His Move

shaf
4 min readMay 8, 2022

--

Setelah melaksanakan berbagai macam rangkaian pemotretan, Shiloh dan Nakula kini dapat beristirahat karena jadwal pemotretan telah selesai. Maka di sini lah mereka, duduk berhadapan di salah satu ruang pemotretan sambil menikmati makan malam masing-masing. Nakula dengan salad bowl beserta sebotol teh no sugar di sampingnya, sedangkan Shiloh dengan buritto berisi daging asap kesukaannya. Keduanya tidak banyak berbicara saat makan, tapi entah kenapa suasana sama sekali tidak terasa canggung.

Shiloh ternyata menghabiskan makanan miliknya dengan lebih cepat, sehingga kini ia hanya sedang memperhatikan Nakula yang masih sibuk berkutat dengan makanannya. “Menghayati banget Na makannya,” Ucapnya sambil menggeser kursi ya ia duduki agar posisi mereka kini bersebelahan.

“Hahahah, gue kalo makan emang lama, Shil. Kalo lo pengen balik duluan gapapa, nanti gue sama pasha aja.” Nakula tertawa kecil, lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. “Engga dong, kan gue yang jemput nanti gue juga yang anter.”

Shiloh lalu terkekeh pelan, melihat banyak remehan dari makanan Nakula yang jatuh ke atas celananya. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil sehelai tissue yang ada di sebelahnya dan mulai membersihkan remehan tersebut satu-persatu.

Nakula yang sedang fokus dengan makanannya jelas terkejut, ia saja sama sekali tidak menyadari bahwa ia makan dengan begitu berantakan. “Eh, berantakan banget ya makan gue? Malu ih gue aja yang bersihin.”

Shiloh menggeleng, “Gapapa, Na. Namanya juga lagi makan ya fokus ke makanannya. Lanjut aja, ini udah bersih kok.” Shiloh lalu melempar gulungan tissue berisi sisa makanan tadi ke dalam tempat sampah yang hebatnya bisa masuk sesuai sasaran.

“Kok bisa, itu jauh banget tau.” Nakula pun menoleh ke arah Shiloh, menyendok salad miliknya yang hanya tersisa sedikit sambil menatap lawan bicaranya tepat di mata. “Gue suka iseng latihan ngelempar bola, padahal gaada sih di practice routinenya.”

Nakula tersenyum tipis, “Apa jangan-jangan lo bisa main basket juga?” Ucapan Nakula disambut anggukan instan dari Shiloh. “Bisa, Na. Tapi ya masih lebih jago main bola biasa sih.”

Kini keduanya saling bertatapan dengan senyuman lebar yang jelas terpatri di wajah masing-masing, sampai tiba-tiba saja lighting studio yang ada persis di seberang mereka tumbang. Tongkat pencahayaan itu hampir saja mengenai Nakula, namun lebih dahulu terhadang oleh punggung Shiloh yang spontan berdiri dan memeluk Nakula dari depan.

“Shil, astaga..” Nakula mendadak panik, ikut berdiri dan menepuk-nepuk pelan pundak Shiloh, “Shil, are you okay? Aduh kak itu siapa ya yang naruh lightingnya ga kenceng gitu? Kasian Shilohnya.” Nakula berbicara dengan salah satu kru yang menghampirinya barusan, berusaha sekuat tenaga agar nada suaranya tidak bergetar.

Kalau boleh jujur, hantaman tongkat pencahayaan tadi cukup sakit karena langsung menabrak punggung Shiloh tanpa aba-aba. Oleh karena itu, ia terdiam sejenak sambil berusaha mengontrol ekspresi wajahnya. “Shil, sakit banget ya? Ayo ke health crew dulu ya, siapa tau bisa dikasih sesuatu biar gak nyeri.” Nakula kembali mengajaknya berbicara, kini menggenggam tangan Shiloh dengan erat sambil mengusap permukaannya dengan ibu jarinya yang berukuran jauh lebih kecil dengan milik Shiloh.

Shiloh menarik nafasnya, “Gapapa, Na. Sakit dikit aja.” Hanya itu yang bisa Shiloh katakan karena sebenarnya apa yang ia rasakan jauh dari kata sedikit.

“Gaada sakit sedikit, ayo ke sana dulu gue cariin apa yang bisa dipake.” Nakula mengatakannya dengan suara yang bergetar sambil menarik Shiloh untuk berjalan, membuat yang ditarik menahannya di tempat.

“Na, gapapa..” Shiloh sebenarnya cukup terkejut melihat Nakula yang hampir menangis, namun ia lebih memilih untuk menenangkannya dengan mengusap-usap bahu dan punggungnya perlahan. “No one’s hurt. I’m okay, i’m glad you are, too.”

Setelah selesai mencarikan salep serta obat penawar rasa sakit untuk Shiloh, kini mereka berdua sudah berada dalam mobil Shiloh yang sedang menuju ke arah rumah Nakula. Tidak ada yang aneh pada malam itu, selain Nakula yang sedari tadi sibuk berkutat dengan kertas origami berwarna merah dan putih. Ia nampak sangat serius mengerjakannya sampai-sampai ada beberapa kali ketika Shiloh memanggilnya untuk berbicara, ia hanya mengatakan “Bentar, lagi serius.”

Oleh karena itu, Shiloh memilih untuk mendiamkannya dulu. Mungkin itu kerjaan dia yang harus diselesaiin sekarang kali, pikirnya.

Tanpa terasa, mereka sudah sampai persis di depan rumah Nakula. Shiloh menoleh dan menemukan Nakula yang sedang memegang burung dove dari kertas origami yang ia mainkan tadi. “Udah sampe, Na.”

Nakula lalu mengangkat wajahnya, ia spontan tersenyum sambil mengangkat dua karya origaminya dengan bangga. “Okay, thank you ya Shil udah anterin balik. Nih buat lo.” Nakula lalu menyodorkan dua burung origami itu ke arah Shiloh yang kini menatapnya dengan tatapan super kebingungan.

“O..Makasih?” Ucapan terima kasih Shiloh hampir terdengar seperti pertanyaan, yang jelas mengundang tawa dari Nakula.

“Udah simpen aja, jangan dibuang nanti lo nyesel.”

Shiloh justru semakin kebingungan dengan perkataan Nakula, sedangkan lawan bicaranya sudah mulai membuka pintu dan turun dari mobil.

“Bye, Shil! I’ll see you soon!” Nakula mengembangkan senyuman manisnya, membuat Shiloh tanpa sadar ikut melakukan hal yang sama.

Setelah Nakula masuk ke dalam kediamannya, Shiloh memegang kedua burung origami itu dengan penuh pertanyaan, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk membongkar origami tersebut.

“Astaga, Nakula. You’re so fucking cute.”

--

--