Kenapa Kita Membenci Sesuatu yang Tidak Begitu Kita Kenali ?

Syafri Arifuddin Masser
3 min readMar 22, 2019

--

Catatan ke-5.

Pada tengah malam di sebuah kedai kopi. Saya bertemu dengan seorang teman lama. Di sela perbincangan kita yang biasa-biasa saja. Dia tiba-tiba berkata: “kukira kau punya banyak buku, bolehlah kupinjam satu”. Dia tahu, bahwa saya memiliki beberapa buku di rumah. Dia ternyata hendak meminjam. Awalnya, saya memang berniat meminjamkannya buku. Saya bukan tipe orang yang malas meminjamkan buku kepada orang lain kendati sudah berulang kali buku yang dipinjamkan berakhir dengan pengakusisian secara sepihak. Saya kecewa — tentu saja dan tenanglah — saya baik-baik saja.

Bagi saya, jika ada orang yang berkeinginan betul untuk membaca buku pasti akan mengembalikan buku yang dia pinjam sebab hanya para kolektor buku yang menyimpan buku bukan miliknya. Seperti halnya para pencuri buku di perpustakaan yang membuat kita kadang terheran-heran. Mereka berdalih bahwa buku tersebut adalah hak rakyat. Mereka barangkali selalu ingin meniru Chairil Anwar. Namun, alasan apa pun itu, yang baik dengan cara yang salah akan tetap salah. Rasanya alasan yang dilontarkan mereka kurang lebih sama seperti para pembajak buku yang memiliki ratusan alasan pembenaran. Kecuali para peminjam buku itu berwatak Robinhood, tapi rakyat siapa yang dibela?. Lantas saya langsung teringat sebuah gang di Irak yang memajang ribuan buku di sana. Orang irak bilang begini: “pencuri tidak akan membaca buku dan pembaca sudah pasti bukan pencuri.”

Niat saya mengurungkan diri. Setelah saya bilang bahwa saya hanya memiliki sekumpulan novel dan beberapa buku puisi, teman saya langsung menjawab. “saya tidak membaca buku anak kecil” saya ingin tertawa tetapi tawa itu berubah senyum kecil untuk menghargai lawan bicara. Barangkali teman saya ini, tempat mainnya yang kurang jauh dan jam tidurnya masih panjang. Atau barangkali, ya, dia memang tidak betul-betul ingin membaca atau mungkin saya yang terlalu berharap dia harus membaca apa yang saya baca.

Bulan dan tahun berganti. Selepas pernyataan itu. Pertanyaan ini muncul di dalam kepala saya. Kenapa kita mudah menghakimi sesuatu yang tidak kita kenali?

Cara pandang seperti teman saya itu bukan hanya fallacy of dramatic instance yang keliru tetapi kadang mempertunjukkan ketidakmampuan kita dalam memahami persoalan secara utuh. Parahnya lagi, kadang kita membenci sesuatu yang tidak kita tahu. Kita masih saja takut sama hantu komunis atau takut sama islam radikal yang dicap teroris, takut sama atheis serta ketakutan-ketakutan lainya yang berkelindan yang sengaja kita rawat di alam pikiran kita sendiri. Kita selalu phobia dengan banyak hal.

Yahudi, misalnya. Kita membenci Yahudi seolah Yahudi sudah salah sejak dalam kandungan dan ditakdirkan salah sepanjang hidupnya. Padahal, Yahudi sama dengan kita sebagai Bangsa Indonesia yang beragam. Entitas Yahudi tidaklah homogen. Yahudi adalah ras. Beda dengan zionis sebagai ideologi negara, beda lagi dengan pengikut Judaisme sebagai kepercayaan. Kalau kita membenci Yahudi karena dia pembantai. Ingat! tidak semua orang Yahudi adalah Zionis. Banyak yang menentang pencaplokan Israel kepada Palestina. Di antara tokoh Yahudi yang kita kenal menentangnya adalah Noam Chomsky dan Yuval Noah Harari. Jika memang kita sudah membenci Yahudi sama seperti para peminjam uang yang ketika ditagih seolah kita adalah penghutangnya. Perlu kita ingat, banyak sains dan teknologi buatan orang Yahudi yang berguna untuk orang banyak dan anda juga menggunakannya. Jika betul-betul kita teguh menolaknya, mulai hari ini silakan hapus akun facebook kita dan jangan gunakan perangkat microsoft lagi.

Kita dikonstruk untuk menjadi pembenci. Kita diarahkan untuk selalu saling berperang. Jika perang terjadi, tak ada kedamaian. Jika perang terjadi, industri penjualan senjata berlangsung lancar. Jika perang terjadi, masikah kita akan masih saling membenci? Kita dibuat menjadi antisemit, islamopohibia, antiimigran dan antikomunisme dan anti-anti lainya agar kebencian itu abadi. Pada puncak kebencian itu kita akan menolak seluruh hal yang bersumber darinya, baik kebaikan itu sendiri.

Jika kita masih membenci dan menakuti sesuatu yang tidak kita kenali, berarti kita adalah korban propaganda yang belum lekas tersadarkan. Noam chomsky sudah mengingatkan kita tentang itu. Dan kebiasaan cara bepikir ad homimen kita yang senang menghakimi sesuatu berdasar pada siapa yang bilang bukan pada apa yang dia katakan adalah pangkal dari ketidaktahuan yang pada akhirnya menciptakan kebencian yang tak berujung.

Kalau tak kenal maka tak sayang maka kalau tak kenal kenapa benci?

Mamuju, 2019

— Syafri Arifuddin Masser

--

--