habib dan media sosial
Gue mulai daftar media sosial saat gue kelas 3 SD. Gue baru disunat dan uang beserta amplop dari kerabat itu dipakai nyokap gue buat beli laptop dan modem internet. Selain biar kakak gue nggak sering main ke warnet, ini supaya gue juga nggak gaptek banget tentang komputer.
Singkat cerita, kala itu lagi heboh-hebohnya setiap orang pergi ke warnet untuk daftar akun Facebook. Akhirnya gue dibuatkan akun Facebook deh sama sepupu gue.
Gue main Facebook dari kelas 3 SD sampai kelas 6 SD, di mana internet (terutama Facebook) makin gampang diakses di handphone (tentu dengan fitur alakadarnya dibandingkan dengan versi desktop). Gue ketemu banyak teman online yang satu hobi dan minat. Saat itu minat gue adalah boyband dan girlband dari Korea Selaran.
Facebook mulai meredup, gue pun daftar akun baru di Twitter dan Instagram. Setiap akun yang ada pun punya keunikannya sendiri.
Internet makin lumrah di kalangan remaja, hingga 2021 ini, menurut gue, Twitter dan Instagram menjadi beberapa media sosial yang wajib dimiliki buat orang-orang yang ada di usia sebaya gue.
Tiktok pun menjadi media sosial paling populer yang ada sekarang. Tapi, gue cuma daftar aja dan nggak aktif di Tiktok, gue nggak suka algoritma dan keseluruhan fiturnya.
Untuk sekarang, gue hanya aktif di Twitter dan Instagram.
media sosial dan candu
Sudah banyak yang berpendapat dan bersuara bahwa kecanduan akan media sosial adalah nyata adanya dan dapat berpengaruh pada kesehatan mental. Tentunya hal yang bikin kecanduan cenderung berpengaruh negatif, ya.
Social media seriously harms your mental health
Sebenarnya, gue nggak termasuk dalam orang yang bisa disebut kecanduan media sosial, sih. Tapi, gue punya kebiasaan jelek yang gue suka lakukan secara nggak sadar, yaitu gue suka membandingkan hidup gue dengan hidup orang lain yang gue lihat di media sosial.
Gue orang yang cukup tertutup dan cenderung suka ‘main aman’ dalam hidupnya. Gue sering iri hati secara nggak langsung ketika gue melihat orang-orang di layar persegi gue yang gue rasa hidupnya penuh warna, ketika hidup gue warnanya ya itu-itu aja.
Tentunya semua orang punya hak untuk mengunggah hal-hal yang bikin mereka senang. Mereka mau pamer kekayaan, pamer pasangan, pencapaian, pamer sahabat, dan hal lainnya pun tentu bukan hal yang melanggar aturan.
Siapa gue ya, buat ngatur apa yang orang mau unggah di akunnya sendiri. Kalau nggak suka, ya nggak usah dilihat, dong!
Lucunya, ketika gue lagi nulis ini, gue buka akun Twitter dan ada tweet dari Kak Naajmi yang kurang lebih mengutarakan hal yang sama. What a coincidence, eh?
Lama kelamaan, hal tersebut bikin gue nggak nyaman untuk terus-terusan main media sosial. Iri hati itu dosa dan bikin sakit hati. Akhirnya, gue memutuskan untuk rehat sejenak dari media sosial.
rehat
Ini bukan pertama kalinya gue mengambil rehat dalam menggunakan media sosial (terutama Instagram). Sejak 2019, gue udah beberapa kali rehat dengan jangka waktu yang berbeda-beda. Mulai dari satu minggu hingga rekor terlama gue adalah empat bulan.
Gue sadar kalau gue nggak bisa atur orang untuk mengunggah apa yang mau gue lihat saja. Ya seperti ungkapan gue di atas, lu siapanya mereka yang berhak ngatur-ngatur? Jadi, gue memutuskan untuk rehat aja daripada gue berantem dan malah bikin hati makin dongkol.
Ternyata, Instagram punya fitur di mana gue bisa ‘hilang sejenak’ dari peradaban Instagram sampai jangka waktu yang dapat gue tentukan sendiri. Akun gue akan disembunyikan oleh mereka dan dapat dikembalikan lagi seperti semula cukup dengan login kembali. Cukup mudah, ya? Gue pun baru tahu fitur ini dari rekan gue, Shadrina, yang lebih dulu menggunakan fitur ini sebelum gue di tahun 2019.
Rehat terakhir gue itu dimulai bulan Januari 2020 sampai pertengahan bulan Maret 2020. Semenjak dari situ, gue nggak ambil rehat lagi. Alasannya, karena gue pikir dengan adanya pandemi di awal tahun itu gue bakal kesepian di rumah aja dan berujung gue nggak pernah ambil rehat lagi sampai bulan Desember 2021.
Yap, gue sadar semakin ke sini, gue makin sering bandingin hidup gue sama orang lain. Gue tahu, sebenarnya tiap orang yang gue lihat itu juga punya masalah pribadi yang nggak mereka unggah di akun mereka. Tapi, pemikiran jelek gue bilang
Kok senengnya kalian itu bisa lebih banyak sih dari senengnya gue?
Daripada gue makin kacau, gue akhirnya ingat kalau ada fitur deactivate account dari Instagram yang bisa gue pakai lagi.
bagian akhir
Gue nggak tahu kapan gue bakal kembali lagi ke Instagram. Bisa jadi besok lusa atau malah gue nggak akan balik lagi, gue pun jujur masih belum tahu. Gue sekarang lagi mikir keras lagi gimana caranya gue bisa kembali dengan rasa nyaman. Semoga gue bisa nemu caranya, ya. Gue juga masih mau interaksi dengan yang lain tanpa harus ada rasa nggak enak di hati.
Dari sini pun gue belajar kalau nggak semuanya beban yang kita punya itu salahnya orang lain. Memang harusnya kita yang belajar untuk kontrol diri sendiri dan tahu apa-apa aja yang harus dilakukan supaya hidup kita nyaman meskipun masalah mah ya tetap bakal ada, sih.
Yhaaa namanya juga hidup, kak. Nggak ada masalah pun kita suka kan cari-cari masalah sendiri~
Sekian dulu cuap-cuap nirfaedah dari gue. Sampai jumpa di artikel omong kosong selanjutnya 😗