Mengalah

shaf
5 min readJul 6, 2022

--

Sudah sekitar satu jam Shiloh dan Nakula berada di hotel. Sedari tadi keduanya hanya sibuk berbincang sambil menonton film di televisi yang terletak persis di seberang ranjang. Keduanya merasa benar-benar bahagia hari ini, sampai lima menit yang lalu Nakula menerima pesan dari seseorang yang Shiloh tidak ketahui. Yang ia tahu, mood Nakula mendadak berubah menjadi muram, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Shiloh spontan menggenggam salah satu tangan Nakula, membuat Nakula tersadar dari lamunannya lalu kembali meletakkan ponselnya di atas nakas.

Hey, what’s wrong?”

Nakula menggeleng, ia lalu menyunggingkan senyuman yang malah terkesan getir. “Mama barusan ngechat, jadi kangen.”

Shiloh mengangguk tipis, ia lalu melingkarkan tangannya di pinggang Nakula untuk memeluknya dari samping. “Udah lama ya gak ketemu mama?”

Nakula dengan cepat mengangguk, “Iya, udah ada sebulan mama sama papa wara-wiri di Eropa tapi gaada ngabarin aku sama sekali. Tadi ngechat bilang udah sampe di rumah, tapi malah akunya yang lagi pergi.”

Shiloh sebenarnya sudah menyadari ada sesuatu di antara Nakula dan orang tuanya sejak ia sering berkunjung ke rumah. Ia sama sekali tidak pernah bertemu orang tuanya, yang seingatnya masih tinggal di sana, sesuai dengan perkataan Nakula waktu itu.

“Mama sama papa emang sering pergi-pergi gitu, Na?”

Nakula menghela napas panjang, ia lalu bergeser dan memutar posisi duduknya agar ia dapat menghadap ke arah Shiloh sepenuhnya. “Dari dulu, Shil. Dari aku masih kecil. Mungkin gara-gara mereka nikah di umur yang lumayan muda.”

“Maksudnya?”

Nakula mengendikkan bahunya, “Mereka itu nikah lumayan cepet. Mom was 20, dad was 21. Mereka nikah ya purely karena emang pengen dapet esensi kata bersama yang lebih kuat aja, mungkin lupa perhitungin kalo nantinya mereka bakal kedatengan aku sama Vara. Mom was pregnant three months after the wedding, terus setelah lahiran aku dan aku udah umur 2 tahunan, aku selalu dititipin di rumah nenek. Which is actually fine karena aku juga seneng main sama nenek, tapi ya gitu.. lama-lama mereka jadi kayak lupa pulang.” Nakula menjeda kalimatnya, ia lalu memasukkan tangannya yang tidak digenggam oleh Shiloh ke dalam kantung piyamanya.

“Aku inget banget dulu mama pernah bilang, dia itu emang banyak maunya dari dia masih seumuran Vara. Banyak.. apa ya? Ambisi mungkin? Mimpi-mimpi yang dia pengen banget raih, gimanapun caranya. But, oh well.. she met my dad along the way and couldn’t say no to him. Akhirnya mereka nikah, punya anak, tapi kelakuannya kayak masih pacar-pacaran, kayak lupa gitu kalo ada aku sama Vara yang harusnya dapet sedikiiit aja waktu dari mereka. Jadi ya mereka masih sibuk sama dunianya sendiri, kejar ini-itu tanpa tau waktu.”

Shiloh baru saja hendak menanggapi, namun Nakula ternyata masih ingin menambahi. “Tapi bukan berarti they completely abandoned me and Vara ya, justru mereka menuhin banget kebutuhan aku sama Vara, kecuali quality time and affection. Makanya kadang, kalo kamu ngasih affirmative words buat aku, aku cuman bisa bilang makasih, atau bahkan gabisa jawab. Because all of that is new to me, mom never told me such words exist in the first place.”

Nakula lalu menggaruk tengkuknya, merasa aneh ketika ia menceritakan hal ini kepada orang lain, ia sebenarnya takut tidak ada yang dapat mengerti perasaannya tentang kedua orang tuanya. “Aku tuh.. Apa ya.. bingung aja gitu kalo semuanya ada di tengah-tengah begini.”

Shiloh mengelus bahu Nakula perlahan sambil tetap menatap matanya. “Di tengah-tengah gimana, Na?”

“Kayak.. mereka tuh dibilang gak peduli ya ngga juga, tapi dibilang peduli juga ngga. Bener-bener di tengah-tengah. Inget banget dulu pertama kali aku berhasil di-hire buat jadi model salah satu brand baju yang terkenal tahun itu. Aku excited dong nunjukin ke mereka, tapi respon mereka tuh ya, gitu.. Ngangguk-ngangguk aja, gatau ngangguknya karena bagus apa heran kok bisa aku dapet panggilan dari brand itu. It’s like they’re just there.. watching me and Vara doing everything we can to impress them. Well, sometimes they’re not even there, but that’s besides the point.. hahaha.”

“Tapi tetep, mau sekesel apapun aku sama mama papa, i can’t help but missing them. Mungkin aku barusan keliatan sedih, tapi ya sedihnya karena aku kangen aja. Aku gak pernah bisa marah sama mereka..”

Shiloh mengangguk, walaupun tidak mengalami kejadian yang sama persis, namun ia juga pernah mengalami hal serupa dengan Ayahnya.

“Papaku juga gitu Na dulu. Gak persis sih, tapi mirip.”

Nakula mendadak merasa lega karena akhirnya ada seseorang yang bisa memahami perasaannya terhadap kedua orang tuanya selama ini, “Mau cerita, ngga? I’m all ears.” Balasnya sembari tersenyum tipis kepada Shiloh.

“Waktu perusahaan kakek baru aja dipindah tanganin ke papa, papa bener-bener sibuk banget. Ada sekitar dua sampe tiga tahunan, papa bilang banyak banget hal-hal baru yang harus dia kuasain sebagai orang yang nerusin perusahaan kakek. Aku masih kecil waktu itu, sekitar umur 9 tahun, jelas masih egois dan nuntut papaku buat bisa temenin aku main-main ke sana ke sini kayak anak kecil pada umumnya. Sampe akhirnya aku pernah marah sama papa, karena dia janji mau ambil rapot aku tapi turns out tetep mama yang ambil karena dia ada urusan yang gak bisa ditinggal. Sekitar semingguan aku mogok ngomong sama papa, dan akhirnya mama yang bikin aku sadar sesuatu. Mama bilang sama aku, setiap kebahagiaan yang papa kasih buat aku, ada juga pengorbanan yang harus dia buat. Mama bilang, hidup aku yang nyaman dan terpenuhi segala kebutuhannya itu ya hasil dari kerja keras papa. Mungkin ada yang bakal bilang lebih penting bonding sama keluarga daripada materi yang berlebih, tapi siapa sih yang gamau bikin anak dan istrinya seneng dengan hidup nyaman? Gaada, Na. Akhirnya ya, aku mulai coba aja buat ngertiin papa. Aku mulai tanamin kalo aku emang gak bisa dapetin semuanya, jadi ya aku hargain aja apa yang aku punya.”

Nakula hanya terdiam menatap Shiloh dengan segala kalimat yang baru saja ia keluarkan. Tercenung akibat Shiloh yang lagi-lagi memiliki perspektif positif dalam setiap keadaan, tidak pernah ada secuil pun prasangka buruk dalam dirinya.

Melihat Nakula yang hanya terdiam menatapnya, Shiloh tersenyum lalu memajukan kepalanya untuk mengecup kening Nakula. “Gapapa, Na. Kamu gak harus punya pemikiran yang sama kayak aku. Tapi kamu harus inget, orang tua kamu juga pasti sayang sama kamu, maybe they just don’t know how to express it or say it to you. Mungkin kamu bisa duluan ekspresiin itu ke mereka? Gak perlu tunggu-tungguan, there’s nothing wrong with expressing your feelings to your loved ones.”

Nakula tidak tahu sudah berapa kali ia jatuh cinta pada pria di hadapannya setiap mendengar kata-katanya yang menenangkan. Dan tentunya, Nakula tidak pernah keberatan untuk jatuh cinta kepadanya, lagi, lagi, dan lagi.

--

--