Magic

shaf
4 min readMay 1, 2022

--

Satu hal yang perlu diketahui, Shiloh bukanlah tipe orang yang senang menyendiri. Ia terbiasa menghabiskan waktunya bersama orang lain, entah itu keluarganya ataupun teman-temannya. Tapi hal tersebut jelas tidak sesuai dengan keadaannya siang ini, Shiloh sedang duduk sendirian di sebuah bangku panjang, dengan tangan kanannya yang memegang satu cone es krim coklat dari salah satu stall yang ada di dekat wahana permainan. Shiloh pun sebenarnya sedikit kebingungan dengan keputusannya untuk mendatangi taman hiburan seorang diri, ia terdorong untuk melakukannya dengan begitu saja.

Shiloh menikmati es krim tersebut sambil menonton sebuah video di ponsel genggamnya dengan santai, sampai seseorang duduk tepat di sebelahnya sambil mengeluarkan suara rintihan yang tertahan. Tanpa berpikir panjang, Shiloh pun menoleh ke asal suara dan justru terkejut dengan apa yang ia lihat.

“Eh, sorry. Gue berisik ya?”

Shiloh refleks menggeleng, bukan itu yang menjadi titik kekhawatirannya. Shiloh lebih terkejut ketika menemukan sosok di depannya dengan sepasang mata berkilauan yang ia tahu jelas siapa pemiliknya, meski area wajahnya yang lain tertutup oleh kain masker yang ia gunakan.

“Bentar, lo Nakula kan? Gue Shiloh.”

Yang diajak berbicara nampak berpikir keras sampai kedua alisnya terlihat sedikit bergelombang, ia lalu tiba-tiba saja mengacungkan jari telunjuknya ke arah Shiloh.

“Eh? Halo! Shiloh yang dulu modelin nike bareng gue gak, sih? 4 tahun lalu ya kayaknya?” Nakula mengatakannya sambil melambaikan tangan ke arah Shiloh, di saat itu juga Shiloh merasa sedikit lega. Setidaknya Nakula masih mengenali dirinya.

Shiloh tersenyum simpul, “Iya, itu gue,” Pandangan Shiloh kini beralih ke arah lutut Nakula yang mengeluarkan darah cukup banyak, “Lo kenapa? Ini banyak banget darahnya.” Shiloh lalu mulai membuka tas kecil yang ia bawa, seperti sedang berusaha menemukan sesuatu di sana.

Nakula terkekeh pelan dengan nada yang dibalut dengan rasa malu, “Itu.. Tadi gue abis naik ontang anting, terus gak liat ada tangga kecil gitu kalo mau turun. Kesandung, deh.”

Shiloh mengangguk kecil, tangan kanannya menyerahkan kapas, tissue, dan betadine ke arah Nakula. “Bersihin dulu, nanti infeksi.”

Nakula memandang Shiloh dengan terpukau, ia benar-benar kagum ada orang yang dengan sigap membawa alat-alat pembersih luka ke taman hiburan seperti ini, “Thank you, Shil. Is that what people call you?”

Shiloh mengendikkan bahunya sambil tersenyum tipis, “Doesn’t matter what people call me. Call me however you like.”

Setelah selesai dengan sesi membersihkan luka Nakula, mereka berdua sepakat untuk melanjutkan menaiki wahana yang ada di taman hiburan ini bersama-sama.

“Shil, lo berani naik halilintar gak?” Ucap Nakula sambil membentangkan peta kecil yang ia dapatkan dari pusat informasi tadi.

Shiloh mengangguk dengan antusias, “Berani, kok. Gue emang selalu naik itu kalo ke sini.” Shiloh lalu menaikkan sebelah alisnya, “Mau naik?”

Nakula menggaruk tengkuknya yang terasa tidak gatal, “Mau, sih. Tapi gue pasti teriak-teriak, Shil. Gapapa emangnya?”

Pertanyaan Nakula membuat Shiloh sedikit kebingungan, “Boleh aja, Na. Kan gak ada peraturannya juga gak boleh teriak.”

“E-eh iya, sih. Cuman gue takutnya lo keganggu aja gitu soalnya k — ” Nakula memberhentikan pembicaraannya sendiri, seperti tersadar akan sesuatu. “Nevermind, tapi gapapa shil serius?”

Shiloh mengangguk dengan senyumannya yang masih terpatri sejak tadi, “Yuk, naik!”

Nakula tanpa sadar ikut tersenyum melihat wajah Shiloh yang nampak begitu ceria. Meskipun baru beberapa jam bertemu, Nakula sama sekali tidak merasa canggung bersama Shiloh. Nakula merasa ia seperti bertemu dengan kawan lama, meskipun untuk dilabeli dengan kata teman pun sepertinya kurang cocok. Mereka berdua terakhir mengobrol sekitar empat tahun yang lalu, di lokasi pemotretan brand sepatu yang kebetulan mereka terima tawarannya. Selebihnya, Nakula hampir lupa bahwa ia pernah berkenalan dengan Shiloh. Mereka tidak begitu dekat sebelumnya, tapi hari ini semua terasa berbeda, entah karena apa.

Karena keduanya memiliki tiket VIP, mereka tidak perlu mengantri untuk menaiki wahana yang diinginkan. Shiloh dan Nakula kini sudah duduk di atas kereta wahana halilintar. Mereka berdua sama-sama terlihat rileks, seperti tidak takut sama sekali untuk menaiki wahana ini.

Kereta wahana pun mulai bergerak hingga mencapai puncak rel, di saat itulah Nakula terlihat sedikit panik.

“Eh, aduh. AAAAAA,” Nakula mulai berteriak kencang ketika kereta wahana tersebut menuruni rel dan memutar di sebuah loop yang cukup besar. Shiloh tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi Nakula yang terlewat menggemaskan di matanya.

“Shil, shil. Tangan, lo!”

“Kenapa?”

“Mau pegang, gue takut.”

Katakan Shiloh sedang bertingkah seperti anak remaja sekarang ini, tapi hatinya mulai berdebar tak karuan. Dengan wajah datar seperti sedang tidak merasakan apapun, ia menyodorkan tangannya yang kemudian digenggam erat oleh Nakula. Mereka terus bergandengan tanpa ada satu pun yang berniat melepasnya.

Tepat saat kereta wahana halilintar berhenti, Nakula refleks tertawa, ia lalu tersenyum ke arah Shiloh dengan tangan mereka yang masih bertautan.

Bisa dibilang, Shiloh sama sekali tidak fokus menikmati wahana yang ia naiki. Ia lebih sibuk memperhatikan bagaimana Nakula menutup kedua matanya tiap kali kereta yang mereka naiki akan melewati sebuah liukan atau turunan tajam, bagaimana Nakula menahan nafasnya ketika kereta yang mereka naiki akan berputar 180 derajat akibat loop besar di rel wahana ini, dan bagaimana cara Nakula tersenyum kepadanya saat ini. Dengan kedua matanya yang menyipit tak lupa juga garis halus yang berbaris mengikutinya, serta bibir merah muda yang terangkat sempurna, membentuk setengah bulan penuh yang begitu cantik.

Shiloh membalas senyuman Nakula dengan senang hati, meski ia tahu ada sesuatu yang sedang terjadi. Sama seperti empat tahun lalu, ketika Nakula pertama kali melambaikan tangan kepadanya di lokasi pemotretan mereka, hatinya mendadak terasa hangat. Dan entah dengan sihir macam apa, Nakula berhasil melakukan hal yang sama kali ini. Bedanya, senyuman Nakula terlihat jauh lebih memikat, membuat Shiloh semakin yakin untuk berhenti menganguminya dalam diam.

--

--