New perspective

shaf
4 min readAug 26, 2022

--

Vara menghela napas panjang, mendengarkan cerita kakaknya yang sebenarnya ikut membuatnya sedih, namun ia pun mengerti apa yang tengah terjadi antara Nakula dan Shiloh.

“Gue capek, De. Buka Twitter maksudnya pengen refreshing tapi sialnya malah nemu omongan orang-orang yang kayak gitu. Belom lagi mama yang lo tau sendiri kayak gimana omongannya. Kesel gue… pengen marah tapi gatau ke siapa…”

“Terus yaa, gitu deh. Gue sebenernya berharap dia bisa lebih ngertiin gue pas kemaren. Gue juga gak bermaksud ngomong dia gak tulus atau apa, that was out of the anger i’ve been keeping this whole time. But i do understand if he’s hurt by that… tapi ya.. gak tau, De. Kemarin gue sebenernya cuman butuh ada orang yang seengganya berpihak sama gue…” Ucap Nakula yang kini sedang berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit, bersama Vara yang duduk tepat di sebelahnya sambil memakan sebuah camilan yang ia beli di perjalanan pulang.

Vara mengangguk pelan, melipat ujung bungkus makanannya untuk ia tutup sambil mengubah posisi duduknya agar menghadap Nakula, “Iya, gue ngerti. You were upset and angry, i’d pretty much do the same if i were you. I know you didn’t mean to be rude and all but you just can’t help it. Tapi lo mau denger gak, Kak? Gue tau kayaknya kenapa Kak Shiloh bisa ikut kecewa gitu sampe pergi gitu aja.”

Nakula tiba-tiba berubah posisi menjadi duduk, menghadap ke arah Vara dengan kedua telapak tangan yang menopang dagunya. “Apa? Kenapa?”

Vara mengendikkan bahunya, “Lo sering cerita gak sama dia soal masalah ini?”

“Ngga… Ya ada sih yang gue ceritain, tapi yang parah kayak yang mama marah pas gue baru pulang dari paris itu ngga. Gue gak tau gimana mau ceritanya, malu…”

Vara memiringkan kepalanya sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Nakula, “Okay, gak semua lo ceritain. Tapi dia ngasih kesempatan buat lo cerita gak kak or at least just check up on you regularly?”

Pertanyaan Vara untuk Nakula itu membuatnya seketika tercenung, “Anjir…”

Kening Vara berkerut, “Anjir apaan? Iya apa ngga?”

“Iya, dia selalu bilang sih kalo mau cerita pasti dia dengerin, dia juga sering nyadar kalo gue lagi acting a bit off pasti dia nanya gue okay atau ngga…”

Vara tiba-tiba saja mencubit pipi Nakula, “Nah, there’s your answer, Kak. Menurut gue ini miskom sih. Di satu sisi dia udah berusaha selalu ngasih kesempatan lo buat cerita sama dia, and at the same time he makes sure he’s not pushing you juga. But unfortunately at that time you weren’t ready to tell him about it all, dan sialnya lagi lo dibikin makin sedih sama ketikan jahat orang-orang di sana. Dan jadinya ya… pas lo mau cerita lo udah keburu dalam keadaan meledak-ledak dan ngeluarin kata-kata yang ngga seharusnya. Mungkin dia kecewa karena dia merasa udah coba bikin lo terbuka sama dia, tapi ternyata ya masih ada aja yang kalian belum pahamin soal satu sama lain.”

“Sakit anjir,” Ucap Nakula sambil menyingkirkan tangan Vara yang sedari tadi mencubit pipinya hingga kemerahan, “Tapi lo bener… gue ngerti maksud lo.”

“Iya, lo harus belajar gimana cara nyampein perasaan lo dengan bener ke orang lain. Gue tau pacar Kakak emang super baik dan sabar, tapi ya dia juga manusia sih, Kak. Wajar menurut gue kalo dia kecewa kemarin. Belom lagi lo tiba-tiba ngoceh soal apa tuh…?”

“Bandingin keluarga dia sama keluarga kita?”

Vara mengangguk cepat, “Nah iya, itu. Gak enak loh kak dibanding-bandingin kayak gitu di depan muka, apalagi itu suatu hal yang dia juga gak bisa kontrol. Emang lo bakal jawab apa kalo misalnya lo jadi dia?”

Nakula kembali terdiam, mungkin memang tidak seharusnya ia membanding-bandingkan hidupnya seperti itu dengan pacarnya sendiri, yang notabenenya adalah salah satu orang yang paling peduli dan menyayanginya belakangan ini. Ia sendiri tahu betul Shiloh tak mungkin melakukan sesuatu dengan sengaja untuk menyakitinya.

Nakula pun menggaruk tengkuknya dengan canggung, “Ya iya, sih… Gue juga kayaknya gabisa jawab kalo jadi dia.”

Nakula lalu menghela napas panjang, “Ini emang sarangnya tuh dari gue yang gak pedean gak jelas belakangan ini, De. Jadi apa aja yang gue liat di sekitar gue bisa bikin gue ngerasa makin insecure dan nge-down.”

Vara menggeleng sambil mengambil sebuah bantal kecil untuk ia peluk, “Bukan gak jelas juga, Kak. Valid kok kalo lo jadi ngerasa gak pede, gue juga kayaknya bakal lebih insecure kalo dapet kata-kata gak enak kayak gitu dari orang terutama dari mama sendiri. Tapi ya berarti ini kak yang harus lo perbaikin dulu, you can’t love others fully when you haven’t even loved your self in the first place.”

“Bingung tau, De. I don’t even know what ‘loving myself’ should look like.”

“Menurut gue sih coba lebih gentle aja sama diri lo sendiri. Lo ngelakuin kesalahan? Iya, boleh lo evaluasi tapi jangan lupa maafin diri lo sendiri abis itu. Lo gak sengaja nyakitin orang lain? Minta maaf sama mereka tapi jangan lupa teach yourself how to be better next time. Simply accept what you have and try to improve to be a better you, bukan malah bandingin keberhasilan lo sama keberhasilan orang lain. Nanti jadi lo nya sendiri kak yang capek.”

Nakula tidak menjawab perkataan terakhir Vara, ia hanya tersenyum sambil mengangguk. Mungkin benar, selama ini ia seperti terprogram untuk melihat sekitarnya sebagai acuan untuk berkembang, padahal yang seharusnya ia lihat adalah dirinya sendiri.

Karena semua orang punya waktunya masing-masing untuk berkembang, dan jika salah satu di antara mereka terkesan lebih lambat dari yang lainnya, belum tentu berarti mereka adalah seseorang yang gagal, bukan?

--

--