Bungkus Tusuk Gigi pun Tak Bebas Nilai

teaterpedia.com
3 min readApr 14, 2020

--

Oleh: Selira Dian

Tak seperti minggu malam yang biasanya terlihat sepi karena esok hari hampir semua orang kembali sibuk beraktivitas. Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki malah terlihat ramai, orang-orang rela mengantre, bahkan waiting list duduk di pelataran gedung. Si Saksi Mata Tanpa Mata, Seno Gumira Ajidarma menjadi dalang dari keramaian ini.

Pidato kebudayaan mungkin terdengar asing bagi sebagian orang yang lebih akrab melihat pementasan sebagai peristiwa seni. Tapi sebagian orang lainnya menganggap pidato kebudayaan juga sebagai peristiwa seni, lebih dari itu, dialektika reflektif tuk membaca fenomena kontemporer Indonesia.

Sebelum masuk ke menu utama, ada penampilan nyeleneh dari Arham Aryadi feat Google translate dan koreografer Irfan Setiawan yang menafsir kegelisahan manusia ibukota melalui gerak, dan tata cahaya yang ciamik. Setelahnya, sosok yang khas mengenakan kacamata di tengah batang hidung itu memasuki panggung, penonton mulai riuh.

Manusia hidup di antara jutaan makna baik implisit maupun eksplisit terselip dan tercecer di berbagai aspek kehidupan, namun bisa juga terwakili benda di sekitar. Bungkus tusuk gigi, misalnya. Seperti manusia, bungkus tusuk gigi juga terus berevolusi, dari sekadar memenuhi kebutuhan fungsional, melindungi tusuk gigi dari debu, hingga menjadi simbol komoditas para kapital. Itu baru bicara bungkus tusuk gigi, bagaimana dengan benda lainnya?

Melalui pidato Kebudayaan dalam Bungkus Tusuk Gigi, jurnalis cum sastrawan ini mengajak kita melihat sekitar lebih intuitif.

Menjaga Suara Jernih Cikini

Taman Ismail Marzuki, menyaksikan ratusan peristiwa seni di Cikini, Jakarta Pusat. Dahulu kebun binatang, kini pusat kebudayaan. “Seniman memang cocok tinggal di kebun binatang,” seloroh Hikmat Darmawan, ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta.

Dalam setengah abad lebih perjalanannya, para seniman mengaku, Cikini adalah wilayah yang independen dari segala kepentingan politik. Narasi yang para seniman bawakan di atas lahan seluas 72000 M2 ini adalah suara jernih, berasal dari kegelisahan murni. Mereka yakin, di tengah hiruk pikuk wacana cemar, TIM tetap jernih dengan para seniman sebagai gatekeeper.

Mereka sepakat, sifat seni yang lentur mampu menembus berbagai aspek kehidupan. Dengan fakta itu, seni bukan hanya sebatas medium rekreatif namun juga mampu menawarkan alternatif berpikir bagi masyarakat.

Semua Hal Tak Bebas Nilai

Seno Gumira sadar betul seni adalah bagian dari masyarakat. Karenanya, pria berambut putih itu tak menggunakan metafor rumit untuk menjelaskan gagasan utamanya. Bungkus tusuk gigi, seperti benda kecil lainnya acap dianggap remeh, tak mengandung unsur ideologis.

Meminjam mitologi-mitologi dunia, dan fable, Seno menyentil dengan tangkas bagaimana kebudayaan lahir dari rahim bahasa dan pertarungan ideologi, pergulatan antar wacana dalam perjalanan manusia.

Didukung dengan latar visual, imaji penonton hanyut. Sastrawan yang juga pembelajar filsafat ini berhasil mengajak penonton menoleh kebudayaan pra-Indonesia melalui Honocoroko, perjalanan bungkus wingko babat yang berevolusi dan tak lagi menuhankan kecepatan kereta, hingga menyentil konflik Pulau Komodo, dan bagaimana masyarakat kita ahistoris terhadap sejarah kaumnya sendiri.

Sebenarnya pidato kebudayaan yang dibawakan Seno tak ubahnya presentasi dosen di kelas. Tapi karena Seno membawakannya dengan asyik, bahkan pidatonya berjalan seperti sebuah pentas monolog. Penonton pulang membawa ingatan manis di kepala, semanis wingko babat.

--

--