No way out

shaf
3 min readAug 26, 2022

--

Kamu kenapa hiatus?” Itulah hal pertama yang Nakula dengar setelah menekan tombol hijau. Suara lantang nan ketus terdengar dari seberang telepon, tanpa ada sapaan sama sekali untuk mengawalinya.

Nakula menghela napas panjang, “Iya, halo Ma. Nakula capek aja, kan tadi udah bilang di WhatsApp.” Ujarnya santai, ia masih mencoba bersabar menghadapi sang ibu.

Capek? Mama sama papa aja udah setua ini masih business trip tiap bulan, Kak. Yang bener aja.”

“Oke.” Hanya itu yang Nakula katakan, masih mencoba menahan amarahnya dengan sebaik mungkin.

Terdengar helaan napas dari ujung sana, “Oke apanya, Kak? Mama kemarin baru aja ngasih kamu list training yang bisa diikutin supaya bisa latihan, kok abis itu malah ngumumin hiatus?

“Emang mau ikut training rencananya. Tapi sambil hiatus, biar aku bisa lebih tenang.”

Tanpa Nakula duga, Diana tiba-tiba saja menaikkan nada bicaranya, “Kak, nyadar ngga? Ini yang bikin kamu stuck di situ-situ aja padahal Mama yakin kamu bisa lebih dari ini. Kamu terlalu manjain diri sendiri, baru kayak gini udah mau berenti lagi.

Ada sesuatu yang meledak dalam diri Nakula tanpa bisa ia hindari, “Lagi? Emangnya kapan Kakak pernah ambil hiatus kayak gini, Ma? Kakak paling lama libur cuman seminggu, biasanya juga sabtu minggu suka dihajar sama jadwal. Kakak ingetin biar mama gak lupa, Kakak udah kayak gini dari Kakak masih SMP, Ma. Kakak udah umur 23 sekarang, udah lebih dari 10 tahun Kakak kayak gini, kata capek aja udah gak cukup. Kakak muak, Ma. Apalagi sama kata-kata Mama yang gak pernah ngehargain Kakak.”

Kamu tuh bisa ngga sih jangan selalu liat sisi negatifnya aja? Mama tuh kayak gini supaya kamu — ”

“Ya makanya mama juga yang diomongin jangan hal negatifnya aja, dong! Emangnya selama 10 tahun ini aku modeling gaada hal baik yang bisa Mama omongin?” Nakula tahu kalimatnya barusan cukup kasar, namun ia sudah tidak tahan lagi dengan omongan ibunya.

Kakak…” Suara Diana mulai terdengar lebih berat, seperti peringatan bahwa anaknya telah melewati batas.

Namun sayangnya, Nakula benar-benar sedang muak. Ia tak peduli lagi apakah omongannya akan memperkeruh suasana atau tidak, “Kenapa, Ma? Mending Mama cerita sama Kakak, Mama tuh kenapa? Kenapa sih selalu nge-push Kakak berlebihan gini? Mama takut Kakak gagal atau Mama punya ambisi sendiri yang mau Mama salurin lewat kakak?”

Bukannya menjawab omongan Nakula, Diana justru terdiam. Ada keheningan yang terjadi cukup lama, sampai Nakula pun memeriksa apakah sambungan telepon masih terjalin.

Kak, sekali lagi Mama tekenin Mama cuman mau kamu raih semuanya dengan maksimal. Dan buat ngeraih itu kamu butuh usaha yang lebih keras lagi, gak berhenti sampai di sini aja. Jangan jadi gede kepala karena udah banyak yang muji kamu, masih banyak yang bisa ditingkatin, Kak.”

Seperti tak melihat adanya kemungkinan baik dalam memperbaiki hubungan keduanya, Nakula menghembuskan napasnya panjang sebelum menjawab ucapan Diana.

“Ma, Kakak juga bukan mau berhenti, Kakak cuman mau istirahat. Kedua, Kakak juga udah usaha keras. Ya tapi jelas Mama gak pernah liat, Mama aja gak di rumah,” Nakula menghentikan kalimatnya sesaat, ia terkekeh miris setelah mendengar kalimat yang baru saja ia ucapkan, “Terakhir, boro-boro gede kepala, Ma. Yang ada kakak gak pede sama sekali selama ini, karena yang Kakak butuhin bukan pujian dari orang asing di luar sana. Yang paling berarti tuh pujian dari Mama sama Papa, tapi Kakak gak pernah dapetin itu sampai saat ini.”

Diana seketika kembali terdiam di tempatnya, terkejut sekaligus tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas ucapan anaknya.

Dan sialnya lagi, mungkin ia memang sudah terlambat,

“Udah dulu ya, Ma. Nakula ada urusan.”

Sambungan telepon pun terputus dan Nakula pun tak menangis, ia hanya menatap pemandangan di luar kamarnya dengan tatapan kosong.

Jauh berbeda dengan Diana yang kini tanpa sadar mengeluarkan air matanya, merasa berdosa karena ternyata ia lah yang membuat anaknya hancur sedari dulu.

--

--