Dari Asep Cobra Saya Belajar

The Prefix
4 min readSep 9, 2022

--

Ilustrasi untuk Asep Cobra

Asep Cobra terus menari. Ia tak peduli, mungkin tak ada kata ‘gila’ dalam kamus hidupnya.

Pada 17 Juli 2022 kemarin, saya dan pacar saya pergi dengan mobil pinjaman ke Bandung untuk menonton konser Melancholic Bitch pada gelaran konser Limunas XVII di IFI. Di konser itu Ugo berkata, “Belakangan ini masa ganjil, maka terus menarilah, menyanyilah, bahkan di tengah-tengah segala sibuk”. Pandemi memang sial. Pasalnya, menggerakkan tubuh kita ke musik ada di seluruh dunia di sepanjang sejarah manusia. Sedang berada di kerumunan di masa pandemi sebenarnya cukup sembrono. Tapi menari, menyanyi — adalah perekat vital yang menjaga masyarakat agar tak pecah meskipun ada perbedaan antarpribadi.

“And those who were seen dancing were thought to be insane by those who could not hear the music,” tulis Friedrich Nietzsche.

Kutipan itu sangat populer sehingga aktris dan supermodel Megan Fox memutuskan untuk merajah kalimat tersebut di punggung kanannya. Kalimat itu mengingatkan saya akan sosok Asep Cobra dari Rancaekek. Jika Nietzsche menulis kalimatnya, dan Fox merajahnya — Asep Cobra benar-benar mengidupinya bahkan tanpa pernah tau siapa itu Nietzsche. Di tengah segala sibuknya bekerja sebagai kernet mobil box distribusi untuk pabrik kerupuk, jurusan Bandung ke kota-kota sepanjang Tasik, Jakarta, hingga Banten. Dengan waktu kerja yang tak tentu, berangkat pukul dua dini hari dan pulang entah kapan, sebelum, di tengah, dan setelah pandemi — Asep Cobra, terus menari. Ia tak peduli, mungkin tak ada kata ‘gila’ dalam kamus hidupnya.

Mengutip tulisan oleh Abyan Zaki, dalam Spektakel.id (25/10/2020), sebelumnya, Asep “sekadar penonton yang all-out ketika berjoget, ia kini adalah salah satu ikon hajatan dangdut di Jawa Barat. Maka di pentas-pentas dangdut Majalaya hingga Bandung, dan sekitaran rumahnya di Rancaekek, Asep Cobra adalah seorang rockstar”. Asep Cobra dan Goyang Gibrig-nya adalah bukti konsistensi dapat melampaui ketenaran 15 detik yang dijamin oleh momen viral dalam hajat dunia maya. Di laman Facebook-nya Asep punya sekitar 2000 lebih pengikut setia, di Youtube pribadinya pun sama. Tiktok jadi tempat paling ramah untuk Goyang Gibrig sebanyak 23 ribu lebih pengikut. Sedang di Instagram kini ada 1.180 pengikut dan 1 diantaranya adalah saya. Asep Cobra adalah 1 diantara 100 orang pertama yang saya ikuti di Instagram sejak 2019.

Asep Cobra — Duet Maut dengan Pak Lurah

Gibrig adalah Bahasa Sunda yang berarti gigil (orang sakit) atau menggigil. Dalam teknik tari Jaipongan, Gibrig adalah gerakan menurunkan bahu ke bawah dan kembali ke semula secara bergantian. Namun di Jawa Barat juga terkenal budaya bermain layangan besar yang dinamakan Layangan Gibrig. Dari semua pencarian arti kata Gibrig, saya menyimpulkan bahwa dangdut dan musik adalah angin, sementara Asep dan Goyang Gibrignya adalah layangan — bergerak ke sana-sini, dan tidak jarang seperti hilang kendali atau singit. Keduanya tak terpisahkan. Melihat Asep bergoyang Gibrig di panggung langsung mengingatkan saya dengan Iggy Pop. Aksi teatrikalnya berisiko mengharuskan penonton untuk merespons, berpartisipasi, atau keluar dari sana. Tapi Asep menari tanpa segala macam substansi, Ia hanya memerlukan musik dengan ritme super cepat, niscaya pesta akan terasa meriah dengan kehadirannya.

Asep Cobra — Joget Paling Dahsyat

Sosiolog Prancis, Mile Durkheim (1858–1917) berteori tentang ‘collective effervescene’ — adalah saat di mana orang-orang berkumpul dalam beberapa bentuk aktivitas yang menyatukan dan merangsang kegembiraan — sebagai akar dari apa yang menyatukan kelompok-kelompok. Bronwyn Tarr, seorang ahli evolusioner biologi dan psikolog di Universitas Oxford yang juga seorang penari, telah menguji gagasan Durkheim lebih lanjut. Dr. Tarr menemukan bahwa manusia punya kecenderungan alami untuk menyelaraskan gerakan kita dengan manusia lain. Manusia punya kapasitas unik untuk memperhatikan, menciptakan, dan mengingat pola gerakan. ‘Neuron cermin’ menyala ketika kita memperhatikan gerakan, lalu menciptakan kembali pola koordinasi neuromuskular yang diperlukan untuk membuat gerakan itu. Meski Durkheim dan Tarr berkata demikian, Asep berani mengklaim tidak ada yang mampu meniru Goyang Gibrig miliknya. Walau begitu, anak-anak di sekitar rumahnya di permukiman antara toang-toang Rancaekek tidak pernah patah semangat untuk berguru padanya. Alasannya sederhana, mereka ingin viral seperti Asep.

Dalam buku The Tell-Tale Brain (2011) oleh ahli saraf V.S. Ramachandran mengatakan;

Neuron cermin tampaknya menjadi kunci evolusi untuk pencapaian budaya penuh dengan memungkinkan manusia untuk mengadopsi sudut pandang satu sama lain dan berempati satu sama lain.

Dalam hal ini, tari menjadi seni yang vital. Manusia menari — sudah mengalir di dalam DNA, jauh sebelum seorang anak manusia bisa berjalan, berbicara, atau menganggap dirinya sebagai ‘Aku’. Entah sebuah respons gembira atas lagu atau tingkah orangtuanya. Hal paling mendasar dalam menjadi manusia adalah menari. Tidak peduli apa kondisinya, IMHO alias In My Hemat Opinion — “we find a way to bust a move”.

Ketika kita mengamati gerakan orang lain, ini mengaktifkan suatu wilayah di otak yang membantu kita menciptakan atau meniru gerakan tersebut. Ketika gerakan itu dilakukan, jaringan saraf membuka aliran neurohormon yang membuat kita merasa baik. Bahkan tanpa menari, musik dapat membuat tubuh kita terhanyut dengan kimia baik; endorfin, dopamin, serotonin, dan oksitosin. Wajar, sembari mengutip kembali tulisan Abyan Zaki, “Kalau enggak joget sehari badan bisa meriang,” begitu kata Asep. Maka ketika di awal masa pandemi misalnya, kala pentas-pentas dangdut menjadi langka, Ia tetap bersikukuh menyetel musik dangdut untuk terus melatih Goyang Gibrig. Jika begitu, 2 poin Ugo pada konser Limunas adalah keniscayaan. Menarilah, menyanyilah, bahkan di tengah-tengah musim pagebluk!

--

--