TNI Adalah Slank, Kita Bukan
“How to lose fans but gain allies in high places,” komentar seseorang pada fitur quote tweet atas unggahan akun resmi Slank, 5 Oktober 2022 lalu. “Selamat memperingati Hari Ulang Tahun ke-77 TNI. TNI Adalah Kita” cuitan itu disertai foto 5 personil Slank mengenakan atribut loreng tentara, lengkap dengan baret ungu. Bim-Bim (drum) memberi sentuhan scarf merah putih di leher. Kaka (vokal) melengkapi penampilannya dengan buff hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Sementara Ivanka (bass) mengenakan kemeja dengan patch marinir serta namanya di dada bagian kanan. Fitur komentar pada cuitan itu sengaja dimatikan, tim medsos Slank tau risiko yang mungkin terjadi, tapi mungkin lupa kalau fitur quote tweet (retweet yang ditambahkan komentar) tetap aksesibel. Pilihan untuk mengunggah cuitan tersebut di twitter sungguh ironis. Pasalnya kejadian itu hanya berselang 4 hari dari peristiwa memilukan di Kanjuruhan, dimana kita menyaksikan tentara melayangkan tendangan ke punggung supporter, menginjak, dan menganiaya.
Band istana, band plat merah, band pemerintah, band cebong, band BU (butuh uang), band BUMN, atau, Sl(a)nk, A nya army, hanyalah sedikit cibiran dari kekecewaan netizen atas cuitan dan pilihan Slank. Yang paling lucu diantara banyak komentar itu adalah teori kalau Slank sekarang sebenarnya adalah cyborg. Semua bisa diprogram sesuai pesanan pemerintah. Teori itu diperkuat dengan cocoklogi ngawur atas logo kupu-kupu Slank yang berubah menjadi robot hibrida dengan mata kamera CCTV pada album “Slanking Forever” (2019). Ada pula yang menngutip kalimat milik Harvey Dent tokoh fiktif dalam cerita Batman. “Either die a hero, or live long enough to see yourself become villain”.
Tahun 2022 bukan jadi yang pertama bagi Slank mengenakan atribut tentara, dikawal, atau ikut memeriahkan acara Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pada gelaran Slankers Day di tahun 2008, Slank dikawal 750 tentara. Pada tahun 2014 Slank menyambangi markas besar TNI Angkatan Darat pada konser Satu Hati TNI untuk Rakyat di Surabaya. Masih di tahun yang sama Slank menutup tahun 2014 dalam konser tahun baru Prajurit Bersama Rakyat di Lapangan Bhirawa Yudha Kopassus, Surakarta. Pada tahun 2016, Slank minus Abdee (gitar) lengkap dengan atribut tentara naik mobil perang TNI diiringi prajurit Kodam II Sriwijaya dalam konser HUT Kodam II Sriwijaya ke-70, di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Hari itu, Slank juga mengajak beberapa anggota tentara wanita untuk berkolaborasi di lagu Pandangan Pertama.
Banyak orang merindukan Slank di zaman gelap mereka. Mengatakan bahwa kompak sembuh dari jerat narkotika adalah pintu gerbang dan alasan perubahan sikap kritis dan pandangan politik mereka. Dulu ketika mereka masih ceking, nyimeng, dan ‘ngemeng’ pelo karena basian beragam jenis zat narkotik — mereka masih lantang menantang penguasa untuk turun ke jalan dalam ‘Hey…Bung’ (Generasi Biru — 1994). Kala adiksi narkotika menghasilkan lagu-lagu bagi nama-nama minoritas macam Udin dan Si Boy di lagu ‘Gemerlap Kota’ (Minoritas — 1996). Atau bagi Jinna Belasan dalam Pelarian, Joshepira, Rani, Melani, Mira, Disa, Corrine, Petty, dan Joy — semuanya dari album “Lagi Sedih” (1997).
Masih dari album yang sama, saya tak akan lupa akan lirik dengan jukstaposisi paling sederhana macam: “Kalau aku punya pabrik senjata / Gue jual, gue rubah jadi pabrik tahu / Biar tentara nggak saling tembak / Dan duniaku menjadi damai” dalam ‘Kalau Aku Jadi Presiden’. Pula tak ada lagi lagu tentang Jerry yang tewas di tangan petugas dalam lagu ‘Jerry Preman Urban’. Juga balada menyayat hati tentang tentara yang lelah menembaki rakyat sendiri pada ‘Desersi’ dari album 999+09, Vol. 2 (1999). Terakhir setelah kompak sembuh dari jerat narkotik di tahun 2000, masih ada karya seperti ‘Solidaritas’ (Slankissme — 2005) dengan lirik seperti: “Mengapa harus tunggu bencana / Tentara datang untuk kemanusiaan? / Mengapa gak setiap hari? / Berbuat seperti ini?”.
‘People changed’ tulis seseorang menanggapi cuitan slank dengan atribut militer itu. Tapi mungkin juga tidak. Beberapa potong larik dari lagu ‘CCTV Tuhan’ (Slanking Forever — 2019) mungkin adalah upaya Slank menjawab banyak pertanyaan tentang perubahan mereka. “Kenapa orang-orang hebat berubah?”, “Sejak awal kami beda”, “Kalian aja yang terlihat sama”, “Kemana aja lo waktu kita masih tinggi?”, “Suatu saat tiba / Kita duduk di beranda surga / Menertawakan kita / Sambil replay cctv Tuhan”, “Air bercampur dengan air”, “Minyak bercampur dengan minyak”.
Slank memang beda, darah politik, tentara, dan nasionalisme sudah mengalir dalam DNA mereka. Brigadir Jenderal TNI Dr. H. Soemarno Sosroatmodjo adalah tentara, dokter dan politisi. Kakek dari Bim-Bim itu adalah Gubernur DKI Jakarta pertama. Sedang Bapak Bim-Bim adalah seorang pengusaha pelayaran bernama Sidharta M Soemarno. Andi Cella Nurdin, Bapak dari Abdee adalah seorang politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) asal Sulawesi Tengah selama 25 tahun. Ayah Ridho (gitar) adalah seorang Walikota pertama di Ternate. Agus Soemadi, Bapak dari Kaka adalah prajurit militer. Jadi masuk akal saja jika Slank bersahabat dengan TNI, mendukung politisi tertentu, atau berkontribusi mendukung Jokowi dalam Pilpres di tahun 2014 dan 2019. Semua sudah ada sejak dalam DNA.
Slank mendukung Jokowi dengan sepenuh hati. Mungkin karena Jokowi sipil, mengaku mencintai musik rock, tampil sederhana, tampak merakyat, juga ceking macam Bim-Bim zaman dulu. Sayangnya, karena berlatar sipil Jokowi perlu mengamankan kekuasaannya. Dengan cara apa? Memberi konsesi pada militer. Sepanjang periode kepresidenannya, beberapa pensiunan jenderal didapuk Jokowi menjadi menteri. Meski diprotes habis-habisan Jokowi tak peduli. Ia tak punya daya tawar besar untuk menjaga kekuasaannya. “Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa jadi perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period (2018).
Dikutip dari jawaban Bim-Bim pada sebuah artikel oleh Hanif Pandu Setiawan, dalam Hai-Online.com (27/10/2021) — “Sikap politik gue di tahun 1997 sama 2021 jelas nggak bisa disamakan. Musuhnya beda, kondisinya beda,” jelas Bim-Bim menanggapi pertanyaan tentang perubahan sikap politik dan pertanyaan tentang perubahan sikap kritisnya. Lalu, siapa musuh Slank sekarang? Yang jelas tentara dan politisi tak ada dalam daftar mereka entah sejak kapan tapi berlangsung sampai saat ini. 2 periode Jokowi akan kadaluwarsa. Dengan atau tanpa sokongan suara dari Slank, tentara berbaju sipil mungkin akan terus menghiasi permainan klasik dalam politik Indonesia.
Lalu apa sikap politik mereka kedepannya? Kembali saya kutip dari tulisan yang sama, “Justru gue maunya berubah, eksplorasi terus yang baru. Bersikap terus,” mungkin pernyataan Bim-Bim itu bisa jadi jawabannya — harusnya ada harapan baik dari pernyataan itu atau kita bisa tunggu saja sampai Pemilu tahun 2024 nanti. Slank tentu tau akan kekuatan massa yang mereka miliki. Jejeran Capres (Calon Presiden) dan politisi juga tau, kalau Slankers begitu loyal. Slank adalah salah satu penggerak massa terefektif sekaligus pemersatu bangsa. Nanti, bukan tidak mungkin jutaan kotak suara pemilu kosong, jika saja kedepannya Slank menyatakan golput sebagai sikap politiknya. Tapi bukan tidak mungkin, jutaan kotak suara pada pemilu akan dipenuhi oleh pemilih Capres (calon presiden) atau kader-kader dari elite politik militer jika Slank meminta Slankers melakukannya. Itu juga jika Slank memang bersungguh-sungguh atas kalimat pada cuitan mereka — “TNI adalah Kita”.
Ini bukan untuk mengatakan ‘diam saja dan bernyanyi’. Bahwa tugas musisi hanyalah membuat musik dan menghibur lantas tak boleh memiliki identitas selain menjadi musisi. Ini sekedar pengingat bahwa ketika musisi dengan kekuatan massa yang begitu besar memberi tau oranglain atau pengikutnya untuk memilih, itu bisa berarti musisi berpikir penggemar mereka tidak mampu berpikir sendiri.
Kekuasaan sipil atas militer seharusnya niscaya, tapi kenyataanya sipil masih bergantung kepada militer terutama untuk menopang kekuasaan. Jadi, jika nanti elite politik militer yang mendapatkan kekuasaan melakukan kejahatan atas nama stabilitas negara — sah untuk berkata, itu salah Slank juga. Saya menghargai kejujuran Slank. Banyak musisi sangat vokal tentang segala hal kecuali kecenderungan politik, dan Slank berani untuk jujur. Meski kali ini kecenderungan itu secara monumental blunder (mengingat peristiwa di Stadion Kanjuruhan) dan bisa dikatakan ofensif. Semoga mereka tidak berpikir bahwa orang lain memiliki kewajiban untuk mendengarkan, atau tertarik pada keyakinan politik mereka. TNI adalah Slank, tapi kita bukan.