sebagai dosen pembimbing dua saya, namun dua hari setelah saya seminar proposal beliau sudah dinyatakan pensiun.” Cece mencoba untuk menjelaskan. “Oleh karena itu, dosen pembimbing dua saya dipindahkan ke bapak.”

Angga menganggukkan kepala paham. “Terus sekarang bagaimana?”

Cece mengerjapkan kedua mata, sedikit tidak paham dengan maksud Angga. Takut salah jawab membuat Cece menolehkan kepala ke arah Kara.

Anak monyet, kagak ada gunanya ni kunyuk satu’ rutuk Cece dalam hati saat melihat Kara masih sibuk bermain game.

“Cece?” Angga memanggil karena Cece yang hanya diam saja.

“Mohon maaf pak, bukan maksud saya lancang, tapi tadi yang bapak tanyakan itu apa maksudnya?” Sumpah, tangan Cece yang ada dibawah meja sudah keringat dingin.

“Hihihi.” Kara terkikik ditempatnya, melirik Cece dengan ekor mata.

“Terus rencananya kamu selanjutnya bagaimana? Penelitiannya sudah dimulai?” Angga memperjelas maksudnya.

Cece menggelengkan kepala. “Rencananya saya ingin bertanya pendapat bapak, apakah metode penelitian saya sudah pas atau harus ada yang saya koreksi?” Cece mengajukan proposal skripsi kehadapan Angga.

“Saya baca dulu.” Angga meraih proposal skripsi milik Cece, membaca bagian metode penelitian yang sudah mahasiswinya susun.

Kara yang tidak mendengar apa-apa mendunga, matanya menatap Angga yang tengah fokus membaca proposal milik Cece. Sementara sahabatnya sendiri sudah komat-kamit takut. Karena iseng, Kara mengambil foto Cece, mengirim pada group mereka, bergosip ria dengan Yesa dan Alin disana.

“Semangat Ce, lo sendirian,” bisik Kara menahan tawa.

“Ini tujuannya penelitiannya sampai bisa membuat tulang pengganti?” Angga menatap Cece.

“Tidak pak, jadi nanti itu penelitian saya hanya sampai menemukan kitosan dan selulosa dari cangkang kerang yang bisa menjadi bahan pengganti tulang,” jawab Cece.

“Kenapa tidak dilanjutkan sampai bisa membuat tulang pengganti, akan lebih bagus menurut saya.” Angga memberikan pendapat.

Meneguk ludah kasar, kepala Cece sedikit pening. “Masalahnya saya tidak paham cara menyusun kitosannya sampai membentuk tulang pak.”

“Mudah, kitosan dan selulosa yang nanti berhasil kamu temukan langsung dibawa ke laboratorium yang memang memproduksi untuk cangkok tulang” jelas Angga.

Cece meremat kuat jari jemarinya, bingung harus menjawab apa. Masalahnya, menemukan metode untuk penelitiannya saja Cece sudah gila setengah mampus, sekarang diminta oleh Angga untuk melanjutkan penelitian agar bisa sampai membuat tulang tiruan untuk cangkok tulang? Bisa mati berdiri Cece.

“Penelitian saya harus sampai bisa membuat tulang tiruannya ya pak?”

Kepala Angga menggeleng. “Tidak harus, saya hanya bertanya saja kenapa penelitian kamu tidak sekalian diteruskan sampai kesana.”

Pura-pura mengangguk paham. “Otak saya gak sampai sana pak, mampunya cuma sampai buat kitosan sama selulosanya,” ucap Cece, dia sudah harap-harap cemas.

“Bwahahahaha.”

Sumpah, tolong maafkan Kara yang tiba-tiba tertawa membahana. Bahkan Kara sampai menghapus air pada sudut mata kirinya.

“Maaf-maaf, gak sengaja, silahkan lanjut mas.” Kara menyengir menatap Angga.

Kalian tahu, Cece rasanya sudah ingin mengubur Kara hidup-hidup.

“Kalau begitu kamu bisa mulai penelitian besok.” Angga menyerahkan kembali proposal skripsi milik Cece.

“Ini gak ada yang mau dicoret-coret pak proposal saya?” tanya Cece dengan raut bingung.

“Kamu mau proposal kamu saya coret? Adasih sebenarnya.” Angga kembali ingin meraih proposal Cece.

“Nggak pak nggak, jangan dicoret, tunggu saya selesai penelitian saja.” Cece langsung mengekeep proposalnya, menjauhkan dari jangkauan Angga.

Angga hanya bisa menggelengkan kepala, melirik Kara yang sudah senyam-senyum menatap ponsel.

“Kalau saya coret proposal kamu, pacar saya marah-marah nanti dirumah,” ucap Angga santai.

Cece menganggukkan kepala. “Alhamdulillah, akhirnya ada gunanya gue bawa pawangnya,” berbisik lirih.

“Kenapa Ce?” Angga tidak terlalu jelas mendengar ucapan Cece.

“Tidak ada pak,” balas Cece gesit dengan kepala menggeleng.

Merasa tidak ada yang perlu dikonsultasikan lagi, Angga langsung bangun dari duduknya, berjalan menghampiri Kara.

“Sayang, makan siang jadi sama Mas?” Mendudukkan diri disamping Kara yang masih sibuk berbalas pesan.

“Jadi mas, Cece ikut katanya,” jawab Kara, mematikan ponsel, memasukkan ke dalam tas selempangnya.

Kedua bola mata Cece melotot, kapan dia mengatakan ingin ikut? Bahkan ini dia sudah ingin kabur.

“Yasudah, kalau begitu ayo.” Angga membawa Kara berdiri.

“Ayo Ce.” Kara ikut menarik Cece keluar bersamanya.

Mereka berdua berjalan lebih dulu, sementara Angga berjalan dibelakang dengan jarak dua meter. Ini dikampus jadi mana enak mau gandengan sama ayang, jadi ya Cece jadi tumbal.

“Apes banget gue, otw jadi domestos udah,” lirih Cece pasrah dibawa masuk kedalam mobil Angga.

Seperti dugaan Cece yang seratus persen benar. Benar-benar dirinya menjadi obat nyamuk a.k.a domestos a.k.a orang ketiga. Angga dan Kara duduk berdampingan dan Cece duduk dihadapan mereka dengan kondisi gigit jari. Ingin kabur tapi tidak enak.

Mereka mendatangi salah satu restoran yang menyajikan masakan Korea karena request dari nyonya Kara yang sedang BM makanan Korea.

“Mas mau pesen yang mana?” tanya Kara sambil melihat buku-buku menu.

“Menurut kamu yang cocok sama selera mas yang mana?” Angga bertanya balik.

“Bimbimbap?” Kara menunjuk salah satu menu.

Kepala Angga mengangguk. “Boleh, mas pesan yang itu.”

“Oke kalau gitu aku pesan yang jangan pakai nasi,” ucap Kara.

“Pesan yang ada nasinya sayang, ini makan siang jadi asupan yang masuk ke tubuh kamu harus cukup.” Angga mengusap-usap punggung tangan Kara yang tidak memegang buku menu.

Bibir Kara mencebik. “Tapi porsi yang mas pesan udah banyak, aku pesan yang lain aja supaya nanti bisa saling icip-icip.”

“Jadi mau sepiring berdua sama mas?” Angga tersenyum, mengusap puncak kepala Kara.

“Hehehe iya.” Kara mengangguk dengan cengiran pepsodent.

“Mas ikut mau pacar mas aja,” balas Angga.

Kara tersenyum puas, dia kembali melihat-lihat beberapa menu, mencari menu yang cocok untuk dipasangkan dengan pesanan Angga.

Tap.

Kepala Angga menyandar pada bahu kanan Kara, mendusel disana mencari kenyaman.

“Mas nanti ketiduran, bangun dulu.” Paksa Kara.

“Kamu masih pilih menu, jadi biarin mas istirahat sebentar.” Angga malah memeluk Kara dari samping.

Cup.

Mencuri satu kecupan pada pipi Kara setelah itu kembali memejamkan kedua mata.

Kara hanya diam saja, toh diminta duduk tegak Angga tidak akan mau.

“Mau pesen apa Ce?” tanya Kara yang sudah selesai menulis menu untuk dirinya dan Angga.

“Gue pesen jamppong aja Ra, extra bubuk cabai,” balas Cece dengan wajah seperti orang menahan mual.

“Lo bukannya gak bisa makan pedes?” Kara menatap bingung.

“Gue lagi butuh yang pedes Ra, takut kalau makan yang manis malah muntah ditempat,” balas Cece, meletakkan kembali buku menu.

‘Sabar Ce, jangan lo banting ni meja,’ mendesah dalam hati. Cece benar-benar menjadi domestos.

--

--