Menilik Misi dalam Macet Ibu Kota

Theresia Gabriella
3 min readMay 29, 2022

--

kebayang gak pegelnya kaki, panasnya punggung udah kayak apa? T_T

Kalau boleh jujur, agak sulit rasanya mengasosiasikan diri saya dengan kata sabar. Dibuktikan dengan gerutu-gerutu pendek yang selalu terucap saat tengah membelah padatnya lalu lintas ibu kota. Maka, most of the time, saya lebih suka mempersilakan kawan-kawan lain untuk duduk di balik kemudi. Selain karena memang mereka lebih meyakinkan ketimbang saya yang beresiko tinggi mengundang bala, duduk di bangku penumpang mengizinkan saya untuk menikmati banyak hal, seperti: memegang otoritas atas daftar lagu yang diputar, terbebas dari kram kaki, dan satu hal yang menjadi kesenangan tersendiri; saya dapat lebih tenang mengamati bisingnya kendaraan berlomba ada di barisan paling depan.

Sore itu, saya dan seorang kawan kembali dari bilangan Kemang, bertepatan dengan jam pulang kerja. Seakan diberi aba-aba, semua kompak tumpah ruah di jalan. Ramainya jalan ibu kota resmi disambut dengan celetukan yang saya utarakan pada teman saya, “Untung bukan gue yang nyetir.” Karena tidak ada lagi yang dapat kami lakukan, maka kami berpasrah dan memilih untuk menikmati pemandangan hiruk pikuk lalu lintas di bilangan Selatan Jakarta ini.

Ada salah satu cara yang kami pilih untuk menyiasati jenuhnya terjebak di tengah padat lalu lintas, dengan melakukan satu permainan — yang entah apa namanya. Cara bermainnya mudah, dengan membuat skenario palsu yang kami anggap paling masuk akal bagi pengemudi lain yang juga terjebak pada padatnya jalanan.

Begini contohnya, “Menurut lo, orang yang itu mau ke mana?” “Pasti baru pulang kerja, mau ke rumah. Kantornya pasti di sana tuh, lo tau kan?” jawab kawan saya, seraya menjelaskan lokasi deretan kantor beken ibu kota incaran para mahasiswa. “Coba kalo yang itu, Ca. Kira-kira ke mana?” ujarnya sambil memusatkan pandang pada satu pengendara sepeda motor. “Mau ke daerah Cipete, kayaknya? Friday night, kan. Ngumpul sama temen-temennya.” Lalu kemudian disusul gelak tawa tiap kami usai membuat skenario palsu tersebut, yang entah apa faedahnya.

Selekas puas tertawa hingga agak kehabisan tenaga, biasanya kami memilih diam menikmati tembang apapun yang mengalun dari pemutar audio mobil sambil sesekali turut bersenandung kecil. Hening yang sengaja kami ciptakan ini didukung riuh rendah klakson yang bersahutan di luar, memberi celah saya untuk mengamati lebih lekat pekaknya jalanan saat itu. Membantu saya untuk memahami bahwa, permainan konyol yang saya dan kawan saya ciptakan beberapa waktu sebelumnya, ada benarnya. Benar, bahwa masing-masing dari kita mengemban peran dan misi yang berbeda-beda untuk diselesaikan tiap harinya.

Menjelang matahari tenggelam, ada yang misinya tiba di rumah dengan selamat sentosa, ada yang misinya bertemu dengan kawan dan teman, ada yang misinya menikmati waktu pribadi, bahkan ada juga yang misinya lanjut mengais rezeki.

Tiap hari berganti kita diembankan misi yang beragam. Misinya tidak selalu harus besar, bisa juga yang sederhana.

Ada satu unggahan di sosial media yang membekas sekali di ingatan saya, kira-kira begini isinya, “Dari sekian banyak kejadian setiap hari, setidaknya kita pasti sudah pernah melewati satu kejadian nyaris mati. The fact that we’re still here and alive today means there’s an unfinished mission of yours.”

Mungkin memang demikian kita diciptakan, sepaket dengan misi dan mandat yang ditempatkan pada bahu kiri-kanan. Perlu diingat, misi dan mandat yang berbeda turut sejalan dengan garis waktu yang berbeda-beda pula. Entah siapa yang pertama mulai menjadikan semua-mua bagai kompetisi; yang pertama sampai, dia yang paling piawai. Padahal tiap kita mengemban misi yang jelas-jelas beda, masa masih mau dipukul rata dengan tolok ukur lini masa?

Mungkin memang demikian kita dijadikan, sepaket dengan misi dan harapan yang diletakkan di pundak kita — meski sering kebingungan memikulnya.

Well, life is a series of quests, whether important or mundane. What we might able to do is accepting that some quests cannot be ignored and some battles must be fought.

--

--

Theresia Gabriella

21, story-teller, and currently doing a serious research to find a good contender for indomie goreng rendang. well, hi!