Downside of the industry

shaf
6 min readMay 23, 2022

--

Ini dia salah satu kebiasaan buruk Nakula, ketika ia mulai merasa terlalu terbebani atau memiliki masalah yang membuatnya pusing tujuh keliling, ia akan mengambil sebungkus rokok Marlboro Gold dari nakas kecil di samping tempat tidurnya lalu berjalan kaki ke arah taman publik yang ada tidak jauh dari rumahnya. Biasanya ia akan menghabiskan 4–5 batang dalam sekali duduk, dan entah kenapa ia akan merasa lega setelahnya. Nakula sebenarnya bukan orang yang aktif merokok setiap hari, dia hanya melakukannya pada saat-saat seperti ini.

Maka dengan celana tidur panjang dilengkapi hoodie kebesaran miliknya yang berwarna abu-abu, juga korek api berwarna putih di saku celananya, Nakula mulai melangkahkan kaki keluar dari gerbang rumahnya dan berjalan ke arah taman tersebut. Jaraknya cukup dekat, sehingga lima menit setelahnya ia telah sampai di taman tersebut dan mulai mengeluarkan sebatang rokok untuk ia bakar ujungnya. Asap mulai bermunculan setelah ia menghisap benda itu berkali-kali. Nakula bahkan lupa membawa ponselnya, ia ke sana benar-benar berniat untuk menenangkan diri dan hanya menghabiskan waktunya untuk memandangi beberapa kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar cluster-nya ini.

Nakula lalu menoleh ke kiri, menemukan sebuah mobil Audi R8 yang berjalan mengarah ke tempatnya duduk sekarang.

“Lah, itu bukannya mobilnya Shiloh?” Ucapnya kepada entah siapa. Ia lalu berusaha memicingkan matanya untuk melihat plat mobil yang berhenti beberapa meter dari taman.

Sosok laki-laki dengan figur yang jauh lebih tinggi darinya turun dari mobil tersebut, benar saja, itu Shiloh. Wajahnya terlihat sedikit lega ketika mendekat ke arah Nakula dan memastikan bahwa itu benar-benar orang yang ia cari.

“Na..” Ujar Shiloh ketika ia berhasil duduk tepat di sebelah Nakula, suaranya menunjukkan kekhawatiran yang begitu kentara. “Where have you been? I’m really worried, that’s why i came here looking for you.

Nakula yang memang tidak dalam kondisi baik semakin merasa kesal, seketika ia teringat dengan foto-foto yang Shiloh bagikan di akunnya tadi siang. Hal itu entah kenapa benar-benar membuat hatinya tercubit. Bukan apa-apa, jika orang lain mengamati hubungan mereka dan bagaimana mereka berkomunikasi dengan satu sama lain, Nakula cukup yakin mereka juga pasti akan kecewa jika melihat orang yang ia pikir dekat dengannya selama ini ternyata memiliki orang lain.

Nakula mulai menarik nafasnya, berusaha menenangkan diri agar tidak meledak-ledak. “Ini gue di sini, Shil,” Nakula tertawa kecil yang terdengar begitu masam, “Lagian gak perlu juga kok khawatir sama gue, i’m okay.

Shiloh yang tidak tahu apa-apa jelas kebingungan dengan perubahan sikap Nakula, seingatnya tadi pagi mereka masih bertukar pesan dengan baik. “Na, did something happened?”

Nakula tidak menjawab, ia lalu menghisap rokoknya terakhir kali sebelum akhirnya ia lempar tepat di bawah kakinya untuk ia injak. Nakula lalu menoleh ke arah Shiloh, berusaha sekuat tenaga mengatur ekspresi wajahnya. “A lot actually,” Nakula menjeda kalimatnya, cukup ragu akan sesuatu yang akan ia katakan selanjutnya, “This is just about modeling and stuff, it’s bullshit.

Shiloh menatap Nakula lekat-lekat “It’s not bullshit, Na. You can talk about it with me. I’m all ears.”

Seperti memang membutuhkan teman untuk berbagi masalahnya, Nakula akhirnya menghela nafas panjang sebelum mengangkat kakinya untuk duduk bersila dengan menghadap ke arah Shiloh di bangku taman itu. Shiloh tersenyum kecil, ia ikut menyilangkan kakinya untuk duduk dengan posisi yang sama dengan Nakula agar mereka duduk berhadapan.

“Jadi tuh gue bulan lalu ada tanda tangan kontrak gitu sama brand jeans yang sebenernya gue suka banget dari dulu. Terus kebetulan mereka nawarin gue buat jadi model next collection-nya, ya jelas gue seneng banget terus pas ngeliat kontraknya normal-normal aja ya gue tanda tanganin.” Nakula tanpa sadar mulai memilin telapak tangannya sendiri secara bergantian, “Terus tadi pasha, manager gue, ngabarin kalo mereka ada request gue buat nurunin berat sekitar 7 kg dalam waktu dua minggu.”

Pernyataan Nakula membuat Shiloh terkejut bukan main, “Hah? Yang bener aja, Na. Yang ada lo sakit kalo dipaksain kayak gitu.” Shiloh mulai menyadari telapak tangan Nakula yang mulai memerah, maka ia mengambil alih kedua tangan tersebut untuk ia genggam satu persatu. Tak lupa ia berikan elusan-elusan lembut di permukaan tangan Nakula.

“I-iya, Shil. Makanya gue dari tadi bingung padahal itu gak tertulis di kontraknya, cuman semacem aturan gak jelas yang paling kalo gak gue turutin ya gue disinisin sih sama dikata-katain, kali. Udah gitu tadi gue tanya kan denda berapa kalo batalin kontraknya. Dendanya 400 juta..” Nakula kini menunduk memperhatikan tangannya yang total berada di genggaman Shiloh, “Sebenernya ya gue bisa aja bayar buat batalin, tapi it just doesn’t feel right. Gue udah mulai kerja dari kecil, gue tau dan gue ngerasain sendiri gimana susahnya cari uang. Uang segitu mending gue pake buat beliin ibu mobil baru, Shil.”

Hati Shiloh terasa seperti diremuk ketika mendengar penjelasan Nakula, ia lalu merentangkan tangannya untuk membawa Nakula masuk ke dalam pelukannya. Keduanya merengkuh satu sama lain dengan begitu erat, sampai akhirnya Shiloh mendengar isakan kecil yang terbenam di dadanya.

“G-gue kesel juga sebenernya. Bertahun-tahun gue kerja jadi model tuh jarang banget Shil bisa merasa pede sama diri gue sendiri. Mungkin orang-orang liatnya gue fine-fine aja malah keliatan pede banget, tapi itu mah boong aja. Gue sebenernya juga selalu mikirin ini itu soal badan gue, soal gimana orang-orang bakal nilai gue secara fisik, apalagi kerjaan gue bergantung banget sama itu. They say fake it ‘till you make it, but i don’t know if i’ll ever make it.”

Setelahnya, isak tangis Nakula semakin keras. Shiloh sengaja tidak membalas perkataannya terlebih dahulu, ia lebih memilih untuk mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepala Nakula beberapa kali.

Beberapa saat kemudian, Shiloh mulai merenggangkan pelukan mereka dan membuat mereka berdua kembali bertatapan.

“Na, gue emang kadang juga ambil job model tapi itu bukan main job gue jadi gue gak pernah ketemu hal-hal kayak gitu dan ngerasain apa yang lo rasain. Tapi, gue mau lo inget kalo dunia tuh emang begitu, Na. Jahat. Mau semua orang tau itu gak bener juga kadang masih aja terus dilakuin. Lo mungkin nantinya akan ketemu lagi sama brand dengan team sampah kayak gini, jadi the best thing you can do is to start liking yourself little by little. I didn’t use the word love because it’s a journey to love yourself as a whole. Tapi buat mulai ngasih penilaian baik buat diri lo sendiri itu bisa banget lo lakuin pelan-pelan. Gak usah hal yang muluk-muluk, just say you did your hair really good today, maybe start taking a photo of it as a reminder that on some random day you actually like how you look like. Dan satu lagi, lo itu hebat, Na. Lo udah sampe titik ini, jadi model paling terkenal se-Indonesia yang bahkan rutin ikut PFW. You‘re clearly good at your job, but some people just can’t appreaciate it and it’s totally fine. Emang gak semua orang akan suka sama lo, lo juga gak mungkin suka sama semua orang kan?” Shiloh menjeda kalimatnya, kini mengelus-elus bahu Nakula yang masih menatapnya dengan seksama,

It’s okay to make mistakes, it’s okay to not be perfect all the time. We’re human, Na. Terus soal request yang tadi, i say you take the job, Na. Show them that not losing any weight due to their request will not effect your quality as a model. Udah saatnya buat berhenti dengerin omongan negatif orang yang lo sendiri tau itu gak bener. The less you care, the better.”

Nakula justru tercenung mendengar segala pernyataan Shiloh, karena itu sangat masuk akal baginya. Untuk apa ia memedulikan omong kosong orang lain kepadanya dan membuat dirinya sendiri sedih?

Nakula sendiri tahu ia punya kemampuan yang memadai di bidang ini, memang sudah seharusnya dirinya ini menebalkan telinganya sejak bertahun-tahun lalu, karena orang yang ingin menjatuhkannya tanpa sebab akan selalu ada.

Nakula mengangguk perlahan, “Shil, lo barusan kayak ngebuka kepala gue terus teriak ke otak gue deh. Everything make sense now. Thank you, i really appreaciate all of your words, it really helps.”

“Sama-sama, Na. Udah jam 12 nih, pulang yuk? Gue anterin ya.”

Nakula memutar bola matanya, “Shil, my house is literally right there.”

Shiloh tersenyum kecil, “Capek lah, Na. Mending gini aja,” Shiloh tiba-tiba bangkit lalu membawa Nakula ke gendongannya, Nakula kini menempel di tubuhnya bak seekor koala.

“IH, SHIL! Malu ah, turunin!”

“Gak mau, wle.”

“Gue tuh sebenernya kesel tau sama lo.”

Kening Shiloh seketika berkerut walau ia tetap melanjutkan langkahnya, “Kenapa? Gue bikin salah apa?”

“Lo punya pacar ya?” Seketika Nakula seperti tersadar, “Eh ini turunin anjir kalo pacar lo tau gue yang gaenak, Shil.”

“Hah? Siapa yang punya pacar, Na?”

Kini, Nakula yang justru kebingungan, “Lah, itu yang di..”

Belum sempat omongan Nakula selesai, Shiloh langsung tersadar akan sesuatu. “Astaga kulaa, itu sepupu gue dari london baru dateng hari ini. Emang jarang gue up orangnya di sosmed makanya gaada yang tau.”

Nakula pun kesulitan menelan ludahnya, kini ia total merasa malu sehingga ia semakin membenamkan wajahnya di salah satu ceruk leher Shiloh.

Menyadari apa yang Nakula pikirkan sekarang, Shiloh terkekeh geli. “Gue gak punya pacar, Nakula. Kan calonnya lo.”

--

--