Neoliberalisme dan Omong Kosong tentang Kebebasan (Bagian I)

Subliminal Cult
11 min readDec 14, 2023

--

Bag 1 : Latar Belakang Peralihan Menuju Neoliberal

Gambar dari Anarchist Posters

“Dalam tatanan dunia baru tidak ada demokrasi atau kebebasan, tidak ada kesetaraan atau persaudaraan. Panggung planet diubah menjadi medan pertempuran baru, di mana kekacauan merajalela.”

— Subcomandante Marcos (The Fourth World War has Begun)

Tokoh-tokoh pemikir neoliberal menganggap cita-cita politik tentang martabat manusia dan kebebasan individu sebagai hal yang mendasar; sebagai ‘nilai-nilai sentral peradaban’. Menurut mereka, nilai-nilai ini sedang terancam tidak hanya oleh fasisme, kediktatoran, dan komunisme, melainkan juga oleh adanya intervensi negara yang menggantikan kebebasan individu dengan kebebasan kolektif.

Bagi Amerika Serikat (selanjutnya disebut AS), gagasan kebebasan telah lama tertanam dalam tradisi negara demokrasi liberal ini dan telah memainkan peran penting dalam proyek imperialis mereka terhadap negara-negara lain. ‘9/11’ misalnya, segera ditafsirkan sebagai serangan dan ancaman terhadap gagasan ini. Bahasa kebebasan lantas dimasukkan ke dalam dokumen Strategi Pertahanan Nasional AS yang diterbitkan tak lama setelah kejadian itu: “Kebebasan adalah anugerah Yang Maha Kuasa bagi setiap pria dan wanita di dunia ini.. dan sebagai kekuatan terbesar di dunia, kami memiliki kewajiban untuk membantu penyebaran kebebasan.”[1]

Saat AS menginvasi Irak, gagasan kebebasan yang dijanjikan untuk masyarakat Irak juga dijadikan pembenaran untuk menghalalkan perang dan genosida. Seorang kritikus budaya, Matthew Arnold, mengatakan bahwa: “kebebasan adalah kuda yang sangat baik untuk ditunggangi, tetapi untuk ditunggangi di suatu tempat”.[2]

Jadi kebebasan seperti apa yang dimaksud? Dan ke manakah rakyat Irak menunggangi kuda kebebasan yang diberikan kepada mereka melalui kekuatan senjata?

Jawaban dari pertanyaan ini dijabarkan pada 19 September 2003, ketika Paul Bremer, Kepala Coalition Provisional Authority, mengumumkan empat perintah dalam invasi ke Irak yang mencakup ‘privatisasi penuh perusahaan-perusahaan publik, hak kepemilikan penuh bagi perusahaan-perusahaan asing atas bisnis-bisnis di Irak, repatriasi penuh atas keuntungan-keuntungan asing, pembukaan bank-bank di Irak untuk kontrol asing, perlakuan nasional bagi perusahaan-perusahaan asing dan penghapusan hampir semua hambatan perdagangan’.[3] Di sisi lain, pemogokan dilarang dan hak untuk berserikat dibatasi.

Perintah Bremer memang ilegal jika di berlakukan oleh negara yang sedang menduduki sebuah wilayah, tetapi tentu saja sangat legal jika dikukuhkan oleh pemerintahan yang berdaulat. Oleh karena itu, sebuah pemerintahan yang berdaulat ditunjuk oleh AS melalui kudeta pada akhir Juni 2004. Sebelum serah terima jabatan, Bremer melipatganakan jumlah undang-Undang pasar bebas dan perdagangan bebas (seperti UU Hak Cipta dan Hak atas Kekayaan Intelektual) dengan harapan bahwa pengaturan institusional ini akan memiliki ruang dan waktunya sendiri dalam ‘penyesuaian struktural’ sehingga sulit untuk dibatalkan.

Apa yang di inginkan oleh AS di Irak adalah sebuah aparatus negara yang dapat melayani akumulasi kapital yang menguntungkan. Maka, kebebasan yang dimaksud AS pada invasi irak adalah kebebasan bagi pemilik properti, bisnis, perusahaan multinasional dan para pemodal besar. Singkatnya, AS mengajak Irak untuk menunggangi kuda kebebasan yang diberikan kepada mereka langsung menuju ke kandang neoliberal.

Tiga dekade sebelum Irak, eksperimen petama pembentukan negara neoliberal sudah dimulai di Chile melalui kudeta Pinochet pada ‘little 11th September’ tahun 1973. Kudeta terhadap pemerintahan Salvador Allende yang terpilih secara demokratis itu didukung oleh para elit bisnis dalam negeri yang terancam oleh upaya Allende menuju sosialisme. Kudeta ini didukung oleh perusahaan-perusahaan AS, CIA, dan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger.

Semua gerakan sosial diberangus dan berbagai organisasi rakyat dibubarkan. Sebaliknya, pasar tenaga kerja dibebaskan dari belenggu peraturan yang mengekang. Ekonomi Chile pun mulai ditata dengan pendekatan baru ala neoliberal. Sekelompok ekonom yang dikenal sebagai ‘The Chicago Boys’ dipanggil untuk tugas tersebut. Para ekonom ini adalah beberapa mahasiswa Chile yang didanai oleh AS untuk belajar ekonomi di Universitas Chicago sejak tahun 1950-an dibawah bimbingan Milton Friedman dan Arnold Harbenger. Ini adalah bagian dari program Perang Dingin AS untuk menangkal kecenderungan komunisme di Amerika Latin. Pada 1975, mereka ditempatkan dalam pemerintahan, di mana tugas pertama mereka adalah mencairkan dana pinjaman IMF.

Bersama IMF, mereka memprivatisasi aset-aset publik, membuka sumber daya alam (perikanan, kayu, dll) untuk eksploitasi swasta tanpa hambatan regulasi (termasuk mengabaikan tuntutan masyarakat adat), serta membuka keran investasi asing dan perdagangan yang lebih bebas. Perlahan, ekonomi Chile tumbuh melesat dan menjadi model bagi banyak negara lain di bawah eksperimen neoliberal.

Namun, kebangkitan ekonomi Chili hanya berlangsung singkat. Semuanya memburuk ketika terjadi krisis utang Amerika Latin pada tahun 1982. Hasilnya adalah penerapan kebijakan neoliberal yang jauh lebih pragmatis pada tahun-tahun berikutnya. Pragmatisme ini pula diduga menjadi pemicu bagi peralihan menuju ekonomi-politik neoliberal di Inggris (era Margareth Tatcher) dan AS (era Ronald Reagen) pada 1980-an. Karena bukan tidak mungkin, eksperimen brutal neoliberal di Chili dan negara-negara pinggiran lainnya, menjadi model bagi perumusan kebijakan di pusat.

Fakta bahwa dua restrukturisasi aparatur negara yang sangat mirip pada waktu yang berbeda di belahan dunia yang sangat berbeda di bawah pengaruh paksaan AS, menunjukkan bahwa jangkauan suram kekuasaan imperialis AS mungkin berada di balik cepatnya perkembangan bentuk-bentuk negara neoliberal di seluruh dunia, sejak pertengahan tahun 1970-an dan seterusnya.

Akan tetapi ini bukanlah keseluruhan cerita. Bukan AS yang memaksa Margaret Thatcher untuk mengambil jalan perintis neoliberal pada tahun 1979. Bukan pula AS yang memaksa Cina untuk menempuh jalur liberalisasi pada tahun 1978. Pergerakan parsial menuju neoliberalisasi di India pada tahun 1980-an dan Swedia pada awal 1990-an juga tidak bisa dikaitkan dengan jangkauan imperialisme AS.

Perkembangan geografis neoliberalisme yang tidak merata di panggung dunia jelas merupakan sebuah proses yang sangat kompleks yang melibatkan banyak kekacauan dan kebingungan dalam kebijakan. Lalu, mengapa peralihan neoliberalisme bisa terjadi, dan kekuatan apa saja yang membuatnya begitu hegemonik dalam kapitalisme global?

LATAR BELAKANG PERALIHAN MENUJU NEOLIBERAL

Setelah Perang Dunia Kedua, dalam rangka untuk mencegah terulangnya perang dan kondisi bencana yang mengancam tatanan kapitalisme (seperti ‘Great Depression’ tahun 1930-an), maka bentuk-bentuk negara dan hubungan internasional perlu ditata ulang. Sebuah kompromi kelas antara kapital dan tenaga kerja perlu di bangun. Pandangan ini dirangkum oleh Robert Dahl dan Charles Lindblom dalam buku mereka ‘Politics, Economy and Welfare: Planning and Politico-Economic Systems Resolved into Basic Social Processes’ yang diterbitkan tahun 1953. Menurut mereka, ‘baik kapitalisme maupun sosialisme telah gagal’.[4] Satu-satunya jalan ke depan adalah membangun perpaduan yang tepat antara negara, pasar, dan lembaga-lembaga demokratis untuk menjamin perdamaian, inklusi, kesejahteraan, dan stabilitas. Apa yang mereka sebut sebagai tindakan ekonomi-politik yang rasional itu hanya dapat terjadi melalui “empat proses sosial yang krusial. Hal-hal tersebut adalah sistem harga, kendali oleh pemimpin (hierarki), kendali atas pemimpin (poliarki), dan kendali antar pemimpin (tawar-menawar).”[5]

Akhirnya, pada bulan Juli 1944 di Bretton Woods, New Hampshire, empat puluh empat negara yang merupakan Sekutu melawan kekuatan Poros menyusun cetak biru sistem moneter internasional pasca-Perang Dunia II. Apa yang kemudian dikenal sebagai perjanjian Bretton Woods ini melahirkan lembaga-lembaga internasional seperti PBB, IMF, World Bank, dan Bank of International Settlements. Dollar US pun dinobatkan sebagai mata uang dunia dengan nilai tukar tetap $35 per ons emas.

Beberapa negara demokrasi sosial, demokrasi Kristen dan negara dirigiste muncul di Eropa. AS sendiri beralih ke bentuk negara demokrasi liberal. Kesamaan dari semua bentuk negara ini adalah penerimaan bahwa negara harus fokus pada lapangan kerja penuh, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan warganya serta kekuasaan negara harus bebas mengintervensi atau bahkan, jika perlu, menggantikan proses pasar untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kebijakan fiskal dan moneter yang dijuluki ‘Keynesian’ ini diterapkan secara luas untuk mengendalikan siklus bisnis. Negara berhak mengatur kebijakan industri dan bergerak secara aktif untuk menetapkan standar upah sosial dan membangun berbagai sistem kesejahteraan (kesehatan, pendidikan, dll).

Sistem ekonomi-politik yang disebut sebagai ‘liberalisme tertanam’ ini menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di beberapa negara kapitalis maju pada 1950-an dan 1960-an. Tetapi sebagian keberhasilan ini bergantung pada kemurahan hati AS dalam melakukan defisit dengan negara-negara lain di dunia dan menyerap kelebihan produk di dalam negara mereka. Meski demikian, upaya untuk mengekspor ‘pembangunan’ ke sebagian besar negara lain di dunia (terutama negara Dunia Ketiga) gagal. Bagi Afirika, liberalisme tertanam tetaplah mimpi di siang bolong.

Sementara di negara-negara kapitalis maju, politik redistributif, kontrol modal, perluasan pengeluaran publik dan pembangunan negara kesejahteraan, atau singkatnya intervensi aktif negara dibidang ekonomi dan perencanaan pembangunan sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Pada titik ini, negara pada akhirnya menjadi medan kekuatan yang berhasil menginternalisasi hubungan antar kelas. Institusi kelas pekerja seperti serikat buruh dan partai-partai politik kiri menempati banyak posisi di dalam aparatur negara.

Ndilalah, semangat pertumbuhan yang menggiurkan ini mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga. The Fed juga tergiur untuk mencipta semakin banyak Dollar hingga melebihi stok emas yang dimiliki. Akibatnya, terjadi krisis kepercayaan dunia terhadap dolar AS. Hal itu ditandai dengan penukaran dollar secara besar-besaran oleh negara-negara Eropa. Adalah Prancis, pada masa Charles de Gaule, negara yang pertama kali menentang hegemoni dollar dengan menukarkan sejumlah 150 juta dollar AS dengan emas. Disusul Spanyol yang menukar 60 juta dollar AS dengan emas. Hasilnya, cadangan emas di Fort Knox berkurang secara drastis sementara uang (M1) menurun selama periode ini.

Dalam kondisi ketidakpastian, The Fed mengambil langkah cepat dengan menutup bursa emas dan mengandalkan “pertukaran mata uang” sebagai mekanisme utama untuk mempertahankan stok emas AS untuk sementara.[6] Hal ini turut mengubah sistem Bretton Woods dari standar emas menjadi standar dollar. Itu artinya, tingkat harga barang dan jasa di negara-negara lain harus sesuai dengan tingkat harga di AS. Inflasi di negara-negara lain pun meningkat seiring dengan inflasi di AS.[7] Akhirnya pengangguran dan inflasi melonjak dimana-mana, mengantarkan dunia pada fase ‘stagflasi’ global yang berlangsung hampir sepanjang tahun 1970-an. Pendapatan pajak anjlok dan tidak sebanding dengan pengeluaran sosial yang terus melonjak.

Kebijakan Keynesian tidak lagi berhasil. Bahkan sebelum Perang Arab-Israel dan embargo minyak OPEC pada tahun 1973, sistem nilai tukar tetap Bretton Woods yang didukung oleh cadangan emas telah berantakan. Pada akhir 1960-an, liberalisme tertanam yang telah menghasilkan tingkat pertumbuhan yang tinggi setidaknya di negara-negara kapitalis maju setelah tahun 1945 itu mulai runtuh dan tidak lagi berfungsi. Periode yang dikenal dengan ‘the great inflation’ dari 1965 hingga 1982 pun telah dimulai. Alternatif harus segera ditemukan, jika krisis ingin diatasi.

Salah satu alternatifnya adalah dengan memperkuat kontrol dan regulasi dalam perekonomian negara, yang mencakup, jika perlu, menghambat ambisi buruh dan gerakan kerakyatan melalui kebijakan pendapatan, kendali upah dan harga, serta langkah-langkah penghematan. Alternatif ini di kemukakan oleh partai-partai sosialis dan komunis di Eropa, khususnya negara yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan ‘Eurokomunisme’ seperti di Italia (dipimpin oleh Berlinguer) dan Spanyol (dipengaruhi oleh Carrillo), atau negara-negara Skandinavia yang memiliki tradisi negara kesejahteraan sosial demokrat yang kuat.

Dengan program-program ini, kelompok sayap kiri mampu memobilisasi kekuatan yang cukup besar hingga berhasil memperoleh kekuasaan di Portugal, Perancis, Spanyol, dan Inggris sambil tetap mempertahankan kendali di Skandinavia. Bahkan di AS, Kongres yang dikuasai Partai Demokrat pada awal tahun 1970-an meloloskan gelombang besar reformasi peraturan, yang mengatur segala hal mulai dari perlindungan konsumen hingga hak-hak sipil, keselamatan dan kesehatan kerja, dan perlindungan lingkungan. Selama proses ini, Presiden AS, Richard Nixon bahkan menyatakan bahwa “kita semua sekarang adalah penganut Keynesian”.[8]

Namun, kaum kiri gagal melangkah lebih jauh dari sekedar solusi sosial demokrat dan taktik korporatis konvensional yang telah terbukti tidak sesuai dengan tuntutan akumulasi kapital pada 1970an. Pada kenyataannya, “Eurokomunisme hanya sekedar alternatif untuk model Soviet yang sudah habis — namun tidak mampu menjawab pergolakan sosial besar yang terjadi di Barat.” [9]

Lalu bagaimana kondisi akumulasi kapital dapat dipulihkan? Mengapa neoliberalisme muncul sebagai pemenang setelah fase krisis ini? Sebenarnya tak ada yang memiliki jawaban pasti tentang kedua pertanyaan ini. Dunia kapitalis tersandung ke arah neoliberalisasi sebagai jalan keluarnya melalui serangkaian percobaan yang berputar-putar dan kacau yang benar-benar baru bertemu sebagai ortodoksi baru dengan artikulasi dari apa yang kemudian dikenal sebagai ‘Konsensus Washington’ pada tahun 1990-an.

Perkembangan neoliberalisme secara geografis yang tidak merata, penerapannya yang sering kali parsial dari satu negara ke negara lain, membuktikan tentatifnya solusi neoliberal dan cara-cara kompleks di mana kekuatan-kekuatan politik, formasi sosial, tradisi sejarah, dan tatanan institusional yang ada semuanya membentuk mengapa dan bagaimana proses neoliberalisasi benar-benar terjadi.

Kendati demikian, apa yang mesti di perhatikan secara khusus adalah bahwa kondisi krisis ini jelas-jelas mengancam posisi para elit ekonomi dan kelas penguasa. Bretton Woods yang mensyaratkan pemulihan pasca perang di hampir semua negara dengan membatasi kekuatan kelas atas, dan sebaliknya, memberikan kelas buruh bagian yang lebih besar dari kue ekonomi tampaknya mendatangkan masalah. Di AS, penguasaan kekayaan (bukan pendapatan) oleh 1 persen populasi teratas masih cukup stabil. Namun pada tahun 1970-an, hal ini merosot drastis (Gambar 1.1) seiring dengan jatuhnya nilai aset (saham, properti, tabungan). Kelas elit harus mengambil langkah tegas jika mereka ingin terhindar dari kehancuran politik dan ekonomi. Dari sini, tampaknya proses menuju neoliberalisme pun benar-benar terjadi.

Kudeta di Chili (dan beberapa negara pinggiran lainnya), yang dipromosikan oleh kelas elit dalam negeri dengan dukungan AS, memberikan satu jenis solusi menuju neoliberalisasi. Eksperimen Chili dengan neoliberalisme menunjukkan bahwa manfaat dari akumulasi modal yang dihidupkan kembali lebih menguntungkan ketimbang privatisasi yang dipaksakan. Negara tersebut dan para elit penguasanya, bersama dengan para investor asing, berhasil dengan sangat baik pada tahap-tahap awal. Tentu saja bahwa ketimpangan sosial merupakan konsekuensi logis dari proyek neoliberalisme. Sebaliknya, neoliberalisme sejak awal adalah sebuah proyek untuk mencapai pemulihan kekuasaan dan pendapatan kelas kapitalis.[10] Bahkan dalam beberapa kasus, neoliberalisasi juga berhasil membentuk ulang formasi kelas atas (seperti di Rusia dan China).

Setelah penerapan kebijakan neoliberal pada akhir 1970-an, porsi kekayaan 1% orang dengan pendapatan tertinggi di AS melonjak. Di Inggris, 1% penerima pendapatan teratas meningkat yang semula 6,5 % menjadi 13% sejak tahun 1982. Sebuah oligarki kecil dan kuat juga muncul di Rusia dan China setelah ‘shock therapy’ neoliberal diterapkan di sana pada tahun 1990-an. Sementara kesenjangan pendapatan antara seperlima penduduk dunia yang tinggal di negara-negara terkaya dan seperlima penduduk yang tinggal di negara-negara termiskin adalah 74 banding 1 pada tahun 1997, meningkat dari 60 banding 1 pada tahun 1990 dan 30 banding 1 pada tahun 1960.

Oleh karena itu, kita dapat mengartikan neoliberalisme sebagai fase baru dalam evolusi kapitalisme dengan segala dinamikanya untuk menemukan formula pasar dan perdagangan yang menguntungkan kelompok berpenghasilan tinggi, pemilik modal atau kelompok minoritas yang memiliki hak istimewa. Neoliberalisme tidak lain merupakan mekanisme kelas kapitalis untuk mempertahankan atau memulihkan kekuasaan dan kekuatan mereka. Dalam neoliberalisme, kelompok kelas atas kapitalis, yang didukung oleh lembaga keuangan, bertindak sebagai pemimpin dalam kelompok kelas atas yang lebih luas dalam menjalankan dominasi bersama. Demikian pula, Amerika Serikat bertindak sebagai pemimpin dalam kelompok negara-negara imperialis yang lebih luas.[11]

Neoliberalisme sendiri pada dasarnya adalah teori ekonomi politik yang mengusulkan agar kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan dengan cara memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pasar yang di cirikan oleh adanya hak milik pribadi yang kuat.

Neoliberalisme sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Namun kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk memiliki properti tanpa batas yang tidak boleh dilanggar atau diserang oleh siapapun (termasuk oleh negara). Kebebasan hanya alat untuk mengharuskan sistem melindungi proses-proses penumpukan kekayaan di segelintir orang. Karena bagaimanapun, kebebasan tanpa kesetaraan ekonomi adalah ironi, jika tidak bisa disebut OMONG KOSONG!

*Disadur dari David Harvey — “The Brief History of Neoliberalism”

***

[1] https://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2004/04/20040413-20.html

[2] Matthew Arnold is cited in R. Williams, Culture and Society, 1780–1850 (London: Chatto & Windus, 1958), 118.

[3] https://archive.globalpolicy.org/security/issues/iraq/after/2004/0120ambitions.htm

[4] R. Dahl and C. Lindblom, Politics, Economy and Welfare: Planning and Politico-Economic Systems Resolved into Basic Social Processes (New York: Harper, 1953), 16.

[5] Ibid, 54.

[6] https://www.federalreservehistory.org/essays/gold-convertibility-ends

[7] https://www.federalreservehistory.org/essays/bretton-woods-launched

[8] https://www.nytimes.com/1971/01/07/archives/nixon-reportedly-says-he-is-now-a-keynesian.html

[9] https://jacobin.com/2023/11/eurocommunism-communist-parties-gramsci-berlinguer-marchais-history

[10] G. Duménil and D. Lévy, ‘The Crisis of Neoliberalism’ (Massachusetts: Harvard University Press), 55.

[11] Ibid, 9.

--

--