FILM REVIEW: ADA APA DENGAN CINTA? (Rudi Soedjarwo, 2002)

Suar Film
6 min readJul 21, 2020
Sumber: CNN Indonesia

Sederhana. Adalah satu kata yang mampu mendeskripsikan film Ada Apa Dengan Cinta. Mahakarya Miles Productions yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo pada tahun 2002 silam ini mampu meninggalkan bekas pada tiap pribadi yang menontonnya. Secara garis besar, Ada Apa Dengan Cinta (AADC) mengangkat tema yang dekat dengan keseharian, yaitu persahabatan dan percintaan. Masa remaja tentunya merupakan masa-masa yang berpengaruh besar terhadap pencarian jati diri seseorang — dimana pilihan-pilihan hidup yang harus diambil mulai bermunculan. Hal inilah yang sang sutradara coba kulik lewat tokoh Cinta.

Awal film AADC memperlihatkan adegan para tokohnya berangkat ke sekolah. Cinta dan geng-nya kerap terlihat disapa sepanjang jalan. Lalu ada tokoh Mamet yang melambaikan tangannya, berharap Cinta menegur balik. Kemudian, dikontraskan kembali dengan tokoh Borne, yang juga disapa cowok-cowok satu sekolah. Rangkaian adegan ini seolah-olah menggiring persepsi penonton bahwa menjadi ‘anak gaul’ adalah standar yang harus dicapai. Terlihat dari banyaknya orang yang menyapa Cinta dan geng-nya, juga Borne — dibanding Mamet yang tidak disapa sama sekali dan seolah tidak dianggap. Maka secara tidak langsung, tercipta pula persepsi bahwa ‘anak gaul’ hanya pantas menjalin hubungan dengan sesamanya. Tetapi pada konteks film AADC, cerita Cinta dan Rangga diharapkan bisa menentang pemisahan ‘anak gaul’ dan ‘anak kuper’ tersebut. Jika dilihat dari penokohan karakter Cinta, Rangga adalah sosok yang berbanding terbalik darinya.

Cinta lahir dari keluarga yang berstatus mapan, memiliki predikat ‘anak gaul’ dan dikelilingi oleh banyak teman — dunia selalu indah dari kacamata Cinta. Sebaliknya, dunia mungkin tidak pernah bersikap adil pada Rangga. Memiliki Ayah yang terkenal kontroversial, ditinggal Ibunya sejak kecil, berkawan sendiri — membuat mereka sulit memahami dan menerima cara pandang masing-masing. Seperti saat Cinta menganggap Rangga sebagai pribadi dengan gaya ‘sok artis’ karena tidak mau diwawancarai oleh redaksi mading sekolah atas prestasinya sebagai pemenang lomba puisi. Pun sebaliknya, Rangga tidak mengerti alasan dibalik keistimewaan menjadi pemenang lomba puisi — apalagi wawancara mading. Ketidakselarasan cara pandang mereka inilah yang menimbulkan konflik di antara mereka.

Sumber: Hipwee

Tetapi itu justru menjadi salah satu tantangan dalam pembuatan film AADC — membangun chemistry di atas buruknya kesan pertama yang Cinta dan Rangga miliki terhadap satu sama lain. Ketika film-film remaja terdahulu banyak menggambarkan unsur pemberontakan di kalangan remaja [1], AADC menitikberatkan pengalaman SMA sebagai masa yang perlu dihabiskan dengan hobi yang produktif. Cinta dan Rangga sama-sama menyukai sastra. Terlihat dari cara mereka yang dianggap tidak biasa saat berkomunikasi dengan satu sama lain karena menggunakan kata sapaan ‘saya-kamu’, dan bukan ‘gue-lo’.

Cinta: Hey, kamu kalau lagi kebingungan lebih nyenengin, ya. Kamu bingung aja terus.

Rangga: ‘Kamu’?

Cinta: Hah?

Rangga: Iya, ‘kamu’. Biasanya ‘kan, ngomongnya lu-gue.

Maraknya penggunaan kata sapaan ‘gue-lo’ dan bahasa ‘gaul’ lainnya di era 2000an, membuat penggunaan ‘saya-kamu’ dianggap tidak umum lagi di kalangan remaja. Sehingga, cara Cinta menyapa Rangga yang tadinya ‘gue-lo’ ke ‘saya-kamu’ adalah sesuatu yang cukup mengagetkan bagi Rangga — apalagi ketika datangnya dari seorang ‘anak gaul’. Tetapi yang jelas, hubungan mereka berangsur membaik sejak itu.

Selayaknya sebuah hubungan, Cinta dan Rangga pun mengalami pasang surutnya. Semakin intens hubungan mereka, semakin banyak pula perbedaan di antara keduanya yang mulai terkuak. Kesulitan dalam memahami dan menerima cara pandang masing-masing masih menjadi biang keroknya. Seperti saat Rangga mengajak Cinta ke Pasar Buku Kwitang — yang di tengah perjalanan, Cinta teringat akan janji menonton konser dengan geng-nya. Rangga menyebut Cinta dan teman-temannya ‘tidak prinsipil’ karena menggantungkan hidup mereka pada orang lain. Alhasil, Cinta merasa bahwa Rangga dan geng-nya adalah dua bagian dari hidupnya yang tidak boleh saling berkaitan. Padahal, dengan pola pikir demikian, Cinta hanya akan menciptakan lebih banyak lagi ruang kesalahpahaman.

Sumber: Miles

Klimaks AADC terdapat ketika dua konflik penting tersebut saling tumpang tindih pada waktu yang bersamaan. Adegan Cinta pergi kencan dengan Rangga di Blues Cafe memperlihatkan harmonisasi antara dua ‘dunia’ yang berbeda. Dunia Cinta dan Dunia Rangga. Tetapi yang tidak Cinta ketahui, pada saat yang bersamaan, Alya tengah dikuasai pikiran jahat yang membuatnya berusaha bunuh diri. Sang sutradara memperlihatkan cross-cut adegan Alya di bawah shower, yang kemudian berganti ke adegan Cinta yang sedang menyanyikan musikalisasi puisi Rangga. Lalu kembali ke aliran air bercampur darah yang masuk ke dalam avur lantai. Rangkaian adegan ini menciptakan kontras yang membuat penonton menggigit jari karena miris dan prihatin. Sebuah komposisi yang sedikit ekstrem namun apik dalam memperlihatkan konsekuensi bagi orang yang tidak bisa tegas dalam menentukan pilihan hidup.

Berkaitan dengan itu pula, pada eksekusinya, AADC berhasil mengangkat isu-isu seputar teen alienation, budaya ‘nge-geng’, ketidakstabilan emosi dan tekanan dari sekitar atau peer pressure — hal-hal yang identik dengan masa SMA [2]. Apalagi dengan adanya adegan bunuh diri dan ciuman — yang mungkin belum umum terlihat di layar kaca Indonesia pada saat itu, Soedjarwo tidak setengah-setengah dalam menyematkan jiwa adventurous pada film AADC. Selain itu, yang berhasil membedakan AADC dari film-film remaja lainnya adalah pesannya seputar mimpi dan masa depan.

Topik itu seolah dirasa belum perlu muncul pada konteks hubungan saat SMA. Dan sebagai gantinya, Soedjarwo mencoba membuka dialog bahwa sebelum adanya pembicaraan tentang hari esok, ada baiknya kembali berkaca pada hari ini. Ibaratnya, apa nggak lebih rumit ngomongin masa depan kalau masalah sekarang saja sudah ngejelimet? Seperti mengingatkan penonton akan pentingnya penyelarasan values — prinsip, di masa sekarang karena pengaruhnya yang signifikan terhadap kelanggengan sebuah hubungan. Sehingga sah saja untuk berpendapat bahwa AADC berhasil menyuguhkan potret kehidupan remaja Indonesia tahun 2000an dengan sangat sederhana namun realistis.

Satu hal yang juga patut diacungi jempol dari film AADC, yaitu pesan untuk mengapresiasi sastra Indonesia. Unsur sastra di dalam film ini seolah selalu muncul sebagai ‘penyelamat’ bagi hubungan Cinta dan Rangga. Dari kembalinya buku ‘Aku’ ke tangan Rangga yang berujung ‘kencan’ ke pasar buku, musikalisasi puisi saat kencan di Blues Cafe hingga puisi ‘Perempuan’ sebagai hadiah untuk Cinta di detik-detik kepergian Rangga ke New York. Setidaknya dari kacamata Generasi Z, selipan seperti ini sangat menyegarkan karena sastra bukanlah hal yang digandrungi dan direspon dengan antusias, mungkin karena tergerus kencangnya arus globalisasi.

Adapun adegan-adegan yang terasa mengganjal, seperti saat Cinta mengaku takut ditinggalkan teman-temannya jika ia mengaku berhubungan dengan Rangga, seakan membuat AADC balik mengangguk pada dualitas ‘anak gaul’ dan ‘anak kuper’. Walaupun sempat ada pengelakan dari Karmen — bahwa mereka “paling hati-hati kalau soal cowok” dan “bukan yang mengatur mau pacaran sama siapa”, kemunculannya yang terlalu di akhir membuat pesan yang coba dibangun dari awal film terkesan tidak konsisten. Seharusnya, adegan tersebut bisa dimunculkan lebih awal. Mungkin ketika adegan Cinta meminta maaf kepada geng-nya di rumah sakit.

Sumber: Fimela

Terlepas dari plothole tersebut, AADC telah dan akan terus menjadi film yang mampu membuat penontonnya bernostalgia. Bahkan bagi yang belum atau sudah lewat masa SMA di tahun 2000an. Tidak hanya sebuah suguhan bagi penonton, tetapi juga warna menyenangkan pada skena seni Indonesia yang minim genre ‘coming of age’-nya [3] — genre peralihan dari masa muda menuju kedewasaan, bahasa kerennya. Patut ditonton. Ter-bikin baper x gelisah x galau x merana!

REFERENSI

FILM

Ada Apa Dengan Cinta?, dir. Rudi Soedjarwo, 2002

[1] Gita Cinta Dari SMA, dir. Arizal, 1979

[1] Biarkan Kami Bercinta, dir. Wim Umboh, 1984

[1] Catatan Si Boy, dir. Nasri Cheppy, 1987

ARTIKEL ONLINE

[2] https://www.quipper.com/id/blog/un/sosiologi-un-sma/jangan-nge-geng-kalau-nggak-mau-disebut-pelaku-penyimpangan-sosial/

[3] https://www.whiteboardjournal.com/column/minimnya-genre-coming-of-age-dalam-sastra-indonesia/

--

--

Suar Film

Wadah informasi seputar perfilman Indonesia. Moga-moga dalam perjalanannya juga bisa mewakili suara sobat gegana alias gelisah x galau x merana.