Bisnis Harapan

Teo Wijayarto
3 min readApr 9, 2018

--

Photo by Jon Tyson on Unsplash

Seringkali kita dijanjikan oleh hal-hal yang bisa dibilang overrated. Perilaku generasi sekarang baik itu milenial dan Z lebih berfokus kepada impact yang bisa diberikan. Kita hidup di era dimana User Experience menjadi anestasi akan permasalahan kehidupan seperti layaknya senyuman dokter yang menyembuhkan bukan obat. Sebuah Placebo effect tapi nyatanya efektif.

Alih-alih menilai produk berdasarkan kualitas kita sering menambahkan value social impact ke dalam perhitungan harga. Sebut saja kedai kopi kapitalis yang terkenal di tanah air ini, air mineral dengan volume yang sama dan kandungan mineral yang tidak jauh berbeda bisa berharga 2 kali lipat karena ditambahkan label akan “menyumbangkan kepada mereka yang kekurangan air di suatu daerah”.

Di satu sisi ini merupakan sinyal baik, bahwa kita umat manusia mau membantu sesama kita pada setiap kesempatan. Hanya satu yang menjadi pertanyaan.

“Kenapa kamu tidak menyumbangkan kepada NGO langsung?”

Kita hanya ingin merasa berarti dan memuaskan ego sendiri. Bahwa apa yang kita beli membantu orang lain. Kita lupa akan sebuah fundamental penting, bahwa menyumbang langsung lebih baik dibandingkan memperkaya dan memperkuat brand para kapitalis. Hal ini sama seperti kita berpuasa, esensinya adalah bersolidaritas kepada mereka yang kurang mampu. Alih-alih bersolidaritas justru momen kemenangan seringkali dijadikan momen ke-pamer-an. Secara fundamental sudah salah, setidaknya begitu puasa di agama katolik.

Tentu saja tidak salah menanamkan social value kepada produk. Kalau bisa setali tiga uang kenapa tidak? Prinsipnya sama dengan filantropi, mereka yang menjadi kapitalis hingga pada satu titik memutuskan untuk melakukan pembangunan berkelanjutan seperti Rockefeller dan Gates Foundation. Tidak salah, karena agenda tersebut menjadi sebuah identitas perusahaan. Tidak ada perusahaan yang melakukan agenda sosial yang tidak sesuai dengan line of business mereka. Tapi balik lagi, semakin ke depan yang dijual merupakan sebuah value abstrak, saya sendiri menyebut itu harapan.

Kita beralih ke contoh kasus lainnya. Toni adalah fresh graduate kampus gajah. Tony merupakan orang dari kalangan bercukupan, dalam artian kalau membeli mobil cukup, kalau mau beli rumah juga cukup, tapi tetap hemat dan rasional. Dia sudah bosan dengan gemerlap harta dia lebih memilih untuk bekerja di perusahaan dengan visi dan mulia walaupun gajinya UMR naik dikit.

Kemewahan pilihan tersebut adalah hak Toni. Toni yang secara finansial stabil dan satu-satunya tanggungannya adalah dirinya sendiri, wajar memilih untuk berkelana mencari sesuatu selain uang dalam bekerja. Mungkin keadaan berbeda dengan Siska. Siska merupakan anak desa yang beruntung selama hidupnya sehingga dapat guru yang memotivasi, teman yang mendukung, orang tua yang supportif terhadap pendidikan dan kesempatan untuk belajar. Pada satu titik dia sampai di kampus gajah. Sebagai kalangan menengah kebawah di negara dunia ketiga, Siska terjebak dalam sandwich generation pada saat dia lulus. Mau tidak mau uang merupakan incarannya dalam kata lain harapan Siska.

Entah itu uang, atau sekadar visi pribadi, tidak ada yang salah dalam memilih jalan hidup. Ekspektasi entah dari kita, entah dari lingkungan lah yang membentuk kita. Ekspektasi itulah yang disebut harapan. Dan iya harapan itu merupakan bisnis yang menguntungkan.

Jangan salahkan mereka yang keluar dari perusahaan anda kalau mereka ternyata menganggap bahwa harapan yang kalian berikan di awal itu palsu belaka. Untuk berharap adalah hak setiap orang.

Tapi bagi saya bisnis harapan tidak begitu menarik. Saya mungkin kalau boleh jujur saya hanya mengharapkan bahwa saya bisa belajar hal baru setiap harinya dan bisa menghidupi diri saya. Setidaknya untuk daily needs + Hiburan.

Apakah saya memiliki harapan tersendiri? Ya ada. Tapi sayang itu dijual dan tidak akan pernah dijual. Harapan itu merupakan harapan pribadi yang tidak akan saya biarkan orang lain mendefinisikannya untuk saya. Saya ingin orang lain tau harapan saya? Mungkin. Tapi tidak semuanya. Karena kembali lagi, harapan saya tidak untuk dibisniskan :D.

--

--

Teo Wijayarto

Continuous learner. Undergraduate Student at Institut Teknologi Bandung.