Kalau boleh jujur, Nakula sama sekali tidak menyangka bahwa Gaffi akan benar-benar mengunjungi tokonya hari ini. Namun, semuanya memang berbeda dari ekspektasinya, karena kali ini seorang laki-laki bertubuh jangkung yang sudah tak lama ia temui berdiri tegak tepat di hadapannya. Gaffi mengulas sebuah senyuman kecil, yang juga dibalas oleh senyuman yang sama oleh Nakula. Ia tahu ini benar-benar terasa canggung, padahal dulu mereka berdua bisa bercanda-tawa dengan lepas tanpa ada rasa yang mengganjal.
“Hai, Na..” Ucap Gaffi dengan begitu pelan, hampir terdengar seperti sebuah lirihan.
Nakula mengangguk sambil kembali mengulas senyuman tipisnya, “Iya, fi. Keliling dulu aja, liat-liat dulu.” Balas Nakula dengan tenang, rasa kesal dan khianat yang ia rasakan beberapa bulan lalu kini sudah tak begitu dominan. Ia pun tak tahu mengapa hal itu bisa menghilang dengan sendirinya.
Bukannya berjalan dan mengitari toko seperti perintah Nakula sebelumnya, Gaffi justru menggaruk tengkuknya dengan canggung, “Na, sebenernya gue ke sini pengen minta maaf sama lo.”
Nakula sebenarnya sudah tahu ini akan menjadi topik utama pada pertemuan mereka hari ini, maka dari itu ia hanya mengangguk pelan sambil menunjuk ke arah pintu yang bertuliskan staff only. “Di dalem aja, Fi. Biar gaada yang nguping.”
Nakula berjalan lebih dahulu, membuka pintu di hadapannya dan segera duduk di salah satu sofa yang tersedia di sana. Gaffi mengikutinya dengan perlahan, duduk di sofa yang berada persis di seberang Nakula.
“Na, i’m so sorry for what happened a few months ago. Jujur gue nyesel udah sejahat itu waktu itu, saying complete non-sense ke akun gosip yang udah pasti bakal ngegoreng infonya. As your friend i was supposed to support you during that hard time, but i chose to be a jerk and saw it as an opportunity to bring you down. Gue akuin, dulu gue iri banget sama lo. You look like you have your whole life figured out, fans loyal lo banyak, people adore you. Kayak yang lo tau, waktu itu gue masih ngerintis. Gue juga cuman tampil di gig kecil, jadi bintang tamu cadangan di acara-acara. I was just jealous so i thought bringing you down with me was the right choice. But my god, i regret it so much. Gue jadi kehilangan lo sama Ares yang selalu baik sama gue, cuman karena gue gabisa channel rasa iri gue ke hal yang positif. Maaf na, maaf banget.” Ujar Gaffi dengan suara yang bergetar, ia nampak begitu menyesal dengan perbuatannya beberapa bulan yang lalu.
Nakula tidak mengeluarkan reaksi yang kentara, karena jauh di lubuk hatinya ia sudah tahu alasan apa yang membuat Gaffi melakukan hal yang terang-terangan mengkhianatinya. Ia lalu mengangguk, mengangkat kepalanya untuk kembali menatap Gaffi tepat di mata, “Iya, Fi. Udah gue maafin.”
Gaffi sangat terkejut mendengar jawaban Nakula yang begitu tenang, ia berekspektasi bahwa Nakula akan marah atau membentaknya, karena ia tahu betul ia pantas mendapatkannya.
“Serius, Na?”
“Iya.”
“Lo udah ngga marah sama gue?”
“Ngga.”
“Can we be friends again, like we used too?”
“Ngga.”
Bahunya yang semula naik akan rasa bahagia yang mulai muncul kini kembali menurun, ia kembali menatap wajah Nakula dengan sarat kecewa yang begitu kental.
“Gue ga bisa Fi kalo buat temenan lagi sama lo. Sorry kalo kesannya gue mutus hubungan, tapi gue juga gabisa tenang kalo harus tetep temenan sama orang yang pernah khianatin gue. Tenang aja, gue beneran udah maafin lo kok. No hard feelings, i just can’t be friends with you anymore. Kita kayak dulu lagi aja, Fi. Sebatas kenalan yang saling tau nama dan follow-followan di sosmed. I think that would be enough.” Ujar Nakula dengan tegas sambil berdiri untuk menghampiri Gaffi.
Gaffi pun ikut berdiri, menatap Nakula dalam sampai akhirnya ia merasakan dirinya direngkuh oleh Nakula. Nakula menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali, ia lalu berbisik tepat di telinganya.
“Thank you Fi buat semuanya, semoga hidup lo bahagia selalu ke depannya.”
Tepat setelah mengucapkan kalimat tersebut, Nakula melepas pelukannya sambil menampilkan senyuman terbaik yang ia miliki.
Gaffi ikut tersenyum, namun dengan banyak sarat getir di dalamnya. Ia mengangguk pelan sembari menyampirkan tas yang ia bawa dengan hati yang bergemuruh.
Ia kini semakin tersadar, ini akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Nakula, yang sebentar lagi akan kembali berubah menjadi orang asing dalam hidupnya.