Selebrasi yang Tidak Perlu Dilakukan
“Sinopsismu nanti dipakai Mas X, ya. Ternyata kalau perwakilan dua orang harus cowok cewek.” — kata seorang guru padaku, SD, konteks: lomba sinopsis entah tingkat apa.
“Kamu enggak jadi maju, ya. Nanti Mbak X yang gantiin.” — kata seorang guru padaku, kelas 7 (oke, lupa tepatnya tapi berdasar latar yang kuingat, itu ruang kelas 7), konteks: lomba pidato bahasa Jawa dari MAN tetangga sekolah.
“Mohon maaf, kami salah mengirim e-mail. Karya kamu belum bisa kami terbitkan.” — e-mail ralat dari sebuah penerbit padaku, kelas 10, konteks: hasil kurasi tulisan yang kukirim sejak kelas 9.
“Aturan lomba tahun ini ganti, kita enggak lolos.” — tidak ada yang benar-benar bilang begini padaku, sih, ini terjadi di kelas 10, konteks: lomba CC UUD NRI 1945.
Aku dan seorang teman mengikuti lomba karya tulis ilmiah dari satu universitas. Kami diumumkan menjadi juara 1. Tapi kesenangan itu berakhir keesokan harinya, saat aku mendapati chat dari panitia pada pukul 6.19 (kenapa sih aku selalu mengingat detail hal-hal yang menyakiti lebih dari hal-hal yang menyenangkan?), yang intinya, ada kekeliruan dan mereka (read: panitia ini) mau menelepon.
Kuiyakan. Lalu kubilang pada teman, “Waduh, jangan-jangan enggak jadi menang nih!” lengkap dengan ‘wkwkwk’.
Dan benar saja. Panitia salah kalkulasi nilai karena abcdefg (yang dijelaskan lebih detail lewat chat), dan minta maaf karena itu. Mereka bahkan menawari kami kompensasi. Tapi sungguh, aku tidak berselera makan uang dari sesuatu yang mengenaskan seperti ini — dan tentu saja demi harga diri, jadi, kutolak (padahal kalau ditanya butuh duit atau enggak, ya tentu saja butuh).
Isi room chatku dengan teman sejenak penuh dengan kekesalan, kemarahan, dan tentu saja berkelindan dengan (I am sorry but we couldn’t help it), umpatan. Sejenak saja, karena kemudian, I ask her, “Are you okay?”
We were not okay. Teman-teman kami tahu, kakak tingkat kami tahu, saudaraku tahu, bahkan dosen-dosen kami tahu. Bagaimana kami — atau paling tidak aku — akan menghadapi mereka di kampus? Daripada rasa marah karena enggak jadi menang, aku lebih merasakan malu yang enggak tertahankan. Harga diriku terasa di ujung tebing dan kapan saja bisa meluncur jatuh dan menghilang. Pikiran-pikiran, “seharusnya enggak usah bikin video selebrasi, enggak usah kasih kabar teman, enggak usah kasih kabar saudara, dosen, siapapun. Cukup keep sendiri,” muncul terus menerus. “Seharusnya enggak perlu ada selebrasi.”
Aku sadar bahwa aku sangat perlu belajar tentang bidang ini (di samping baru di semester ini mendapat mata kuliah penelitian), jadi kalau dari awal kalah, I am totally okay. Enggak apa-apa kalah, dari awal juga sudah pesimis bakal menang. I am still proud I did this, aku bangga mau ikut lomba ketika kuliah saja sudah bikin ketar-ketir karena sangat padat. Tapi karena awalnya diberitakan bahwa kami menang kemudian dikabarkan kalau mereka salah konversi nilai (okay, whatever), damn, it hurts.
Kepercayaan diriku jatuh nyungsep sampai level minus (it sounds too much, tapi sumpah aku sempat enggak pengin ke kampus gara-gara ini dan menghindari ketemu banyak orang). Apalagi, dalam mata kuliah penelitian semester ini, aku bilang ke dosen pengampu kalau, “saya sebetulnya enggak pede mau ngerjain ini.” ‘Kemenangan’ kami awalnya adalah booster untuk tingkat kepedeanku yang enggak bagus, karena, “Oh, you are not that bad. Kamu bisa kok.” Ketika ternyata kami enggak jadi menang, muncul deh pemikiran, “Kamu enggak bisa.”
Dari “kamu bisa kok,” berubah jadi “kamu enggak bisa,” menekan mentalku. Dalam template surat pernyataan orisinalitas karya, memang disebutkan bahwa ‘kami siap dicabut penghargaannya jika ditemukan kesalahan informasi’, tapi ya mana pernah kepikiran kalau kesalahan informasi itu datangnya dari panitia? “Panitia ceroboh banget. Kalau emang kurang waktu ya mending diundur, enggak usah maksa. Mereka sadar enggak sih merusak mental orang?”
Sekali lagi, “merusak” tampaknya berlebihan, tapi saat itu, itulah yang kami rasakan. Aku sangat malu. Aku merasa tidak punya kapabilitas di jurusan yang kupilih, merasa tidak mampu mengerjakan proyek penelitian semester ini, merasa bahwa I was not good enough.
Apakah ini hanya rasa tidak berharga dan persoalan malu bertemu dosen dan orang-orang di kampus? Sayangnya, tidak. Untuk aku pribadi, masalah berikutnya adalah respons orang-orang terdekat.
Some of my friends felt sorry for what happened, tapi kemudian muncul pikiran bahwa mungkin ada teman yang tidak demikian (saat menulis ini, aku pikir aku cukup jahat). Rasa insecure tumbuh dengan cepat. Perasaan yang aku sadar enggak penting muncul dan mau enggak mau, meski enggak suka dan menyanggah, itu menggangguku.
Apalagi, aku mendengar hal yang tidak kuharapkan akan keluar dari seseorang yang kupikir seharusnya mendukungku. It drove me crazy.
Kabar baik yang ternyata keliru ini bukan yang pertama kali kualami. Tapi rasa sakitnya sama — atau bahkan berkali-kali lipat karena banyak orang tahu. Harga diriku terluka.
Aku keluar dari grup lomba tanpa pamit — meski mungkin akan terlihat tidak sportif, tapi rasanya aku sulit mengendalikan pikiran-pikiran jelek di kepalaku jika tidak melakukannya (yang kemudian dimasukkan lagi oleh panitia dengan ‘tim X sudah menerima [kalau kami enggak jadi menang]’, tapi aku tetap keluar lagi). Demi kewarasan.
Ketika aku tidak jadi ikut lomba sinopsis masa SD, aku jadi tidak menyukai guruku. Ketika aku tidak jadi ikut lomba sinopsis masa SMP, aku jadi tidak menyukai guruku. Ketika SMA terjadi lagi hal yang mirip, aku sudah chill dalam menghadapi, meski tetap kecewa. Sekarang, agak terlalu dramatis, tapi nama universitas itu bikin semacam alergi (silakan tertawa keras-keras).
Sampai hari aku menulis ini, aku masih kecewa dan masih kesal, tapi sudah jauh lebih baik. Support yang kami dapatkan sangat banyak dan sungguh heartwarming. Menyingkirkan komentar tidak perlu butuh waktu, tapi enggak apa-apa.
Mengembalikan kepercayaan diri dan rasa berharga juga butuh waktu, dan sepertinya prosesnya akan panjang. Ya, itu juga enggak apa-apa. I still can learn, meskipun dengan cara yang menyakitkan (mau nambahin ‘sangat’ tapi terdengar terlalu dramatis).
Karena seperti yang kubilang di tulisan sebelumnya, sometimes we should be brave to have something, sometimes we should be brave to let something go. Kami bahkan memang tidak menang dari awal, seharusnya melepaskannya menjadi sangat mudah, kan?
Special notes for Soraya, you did good! I am proud of you! Terima kasih sudah mau diajak ribet, lain kesempatan kita coba lagi, dan bekerja lebih keras lagi.