Blueday
8 min readJun 25, 2024

20. Desiderate; Obrolan Tiga Perempuan

Fokus mengerjakan sesuatu dan tekun dalam berproses untuk mendapatkan hasil yang maksimal adalah sikap yang baik, sampai sikap itu dimiliki oleh seorang Nadine Putri Ayu Hadiningrat.

Putri sulung dari keluarga Arya Wiguna Hadiningrat itu, saking fokus dan tekun nya dalam mengerjakan segala sesuatu yang menjadi keinginan nya, membuatnya sering mengabaikan diri sendiri.

Setelah lembur berminggu-minggu bulan-bulan lalu demi bisa mengajukan permohonan keikutsertaan di brand yang telah dirintisnya dengan serius lima tahun terakhir untuk bisa tampil di Paris Fashion Week, gadis ini masih tidak meninggalkan ruangannya untuk mengatasi masalah kekurangan modal yang sebenarnya di hadapi perusahaan nya belakangan. Nadine masih berkutat dengan banyak berkas dan kontak orang-orang penting yang kemungkinan akan bersedia memberikan nya tambahan suntikan dana.

Nadine tidak menapikan, perkataan Jihan. Ia tetap tidak akan bisa menyelesaikan masalah perusahaan nya yang sudah di urus berhari-hari itu dalam semalam ini walau ia mengorbankan tidurnya, makannya, euforia kegembiraan yang sedang dirayakan para karyawan disalah satu kafe deket kantor malam 3 bulan lalu, termasuk euforia yang diberikan sahabat-sahabat nya hari.

Namun, Nadine juga tau, ia tidak dapat bersenang-senang apalagi menikmati macaron yang manis dan lembut kesukaannya itu jika setidaknya draft daftar nama-nama yang bisa di hubungi untuk meminta bantuan terkait modal yang akan dihubungi oleh tim PR selesai malam ini sementara Nadine dan tim sudah harus ada di Paris dua belas hari dari sekarang.

Sebenarnya tim PR telah melakukan tugasnya dengan baik sebagai perpanjangan tangan perusahaan pada individu maupun instansi yang berniat bermitra dengan perusahaan ini, tetapi tidak membuahkan hasil apapun. Itulah sebabnya Nadine memilih untuk turun tangan dan menggunakan nama Hadiningrat sebagai pemanis dari permohonan yang akan di ajukan.

Jihan dan Farah telah sampai sepuluh menit lalu, kini sedang duduk di sofa nyaman berwarna merah kesayangan Nadine diruangan kerjanya itu saling tatap. Keduanya mengerti yang dipikirkan masing-masing tanpa perlu berbicara. Berteman sejak SMP membuat mereka kini memiliki kemampuan telepati yang hebat.

“Nggak guna kita nyamperin Nadine kesini”

“Setuju”

Begitu lah kira-kira suara hati Jihan dan Farah.

Sayangnya mereka lupa kalau kemampuan telepati itu tidak hanya hebat dilakukan oleh mereka saja, Nadine juga termasuk didalamnya. Gadis itu mengangkat kepalanya lantas melihat ke arah kedua sahabat baiknya, dua-duanya orang yang mau berteman dengan Nadine yang menyebalkan sejak pertama masuk SMP.

“Kan gue udah bilang nggak usah kesini, lo pada emang nggak pernah dengerin gue.”

Jihan memperbaiki posisi duduknya. “Kalau kita tunduk sama lo, kita akan nggak jadi temen lo, tapi jadi minion lo!”

“Farah awalnya jadi minion gue, dia temenan sama gue ‘kan biar dapet inspo style yang keren berikut used thing gue yang dikasih Papi, tapi gue nggak mau.”

“Gue nggak akan ngelak, tapi mau dibahas sampe kapan coba?! Gini-gini gue yang selalu ada buat lo setiap lo kena masalah, paling baru, kemarin waktu lo nabrak Mas nya Dhito."

“Ya, ya, thanks minion gue.”

“Ah sialan lo!” Farah mengambil satu makaron lantas di lemparkan pada Nadine yang beruntung tertangkap dengan baik. Mantan atlet andalan jurusan dalam bermain baseball saat kuliah masih memiliki kemampuan yang baik ternyata.

“Eh tapi Mas Dhanu beneran nagih ke lo?”

Nadine mengangguk sembari mengunyah makaron tadi. “Sebenarnya nominal nya nggak seberapa, tapi karena gue lagi krisis lumayan kerasa gedenya.”

“Itu masih lebih baik dari dibandingkan berurusan sama aparat, Nad.” Jihan mecomot sepotong pizza yang hampir dingin itu. “Eh tunggu deh, yang Nadine tabrak itu kakaknya Dhito tunangan lo, Ra?”

“Ada lagi nama Dhito yang gue kenal?”

“Doi Temennya Zidane dong?”

“Lah memang, suami lo nggak cerita emangnya?”

Jihan meletakkan pizza yang baru di makan segigit diatas tisu, memiringkan tubuhnya ke arah Farah. “Oh! Kemarin Zidane sih bilang, sahabat nya abis tabrakan. Ternyata di tabrak temen gue!”

”Dia cerita apa ke suami lo? Dia belum sembuh?” Nadine mengangkat pandangannya dari tablet nya, lantas memandang Jihan.

“Enggak, dia cerita karena Zidane ngajak nongkrong waktu gue jagaian lo itu. Tapi temen-temen nya nggak bisa termasuk Mas Dhanu ini. Pas gue pulang dia bilang kasian, katanya temannya juga abis tabrakan. Terus kata gue, hati-hati lagi rawan berarti. Lah bukan lagi rawan ternyata, setelah denger cerita lengkap nya.”

“Dunia sempit banget emang.” Farah menggeleng kepalanya.

Keduanya temannya mengira, Nadine akan segera beranjak dari meja kerjanya, tetapi ternyata ia kembali berkutat dengan seperangkat alat gadget tersebut.

“Masih belum selesai? Lo lagi ngapain sih?!” seru Farah akhirnya.

“Dikit lagi, ini ngelist nama-nama yang mau gue hubungin besok. Barangkali mau kasih pinjaman atau invest deh disini.”

“Masalah keuangan itu belum selesai?”

“Belum. Sebenarnya ini salah gue juga kurang teliti sama manajemen arus kas, jadinya nggak punya kas likuid yang memadai buat jadi logistik dan akomodasi ke Paris. Bukan karena perusahaan nggak punya uang, tapi karena jatuh tempo piutang nya masih lama dan nggak bisa percepat. Terus salah satu kelemahan NHoute sejak pertama diperkenalkan sebagai luxury brand itu ketergantungan sama pelanggan besar yang kebanyakan menunda pembayaran, itu salah satu piutang terbesar Nhoute. Begitu pada jatuh tempo akan langsung gue bayar, tapi gitu aja susah banget dapetnya.”

“Kenapa nggak minta bantuan ke Nanda aja? Secara pribadi maupun HdIGruop, dia bisa bantuin.” saran Farah dengan polosnya, gadis itu santai saja sembari memakan macaron di ujung sofa.

“Lo diem-diem udah gali kuburan gue, ya?”

“Hush, sembarangan!”

“Minta bantuan Nanda itu sama dengan bunuh diri jalur karena kehabisan harga diri.”

“Yaelah, lo mau sampe kapan coba nggak akur sama Nanda?”

“Siapa juga yang berantem, gue cuma nggak mau terlibat apapun sama dia.”

Belum sempat Farah protes karena itu tidak ada bedanya dengan narasi Nadine tidak akur dengan Nanda, lalu hendak memberikan ceramah tentang buruknya tidak akur dengan adik sendiri, Jihan tiba-tiba duduk tegak lantas bertepuk tangan meminta atensi Nadine sepenuhnya.

“Lo ‘kan dapet harta warisan dari bokap lo?! Kenapa nggak dipake aja?”

“Ini lagi makin ngaco.”

“Eh kenapa? Jumlah nya lumayan banget ‘kan?”

“Iya, tapi pihak keluarga Papi nyatuin warisan bagian gue sama wasiat yang Papi kasih gue, yang mana wasiat itu baru bisa di cairkan kalau gue nunjukin akta pernikahan gue ke kuasa hukum Papi.”

“Ya lo tinggal nikah ajalah, apa susahnya?”

“Tinggal nikah aja?” Nadine meletakkan pencil pad nya dengan kasar di atas meja, menatap Jihan dengan tatapan mematikan. “Lo amnesia apa gimana, Han?”

“Tau ih lo! Parah banget” Farah menoyor bahu Jihan hingga sahabatnya itu terhuyung.

“Apa? Gue ngomong bener kok lo ‘kan punya pacar—” Jihan terdiam seketika saat teringat kejadian sebulan lalu yang Nadine membawa dua kilo telur zonk yang dibeli Jihan, entahlah hari itu Jihan apes sekali membeli telur untuk stok dirumah ternyata busuk semua. Hari itu ia sudah kelimpungan untuk membuangnya tanpa menganggu tetangga, siapa sangka Nadine suka rela membawanya.

“Sorry, Nad, gue lupa soal cowok brengsek itu.” Jihan cepat-cepat menundukkan pandangan nya sebelum Nadine betul-betul mencolok matanya.

“Gue nggak mau nikah lagian. Makanya gue nggak berharap banyak dari warisan itu.” Nadine akhirnya beranjak dari singgasana nya ikut berkumpul dengan Jihan dan Farah.

“Yaelah, jangan jadi trauma gitu dong hanya karena pulu-pulu itu. Banyak kok cowok baik diluar sana” Farah menyemangati, tidak lupa kedua tangan nya mengepalkan di udara.

Nadkne mendengus. “Orang yang kemarin nangis-nangis ngatain tunangan nya brengsek nggak pantes kasih semangat ke gue.”

“Itu kan kemarin karena Dhito tiba-tiba nggak jelas mau mundurin pernikahan! Tapi sekarang udah clear sih, nggak jadi di undur.”

“Nyengir lo!” Nadine mengalihkan rasa greget nya pada Farah dengan mengigit makaron. “Sebelum karena masalah Rendi juga gue emang nggak mau nikah kok. Gue nerima Rendi juga bukan buat gue nikahin nantinya. Gue nerima dia karena dia cowok yang memberikan hal yang gue butuhkan sama kayak temenan sama kalian dulu. Farah pinter matematika, gue butuh tutor yang bisa gue atur sesuka hati. Jihan, ketua osis, gue butuh orang berpengaruh setidaknya disisi gue. Nah Rendi, saat itu gue butuh support sistem tanpa dominasi dan dapet nasehat bisnis secara gratis. Sialan tenyata akhir nya malah sesakit ini, tapi setidaknya dia justru jadi penguat alasan buat nggak nikah. Jujur takut gue sama yang namanya nikah-nikah itu.”

Sebagai orang yang berteman dengan Nadine sedari SMP, Farah dan Jihan mengerti dengan baik alasan mengapa Nadine tidak ingin menikah. Mereka berdua masih ingat betul bahkan hingga saat ini sosok Nadine kecil yang berusaha keras tidak menangis karena KDRT dan pernikahan kedua yang dilakukan oleh ayahnya.

Papi Nadine menikah lagi karena banyak alasan yang membuat Nadine melabeli laki-laki banyak mau, setidaknya tiga diantaranya Nadine simpan baik di benak Nadine. Alasan yang Papi ucapkan ditengah pertengkarannya dengan Mami. Satu, karena Mami tidak bisa memberikan anak laki-laki. Dua, karena Mami sakit keras. Tiga, karena sakitnya itu, Mami kehilangan semua kecantikannya sehingga Papi berfikir Mami membosankan.

Meski begitu, Nadine tidak benar-benar membencinya. Papi tetep menjadi ayah yang baik setiap ada kesempatan, sebelum kesempatan itu benar-benar hilang. Nadine berasumsi, Papi menulis wasiat seperti itu karena ia tau kalau ialah sumber patah hati pertama putrinya yang mungkin berimbas pada keputusan kehidupan percintaan Nadine dimasa depan.

“Udah ah, stop ngomongin uang itu. Gue akan bangkit dengan kaki gue sendiri atau kalau mepet banget, mungkin gue akan cari orang dari pedesaan untuk gue ajak nikah kontrak lima bulanan gitu.”

“Nggak usah ngaco sih kata gue!” keluh Farah dan Jihan bersamaan.

“Kan seandainya, ah kalian!”

“Seandainya juga nggak boleh lah! Kalau mepet lo bilang sama gue. Gue kenalin lo sama Masnya Dhito.”

“Makin ngaco lo!” Nadine terbahak. “Mau di taro dimana muka gue ketemu dia lagi? Setelah semua dosa-dosa gue ke dia, ngacau di kantor dia, nabrak dia, ya kali gue nikah sama dia?!”

“Ya ‘kan seandainya, Nadine! Kebetulan banget Dhito minta bantuan barangkali ada temen gue yang mau nikah, Mas nya yang sebelumnya nggak mau nikah lagi sekarang memutuskan buat nikah sebelum berubah pikiran Dhito minta tolong siapa tau ada cewek yang mau dikenalin ke dia.”

“Lagi?” dahi Jihan justru yang berkerut. “Lah dia duda? Duren, njir!” Jihan menyeringai di ujung kalimat nya.

“Zidane harus tau kelakuan istrinya yang begini, rekam, Ra, rekam” Nadine tidak habis pikir saat deretan gigi Jihan yang putih dan rapih itu.

“Bukan duda eh, sembarangan.” Farah mengibaskan tangannya di hadapan Jihan. “Dulu pernah hampir nikah sama pacarnya dari SMA, tapi di hari H ceweknya nggak dateng dan minta batalin pernikahan itu gitu aja. Dari situ gue denger Mas Dhanu nggak mau nikah atau deket sama cewek lagi. Gue rasa alasan Dhito mau ngundurin pernikahan kami juga karena nggak enak sama Mas nya. Buktinya begitu Mas nya bilang mau nikah, Dhito setuju buat tetep nikah ditanggal yang udah di tetapkan. Tapi gue rasa Mas Dhanu juga bilang mau nikah bukan karena dia ingin nikah sih, tapi biar adiknya nggak bikin masalah dengan memundurkan pernikahan nya. See? Gue rasa lo sama Mas Dhanu sevisi-misi, dah lah cocok tuh sama lo, Nad.”

“Ada gila-gila nya lo, Ra. Lo baru aja nyuruh kakak ipar lo nikah kontrak sama gue?!”

“Kita nggak tau akhirnya gimana? Gue bukan nyuruh lo nikah kontrak sama Mas Dhanu, gue sedang mencoba mempersatukan kalian. Lagian nggak ada yang namanya nikah kontrak, sekali lo sah di depan penghulu itu sah dimata agama dan negara. Dan siapa tau? Kalian jadi penyembuh satu sama lain. Di tambah, dia enak diliat tiap hari, Nad. Lo tau ‘kan gantengnya dia kayak apa?”

Nadine mengangguk tanpa disadari, tubuh sulit diajak berbohong oleh apa yang dilihat matanya. Lelaki pemilik sepasang mata seperti serigala yang di bingkai dengan kacamata tipis itu, sangat tampan memang.

“Selain itu Mas Dhanu orang yang super baik. Dia juga sesuai sama kriteria lo. Lo suka cowok yang kalem-kalem dan nggak mendominasi lo gitu ‘kan? Nah Mas Dhanu banget tuh. Meski dia manajer senior di PCFB, tapi dia sama sekali nggak bossy apalagi naris, dia juga irit bicara. Point plus-nya Mas Dhanu kakaknya Dhito, yang artinya gue bakal jadi adik ipar lo” Farah memainkan alisnya sehingga ia tampak menyebalkan.

“Poin terakhir justru yang paling serem” Nadine melemparkan makaron pada Farah.

“Ah sialan lo!” beruntung Farah menangkapnya dengan baik.

Sementara itu disisi kanan Jihan hanya menggelengkan kepalanya, tensi pembicaraan ini terlalu serius hingga mereka tersadar kalau Nadine tidak terbujuk sedikitpun. Hal itu dibuktikan dengan kalimat terakhir sebelum menyuruh mereka pulang.

“Kenalin aja dia ke temen lo yang lain. Target utama gue sekarang bawa Nhoute ke Paris. Tenang aja, gue akan bisa kesana tanpa mencairkan uang Papi.”

Perkataan Nadine membuat Farah ambruk di kursi, ia berlagak kecewa karena gagal menyakinkan teman baik nya itu.