family talk

Jo
3 min readAug 24, 2022

--

“Sena, sudah sejam lebih loh, kita cuddle di kasur. Katanya mau masak.”

Cuddle sama kamu jauh lebih menyenangkan dari masak, 30 menit lagi deh.”

Arika menggeleng tidak setuju, ia melepas tangan Sena yang daritadi memeluk erat pinggang mungilnya dan berjalan ke arah dapur. Tak lupa ia melemparkan celemek untuk Sena ke kasur.

“Ayo Sena, sudah mau dekat jam makan siang dan aku mulai lapar.”

Meskipun agak kesal karena kekasihnya memilih melepaskan diri dari sesi cuddle mereka, Sena mengenakan celemek itu dan menggulung kaus panjangnya supaya siap memasak.

Seperti biasa, Sena hanya memotong-motong dan prep di awal kemudian dilanjutkan dengan mengganggu Arika sepanjang proses memasak. Postur tubuhnya yang lebih tinggi cukup mempermudahnya untuk melingkarkan lengannya di pinggang mungil kekasihnya itu.

Wanita yang lebih tua itu sempat sedikit kaget ketika ia merasakan adanya dekapan tangan di pinggangnya.

“Bahaya loh kamu meluk gini, aku kan sedang menyalakan kompor. Kalau minyaknya meletup ke tangan kamu gimana?”

Asdosnya terkekeh dan malah mengecup pipi dan leher dosennya iseng.

“Kamu kenapa malah iseng? Aku serius loh.”

“Tidak akan kecipratan minyak karena kamu jago memasak.”

Mereka bertahan dalam posisi itu hingga proses memasak sudah selesai dan gadis itu baru melepaskan pelukannya ketika mereka mulai menyajikan makanan.

Duduk di ruang makan kecil dan berhadapan dengan Arika yang masih mengenakan celemek, lengan piyama setengah tergulung, rambut dikuncir kuda sempurna, dan dahi yang sedikit berkeringat karena proses memasak. Sungguh, menurut Sena benar-benar merupakan sebuah perasaan yang luar biasa. Ia sibuk mengagumi kekasihnya hingga lupa dengan sepiring makanan yang ada di depannya.

“Kenapa? Kurang sesuai sama yang tante masak di rumah papa kamu ya?” Ujar kekasihnya. Saking herannya, Arika sampai meneliti masakannya dan mencoba mencari-cari apa yang kurang sesuai karena daritadi Sena tidak menyentuh makanannya.

Sena tersenyum lebar hingga mata monolidnya menghilang karena melebur dengan senyumnya.

“Aku yakin pasti enak karena buatan kamu selalu enak. I’m just glad that we’re not breaking up. That’s all.

I’m glad too. Ngomong-ngomong, you seemed much happier. Keadaann sama papa, tante, dan Nara benar-benar sebaik itu ya?”

Sena mengangguk sambil menyuap suapan pertama makanannya.

Good, kalau aku enggak minta saran ke papa kayaknya kita putus deh. Sekarang aku pikirkan lagi, mungkin urusan orang tua memang sebaiknya diselesaikan oleh mereka sendiri dan anak-anak tidak ikut campur. Melihat papa dan tante yang benar-benar berusaha menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab, sepertinya aku siap untuk mencoba memberikan kesempatan. Ngomong-ngomong, ini lebih enak dari buatan tante.”

Arika tersipu. Walaupun sudah berulang kali Sena mengatakan demikian, tetap saja akan selalu membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Untuk menutupi salah tingkahnya, ia mengambil tissu dan mengelap sisa makanan di ujung bibir Sena.

“Kamu tuh kalau makan yang rapih dong. Kadang masih suka berceceran kayak anak kecil.”

“Kamu salah tingkah ya?”

“Enggak, kata siapa aku salah tingkah?”

“Kalau salah tingkah bilang aja, nanti tinggal aku buat makin salah tingkah.”

“Tuh, mulai deh. mulai lagi. Ngomong-ngomong soal papa, tadi papaku ingin mampir kesini tapi aku larang.”

“Loh kenapa? Aku bisa pulang kalau misalnya papa kamu mau kesini tapi kamu kurang nyaman karena ada aku.”

“Bukan begitu, aku memang belum siap untuk mengenalkan kamu ke kedua orang tuaku. Tapi aku ingin dan sudah ada rencananya kok. Cuma, sekarang kita masih ada urusan yang belum benar-benar selesai, serta satu dan lain hal lainnya kan, jadi aku harus mengurungkan niatku juga.”

Sena mengangguk setuju.

“Aku juga berpikir demikian, papa sudah tau aku ada pasangan dan tidak memaksa dikenalkan juga. Mungkin nanti kali ya? Kalau aku sudah sidang skripsi hahaha.”

“Iya, pokoknya tunggu semua benar-benar reda dulu. Lagi pula, hubungan kita juga termasuk santai. Orang tuaku tidak menuntut banyak, papaku masih sibuk di parlemen dan berpolitik ria, sementara mama juga sibuk dengan kegiatan dharma wanita.”

“Arika, aku boleh tanya? Terkadang kamu suka merasa terganggu dengan papamu tidak? Karena politik praktis bukan sesuatu yang selalu lurus, sementara aku melihat kamu sebagai orang yang cenderung kurang menyukai hal yang tidak sesuai jalur. Walaupun pada akhirnya kamu melintasi garis itu juga ketika kita memutuskan untuk berpacaran.”

Pertanyaan Sena entah mengapa terasa tajam. Bukan tajam yang menyakitkan, lebih ke dalam arti ia adalah seorang pemikir dan pengamat kritis yang jarang melewatkan detil-detil kecil. Kelebihan ini juga adalah salah satu alasan mengapa Arika bisa jatuh hati dengannya.

“Pada awalnya iya, terganggu sekali. Begitu banyak tindakan tusuk menusuk yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Tapi, setelah menjalani dan mengamati semuanya, aku merasa kalau hidup juga seperti itu. Ketulusan dan kesetiaan merupakan sesuatu yang mahal, terkadang hal yang dianggap baik belum tentu baik dan hal yang dianggap buruk belum tentu buruk. Hidup itu abu-abu dan kita hanya perlu berjalan di dalamnya walaupun masih terdapat satu atau dua hal yang mengganggu.”

“Aah, aku mengerti. Terima kasih sudah menjawab pertanyaanku ya.”

“Anytime love, anytime.”

--

--