Old Potraits

bean
6 min readMar 30, 2022

--

source: google

Nada melempar selimutnya asal, bergegas menuju lantai 2 di mana kamar bundanya berada di sana. Sesampainya di depan pintu ia mengetuk pelan, kemudian mendorongnya hingga sedikit terbuka. Wajah berantakannya menyembul dari sela pintu, membuat Mami Wintan serta bundanya menoleh ke arahnya.

“Hehe. Kakak mau masuk.”

“Sini, Kak.” Mami Wintan, di mana tubuhnya sedang bersandar pada headboard, melambaikan tangan memanggilnya mendekat.

Mendorong pelan pintu di belakangnya hingga tertutup, Nada pun menghampiri ranjang tempat bundanya tengah berbaring. Wanita itu belum terusik sama sekali, masih bersenandung kecil berusaha mengikuti alunan lagu yang berbaur bersama udara di ruang temaram itu.

“Bunda…”

Bundanya menoleh sekilas, hingga netranya dan Nada bertabrakan. Ia mencoba mengulas senyum dan mengucapkan sebuah kalimat, namun tentu saja yang meluncur dari pita suaranya adalah bunyi yang lebih mirip rintihan daripada lafal bicara yang jelas.

‘Kakak habis belajar?’

“Iya, Bunda. Kakak habis belajar. Bunda kenapa belum tidur?”

‘Dengar lagu.’

Satu sudut wajah bundanya tertarik ke atas sehingga membentuk sebuah komposisi wajah yang asimetris dan ganjil. Meskipun demikian, paras wanita itu selalu cantik — menawan, sebagaimana putranya juga memiliki paras yang elok. Semenjak serangan stroke dua tahun lalu, ia divonis memiliki kecacatan pada otot wajah serta kelumpuhan di beberapa bagian tubuh.

Namun saat lafalnya mungkin terdengar berantakkan, Nada justru tersenyum lebar membalas senyum bundanya. Tangannya bergerak mengecek alat pemutar musik mini yang baru saja akan memutar lagu berikutnya. Ternyata lagu lama, yang meskipun Nada kerap mendengar lagu tahun 80-an, tapi ternyata dia tidak tau lagu yang baru saja terputar. Mungkin nanti ia akan bertanya pada Gian karena Gian lumayan menguasai banyak lagu lawas.

Lalu setelah itu matanya menangkap sebuah benda kecil seukuran buku catatan, diletakkan bersisian dengan alat pemutar musik. Ia meraihnya, menatapnya bergantian dengan menatap netra sang bunda.

‘Album, waktu Kakak masih bayi,’ dengan terbata, bundanya tersenyum hangat. Tangannya yang lebih sehat terulur lemah untuk menyibak pelan poni panjang Nada yang mulai bercabang menutupi mata.

Mami Wintan turut bergerak mendekat, memangku dagunya dengan topangan bantal lalu ikut mengintip lagi isi album yang terbuka selembar demi selembar.

“Tadi Bunda minta lihat foto bayi Kakak. Ya udah, Mami kasih liat itu.”

“Aaah, gitu… Ih, liat deh, Kakak lucu banget waktu bayi!”

Mami Wintan terkekeh. “Semua bayi lucu, Kak. Nggak cuma Kakak doang.”

“Iya, tau, semua bayi lucu. Tapi di antara semua bayi yang pernah Kakak lihat, Kakak itu yang paling lucu. Sampe sekarang pun begitu, masih lucu.”

“Ih, bener-bener deh, Kakak! Kepedean!”

Tangannya masih membolak-balik halaman demi halaman, menertawakan potret lawas dirinya sendiri yang belasan tahun lalu tampak terpejam nyaman dalam balutan selimut hangat. Terkadang ia juga menemukan potret lain yang menampilkan dirinya bertahun-tahun lebih muda dari sekarang tengah menangis di dalam gendongan bundanya. Ia menarik bibirnya, menyimpul. Terbersit rasa rindu tapi tidak tahu rindu akan apa. Kedua bola matanya yang berbinar menyapu potret demi potret dari atas, ke bawah, ke semua sudut bahkan pada sudut yang telah usang termakan usia.

Ia berusaha menerka apa yang ada di balik noda usang itu; apakah itu wajah bundanya yang tertawa? Atau itu tangan mungil dirinya yang polos mencoba menarik helaian rambut sang bunda dalam genggaman?

Terlalu banyak noda usang mengaburkan detail yang ada, seolah-olah menegaskan bahwa cerita yang sudah lalu biarlah ia ditelan waktu. Namun bagi Nada, ia akan melakukan apapun untuk mengais segala hal yang masih tersisa. Seperti halnya tawa tulus sang bunda yang semakin lama semakin pudar dan melemah dimakan usia, Nada bertekad akan mengaisnya kembali agar dapat menemukan warna sebagaimana cerahnya tawa itu sewaktu muda.

Di lembaran berikutnya, ia bertemu sosok bayi perempuan.

“Ini Shania?”

Bundanya mengangguk. Tentu saja, Nada kerap dipanggil Kakak karena ia memang memiliki adik.

‘Adik. Bunda kangen Adik.’

Nada pun menggumamkan nama itu lagi, nama adik perempuannya, setahun lebih muda darinya. Kira-kira, bagaimana kabar Shania? Batin Nada diam-diam, kemudian membalik lembaran berikutnya.

‘Kakak, ini waktu Kakak masa tumbuh gigi.’

“Udah tau, Bunda. Bunda sering cerita sama Kakak.” Nada terkekeh, membalik sebuah halaman lagi hingga muncul sebuah foto di mana terdapat sosok selain ia dan bunda di sana. “Ini… Bunda, serius deh, dulu Ayah waktu muda beneran mirip Kakak?”

Bundanya mengangguk.

‘Mirip, Kakak mukanya mirip sama Ayah waktu muda. Juga suka nyanyi, suka main gitar.’

“Oh,”

Ia melirik sang bunda, sekilas. Karena ia tahu betul, bahwa menyebut sang ayah di depan wajah bundanya adalah satu hal yang dapat mengoyakkan kembali luka yang masih menganga. Terbukti dengan betapa terpukulnya Bunda lewat sorot dalam matanya meski lisannya tak bicara. Apalagi, ketika bundanya harus melempar ingatan lagi ke rangkaian cerita tentang suaminya di masa lalu.

Mantan suaminya.

Mengingat kembali detail demi detail, membandingkan segala hal yang mirip antara Nada dengan ayahnya. Senyumnya, paras tampannya, suaranya, bahkan sebagian besar yang ada pada Nada sepertinya diduplikat mentah-mentah dari sang ayah.

Meski tak bisa menyingkirkan fakta bahwa ayah itu adalah ayah kandungnya — terbukti dengan betapa miripnya mereka berdua — Nada tetap menaruh benci pada lelaki itu. Hatinya masih sama dengan hatinya empat tahun yang lalu, yang belum sanggup mengampuni ayahnya karena menceraikan bundanya demi perempuan lain. Padahal, di saat itu bundanya belum lama divonis mengalami masalah jantung serius. Perceraian itu pun turut membawa serta Shania menjauh dari hidupnya, hingga hanya tersisa ia dan bundanya.

Ia mendongak lagi, sekali lagi menatap bundanya tepat saat sang bunda balik menatapnya sebelum akhirnya berujar, ‘Kakak… Bunda udah nggak marah.’

Nada mengangguk, lalu menutup album foto di tangannya meski ia belum melihat isinya sampai akhir — belum sanggup melihat isinya sampai akhir. Sementara itu, Mami Wintan pun pamit untuk ke dapur sebentar — tahu bahwa ia perlu memberi ruang untuk Nada dan bundanya mengobrol.

Sepeninggal Mami Wintan, Nada naik ke atas kasur dan merebahkan tubuhnya di samping sang bunda.

‘Bunda udah nggak marah.’

“Iya, Bunda.” angguknya.

‘Kakak, coba lihat Bunda.’

Dengan ragu, ia menatap mata sang bunda, sembari bersiap diri menanti runtuhnya pertahanan yang ia bangun sedari tadi. Mata cemerlang bunda ibarat perairan yang dalam, ia dapat tenggelam di sana sambil membawa serta semua sesak di dadanya, lalu sesak itu akan tumpah ruah begitu saja.

Dan benar, netra bundanya langsung menyambutnya dengan hangat, memindai segala hal dalam batinnya sehingga mendadak ia seperti tengah ditelanjangi. Lelahnya, marahnya, sakit hatinya, sumpah serapahnya, ia tentu kalah telak dengan tatapan Bunda. Karena di saat itu juga, tanpa menunggu mulutnya siap membuka, hatinya sudah porak poranda.

‘Kakak, Bunda paham.’

Nada mengangguk lemah. “Bunda selalu paham,”

‘Jangan benci, Bunda nggak marah lagi.’

Nada menelan isakan yang menghalaunya berbicara. “Tapi sakitnya Bunda belum hilang sampai hari ini.”

Jemari ringkih sang bunda bergerak tertatih, mengincar wajah Nada sebagai tempatnya mendarat. Dengan lembut Nada meraihnya, membantu memposisikan ujung jari-jari bundanya di wajahnya.

‘Selama ada Kakak, Bunda bisa.’

Nada dapat merasakan ibu jari bundanya menyapu lingkaran hitam di bawah matanya, di tempat di mana butiran bening dari matanya menggenang sebentar lalu terjun hingga pipi. Usapannya begitu lemah, yang membuat Nada sampai berpikir, akankah ada lagi yang lebih lemah dari itu?

“Kebalik, Bunda. Kakak bisa karena masih ada Bunda. Kakak nggak bisa kalau nggak ada Bunda, Kakak nggak — ”

‘Kesayangan Bunda sedih…? Maaf, nggak bisa peluk Kakak erat…”

Nada menggeleng rusuh. “Jangan minta maaf, Bunda. Ada Bunda di sini, semua lebih dari cukup.”

Memang benar. Persetan dengan iming-iming memuakkan dari sang ayah agar Nada pergi bersama keluarga baru ayahnya. Persetan dengan serangkaian janji klasik bahwa masa depannya pasti bahagia jika ia bersama ayahnya.

Karena sekali lagi, ayahnya mungkin adalah ayah yang baik untuk Nada, namun bukan suami yang baik untuk bundanya. Selama ia bisa merangkai masa depannya sendiri, untuk apa dicampuri orang lain?

‘Kakak juga lebih dari cukup untuk Bunda.’

Semakin terisak, Nada menggamit lengan bundanya. Jika bisa ia meminta, ia akan meminta agar ia tetap bisa merasakan bundanya seperti ini sampai kapanpun. Namun area di mana kelumpuhan syaraf menyerang bundanya mau tak mau memicu ketakutan itu datang lagi. Dengan gemetar ia mendongak, mencari-cari lagi letak damai dalam netra bundanya.

“Bunda,” Nada bahkan tak sanggup lagi menguraikan ketakutannya dalam bentuk kata-kata, namun ia yakin betul bahwa suatu sudut dalam hati bunda dapat mendengar jerit ketakutannya yang teredam.

‘Bunda di sini,’

Adalah lafal ganjil dari bibir bundanya yang menyapa telinga Nada, namun sistem kerja dalam otaknya tetap bisa mendengar itu sebagai lafal yang sangat jernih. Tiga patah kata yang begitu jernih, yang menghujam tepat sampai bagian terdalam hatinya, membuatnya berkali lipat lebih nyeri karena dihiasi ketakutannya sendiri.

Ia takut, bagaimana jika ketakutannya selama ini menjadi kenyataan? Bagaimana jika bunda tidak lagi bersamanya seperti ini, bahkan di saat ia belum mempersembahkan sebuah cenderamata kehidupan yang bisa membanggakan bundanya? Atau sederhana saja, bagaimana jika bunda pergi bahkan sebelum ia menyelesaikan pendidikannya?

Membayangkannya saja membuat Nada semakin takut, namun jemari sang bunda kembali membelainya, menyalurkan ketenangan bahwa saat itu eksistensinya masih bisa Nada nikmati.

“Bunda, jangan pergi, ya? Kakak janji bakal bikin Bunda bangga dan bahagia.”

‘Bunda sudah bangga, sudah bahagia juga, Kakak.’

Malam itu, Nada mengambil sebanyak mungkin kesempatan untuk menghirup aroma tenang dari bundanya. Jika paru-parunya bisa diperbesar berkali-kali lipat, ia akan melakukannya agar bisa menampung ketenangan itu banyak-banyak.

Hingga akhirnya bundanya berbisik, memintanya kembali tidur karena sudah larut malam.

Mengecup pelipis bundanya sekali, lalu Nada berbalik menuju kamarnya.

“Selamat tidur, Bunda.”

--

--