Denji menghela napas, kenapa jadi semua orang salahkan ia yang sudah bawa pulang Miko untuk amankan sosok kecil itu yang sempat menangis sebab lepas dari ayahnya. Tidakkah mereka seharusnya mengerti bahwa, bukankah ia yang selamatkan si kecil ini?
Memilih diam dan letakkan ponselnya di atas nakas, Denji berjalan sembari garuk perutnya untuk kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Ia hanya butuh sikat gigi, sore tadi sudah mandi dan akan sangat melelahkan jika sekarang mandi lagi 'kan?
Setelah selesai dengan urusan di kamar mandi, Denji keluar dan temukan Miko masih terlelap nyenyak. Senyumnya mengembang tipis, ia akan baik-baik saja untuk disalahkan jika tentang si kecil yang tidak berdosa ini.
Memang sejak awal yang patut diberi pukulan pada wajah adalah Yoshida yang ceroboh dalam mengawasi anaknya.
“Miko, bangun yuk.”
Gerakan kecil terlihat, Miko memilih menguap sebentar dan kembali terlelap sembari peluk bonekanya. Denji mengalah, pikirnya mungkin Miko lelah.
Ia turun ke bawah, ia tak temukan siapapun di sana. Namun, ada sepatu yang biasa Power kenakan di atas rak sepatu. Anak itu agaknya sudah pulang, entah ada di kamar atau di manapun. Terserah. Asal tidak mengacaukan kegiatannya nanti.
Masuk ke dapur, Denji menghela napas pelan karena ia ingat ternyata Aki belum pulang bawakan biskuit. Pun, ia lupa titipkan brokoli tadi. Sudah terlalu mengantuk.
Menghela napas pelan, berjalan kembali ke kamar untuk ambil jaket juga uang secukupnya. Denji berjalan ke arah swalayan dekat rumah untuk beli apa-apa saja yang dibutuhkan.
Memilih brokoli yang nampak masih segar, Denji menggumamkan lagu favoritnya sembari terus bergerak cepat. Ia takut Miko bangun dan Power yang mungkin saja panik hingga akhirnya melakukan hal yang tidak semua orang inginkan.
“Lah iya, Kak Hiro udah sampe rumah belum ya?”
Mengingat hal itu, Denji lekas berjalan cepat menuju kasir untuk membayar apa yang ia beli. Merutuki dirinya yang beberapa hari ke belakang ini terlalu sering lupa pada banyak hal yang berakhir sebabkan kekacauan.
Berlari dan peluk belanjaannya, Denji kemudian tersandung pada pertigaan komplek rumahnya. “Emang dunia nih kalo gak anjing, ya anjing banget lah. Lutut gue berdarah, mana perih, mana gue butuh pulang cepet ah kontol.”
Beruntungnya belanjaan yang ia bawa tidak berserakan, Denji paksakan kakinya tertatih-tatih untuk terus berjalan.
Pada akhirnya menghela napas lega, rumahnya nampak baik-baik saja dan rumah di ujung sana pun nampak masih gelap sebab pemiliknya belum pulang.
“Syukur deh, gue aman.” Denji kemudian membuka kunci dan masuk. Bergegas cepat masuk ke dalam kamar mandi untuk bersihkan lukanya, Denji meringis sebab perih bukan main.
“Den?” terdengar suara serak yang pelan dari luar kamar mandi, itu nampaknya Aki sudah pulang.
“Iya, Kak?” Denji sauti.
“Enggak, mastiin aja.”
Lantas setelah itu, suara langkah kaki menjauh terdengar. Denji mendengus, “Kalo tau gitu gue ngapain repot-repot belanja terus luka gini si anjing.”
Selesai dengan urusan lukanya, Denji segera menuju dapur untuk mengeksekusi apa yang sudah ia beli tadi.
“Kaki lo ngapa?”
Tersentak kaget, ia temukan Power di depan kulkas dengan mata yang menatapnya heran.
“Buta mata lo?”
Menatap datar, “Dih, ditanya juga.”
“Ya kan keliatan kalo luka, basi banget anjing. Jauh-jauh deh sana lo, sakit mata gue liat lo.”
Tanpa kata, Power berlalu tinggalkan Denji yang kini sudah sibuk berkutat dengan semua pekerjaan dapurnya.
“Denji, Fumiko mana?”
Itu Aki, berjalan masuk ke arah dapur dengan Yoshida di belakangnya. Denji menengok sekilas, “Di kamar gue, masih tidur.”
Aki menarik kursi makan dan persilahkan Yoshida untuk duduk. “Lama banget tidurnya?”
“Gue kasih makan banyak soalnya.”
Aki mengangguk, meraih apel di atas meja makan dan buka percakapan dengan Yoshida. Denji sendiri memilih diam, sibukkan dirinya dengan semua masakannya.
Walau sejujurnya di dalam hati umpati Yoshida yang nampak tenang pun tidak ucapkan apa-apa padanya. Denji tidak harapkan ucapan berlebihan, hanya saja mana terima kasihnya?
“Deeeen, Miko nyariin lo.” Power berteriak dari tangga, Denji mengelap tangannya pada apron dan mengecilkan api pada kompor. “Yaaa, bentar Pow, bilangin sabar dulu.”
Berlari dengan kaki yang terasa perih, Denji nampak tertatih.
“Kaki lo kenapa?”
“Jatoh tadi Kak, nanti tanya-tanyanya yaa, ini Miko nanti ditelen Power.” Denji Jawab cepat, tinggalkan Aki yang menatapnya khawatir, juga Yoshida dalam perasaan bersalahnya.
“Nji di sini, Sayang.” Denji masuk ke dalam kamar, temukan Miko yang menangis tidak ingin disentuh Power.
“Nji—hukss — ndong!”
Terkekeh pelan, Denji bawa masuk Miko dalam pelukannya. “Kok nangis? Itu kan Kak Pow, Miko sering mam es krim sama Kak Pow, ingat?”
Masih dengan tangis, Miko pilih diam dan tenggelamkan wajahnya pada bahu Denji. “Cup cup cup, di bawah Nji sudah masak brokoli. Mau mam?”
Mengangguk pelan, Denji mengelus lembut punggung Miko untuk tenangkan si kecil yang mungkin saja terkejut sebab bangun tidur.
Yoshida memperhatikan Denji yang menggendong Miko, ia ingin buka suara namun merasa bersalah.
“Eh, itu Papa.”
Miko menengok dan temukan sang ayah di sana dan tersenyum ke arahnya, namun bukannya senang bocah kecil itu mendengus dan kembali peluk leher Denji. “Loh? Katanya mau sama Papa?”
“Ndak! Iko ndak ada yang itu, Nji!” Jawabnya kesal dengan bibir mengerucut.
[Enggak! Miko gak ada bilang begitu, Nji!]
Mengalah, Denji tertawa kecil dan kembali ke dapur dengan Miko dalam pelukan.
“Gak apa Kak Hiro, biar Mikonya tenang dulu. Kakak juga tenangin diri dulu, kayaknya masih ada sisa paniknya.”
Setelah itu, Denji sibukkan mengoceh dengan Miko sembari lanjutkan memasak.