ππππππ πππππ ππππππ ππππ.
Dengarkan, tolong dengarkan laraku!
Kisah ini bermula dari perhelatan dua insan yang tidak saling mencinta. Mereka terpaksa mengikat tali suci di depan altar karena tekanan dari pihak keluarga. Sang adam kerap berjibaku pada pekerjaan, sedang sang hawa hanya terpaku pada cinta pertamanya. Pernikahan tanpa dasar cinta tak berbuah manis, meskipun aku hadir menjadi pelengkap di tengah-tengah mereka.
Sosok yang kusebut sebagai ibu menganggap bahwa kehadiranku seperti malapetaka di dalam hidupnya. Dia telah dibutakan oleh cinta yang semu hingga tak sudi merawatku, pun menganggap bahwa kelahiranku merupakan sebuah kecelakaan. Sedang ayah tak jauh berbeda, dia hanya menganggapku objek tak kasat karena pekerjaannya adalah yang paling utama.
Seribu satu cara aku lakukan demi memikat hati mereka, akan tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Mereka seolah tidak pernah menganggap diriku ada. Kesendirian sudah menjadi saudara karibku. Harta dan tahta sama sekali tak berarti.
Ketika aku menginjak usia remaja, sikap ibu mulai tak terkendali. Ia menorehkan luka yang tiada habisnya, tidak hanya secara psikis, namun jua secara fisik. Hal ini dilakukan untuk melampiaskan amarah yang tak lagi terbendung.
Ambisi ibu terhadap diriku lambat-laun menjadi hasrat yang begitu kental seiring dengan berjalannya waktu. Bagi ibu, aku tak lebih dari sekadar penghalang. Satu kesalahan yang aku lakukan berdampak besar bagi suasana hati ibu dan dia akan menghukumku saat itu juga. Sumpah-serapah kudengar sebanyak embusan napas yang kuhirup setiap hari.
Pertengkaran di antara pasangan suami istri tersebut pun sudah tak terelakkan. Bukan hanya sekali kudengar bunyi hantaman dan pecahan kaca yang berserak. Keluarga ini seolah dikutuk dan terjebak dalam lingkaran maut.
Kendatipun aku harus terlihat sempurna di mata orang lain, bersandiwara sebagaimana mestinya, seperti yang telah dilakukan ibu dan ayah selama ini. Aku hidup selayaknya boneka dalam tabung kaca. Tabung kaca itu mengukungku dari ragam imaji yang acapkali kudamba, sedangkan aku seumpama boneka yang dipajang di dalamnya.
Aku takut rahasiaku terbongkar, tak satu orang pun sepatutnya mengetahui. Selama ini aku selalu berpura-pura di hadapan mereka, menutupi pahatan ibunda pada setiap jengkal kulit, biru lebam di daerah yang tak terjangkau oleh mata. Aku tidak tahu apa lagi alasanku untuk tetap menjalani hidup. Sepertinya kata cinta tidak cocok bila disandingkan dengan diriku.
Katakanlah, aku hidup di dalam kebohongan yang pelik. Tak ada tempat untuk berlindung maupun mengadu. Kepercayaan sangat minim eksistensinya, seolah tengah bersembunyi di tempat yang tak sanggup kugapai. Bertahun-tahun aku memasrahkan diri, percobaan untuk kabur pun tak pernah berakhir baik.
Jakarta menjadi saksi kemalanganku, namun di sana pula aku menemukan secercah cahaya. Seseorang memperkenalkanku sebuah komunitas yang kabarnya dapat membantuku untuk terlepas dari segala persoalan. Lost & Rescue. Akankah aku menemukan jalan keluar di sana?