The little kid they’re proud of

shaf
5 min readAug 4, 2022

--

Siang itu cukup terik, Nakula yang memang sedang tidak terlalu bersemangat akhirnya meminta Ares untuk menghampirinya di restoran Hotel Mandarin. Setidaknya, ia ingin mengisi perutnya terlebih dahulu sebelum berkeliling di mall besar sesuai keinginan Ares kemarin. Sudah sekitar 10 menit Nakula menunggu kedatangan Ares, harusnya tak lama lagi sahabatnya itu akan segera memunculkan batang hidungnya.

“Na!” Seru Ares dari ujung pintu restoran, ia berjalan santai dengan cengiran lebarnya yang sejujurnya sudah lama sekali tidak Nakula jumpai.

Saat sudah cukup dekat, keduanya pun memeluk satu sama lain. Senyuman Nakula ikut merekah, lega sekali rasanya bertemu teman baiknya yang masih sangat ia percaya. “Gile, udah lama banget gue gak ketemu lo,” Ucap Nakula sambil mulai mengambil posisi duduknya, mengarahkan Ares untuk ikut duduk tepat di seberangnya.

“Lo yang sibuk ye. Kadang sibuk photoshoot, kadang sibuk bucinan juga.” Ucap Ares sambil tertawa, disusuli dengan Nakula yang memutar bola matanya namun bibirnya tetap tersenyum.

“Bacot lu ah,” Nakula menjeda kalimatnya sembari meminum iced vanilla latte miliknya. Ia lalu menengok ke sekitar, memastikan keadaan entah untuk apa. “Gue lagi sedih tai.”

Ares yang baru saja hendak meneguk minumannya seketika terhenti, “Kenapa lu? Masalah rumah tangga?”

“Ngga,” Nakula tiba-tiba saja terkekeh. “Shiloh mah anak baik, Res. Masalahnya ada di gue.”

“Kenapa lu? Gausah gitu ye, gue juga tau lu baik. Manusia kayak Gaffi aja sampe sekarang lu biarin, gaada lo bongkar busuknya dia sedikit pun ke media.”

Nakula menghela napas sambil mengggeleng, “Ngapain anjir. Gue males ribut. Kalo kayak Kian yang damaging buat hubungan gue sama Shiloh iya gue ladenin. Tapi kalo kayak Gaffi? We were once friends too, right? I’ll never have the heart to do it.”

Itu dia yang tak pernah Nakula sadari tentang dirinya. Sebagai seorang teman, Ares tahu betul Nakula itu tipe orang yang setia, mungkin bisa dikatakan pada taraf yang berlebihan. Bahkan ketika temannya telah jelas-jelas menjelekkannya tanpa sesal, ia hanya membuat jarak di antara mereka. Tidak pernah ada kebencian yang ia tanamkan dalam hatinya, atau memang mungkin hatinya tidak tercipta untuk membenci, hanya dua kemungkinan itu yang bisa dipertahankan.

Look at yourself being all kind to a total jerk like Gaffi. Masih mau bilang diri lo gak baik?”

Untuk kedua kalinya, Nakula kembali menghela napas dengan kencang. “Ya gimana, Res? Masalah gue tuh aneh jujur.”

“Apaan emangnya?”

“Biasa bokap nyokap gue..” Nakula tanpa sadar menggigit sedotan kertas yang ada pada minumannya hingga menipis, “Nyokap sih paling parah. Tadi pagi pas gue baru banget sampe, gue cerita soal PFW sama gue jadi brand ambassador-nya Chanel. Katanya biasa ajalah, intinya mau bilangin gue tuh overproud. Harus kerja lebih keras lagi, masih ada yang bisa diraih lagi, harus aim higher dan kata-kata lainnya yang gak ngenakin.”

Like.. i get her intention. Gue tau mama mau gue tetep semangat dan gak cepet ngerasa puas, but.. a little appreciation won’t hurt a soul, right?”

Ares mengangguk, ia tahu permasalahan ini sudah beberapa kali Nakula hadapi selama ia mulai bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. “Terus lo cerita gak ke Shiloh?”

“Itu dia..” Nakula meletakkan salah satu telapak tangannya untuk menopang dagu, menatap jauh keluar restoran melalui jendela besar yang berada tepat di sampingnya. “Gue tuh pengen cerita, tapi gue.. malu.”

Kening Ares seketika berkerut, “Malu kenapa? Kalo dari yang gue liat, Shiloh bukan tipe orang yang bakal ngejudge lo gitu deh.”

“Emang bukan,” Nakula kini memukul pelan keningnya beberapa kali, tanda frustasi karena dirinya terkesan begitu rumit sekarang. “Gue sempet dengerin cerita dia soal keluarganya terutama ibunya. Lo tau? Keluarganya tuh definisi keluarga cemara yang bahagia nan supportive. Yes, he mentioned that the did have some problems back then, but they work through it as a family. They solved it together.”

“Ngerti gak sih? Gue malu nyeritain ortu gue yang udah jarang pulang, sekalinya pulang malah bikin anaknya ngedown. Beda banget res, iya gue tau dia mungkin bisa ngertiin gue. But afterall, you’ll never understand what someone went through until you wear the exact same shoes.”

Untuk pertama kalinya, hati Ares mencelos mendengar cerita temannya yang ternyata jauh lebih serius dari yang ia bayangkan. Yang ia tahu, Nakula adalah sosok anak sulung tangguh yang sejak kecil memiliki impian-impian besar. Ia pikir, ketika semua hal-hal menakjubkan berhasil diraih oleh Nakula, kedua orang tuanya akan memperlakukannya dengan lebih baik. Namun ternyata tidak, temannya itu masih sangat kekurangan rangkulan hangat yang ia impikan dari kedua orang tuanya.

“Gue tuh..” Nakula menghela napas untuk yang kesekian kalinya, matanya berkaca-kaca namun sekuat mungkin ia tahan tangisnya. “Gue kesel banget asli kenapa gue segitu cengengnya, kayak butuh banget gitu sama apresiasi dan pujian dari orang tua gue. Aneh gak sih? Padahal setiap hari orang-orang yang dukung gue ada aja. Mau di Twitter, artikel-artikel online, majalah, gue sadar kok banyak yang ngehargain gue. But why do i always want something i can’t have?”

Ares tanpa sadar ikut menghela napas, ia lalu menepuk-nepuk pelan punggung tangan Nakula yang ia letakkan di atas meja. “Nih dengerin,”

“Lo bingung kenapa lo tetep pengen banget diapresiasi sama ortu lo padahal banyak orang di luar sana yang selalu ngehargain lo? Ya karena orang tua lo itu salah satu significant role di hidup lo. Suka gak suka, terima gak terima, you want their affection because deep down you know you love them. Itu kenapa hal se-simple kata ‘selamat’ dari orang tua lo aja bisa punya bigger impact ketimbang paragraf panjang yang dikirimin sama pendukung lo di sosmed. You want it because they’re dear to your heart, or because they’re the reason you even started modeling in the first place, to show them that you can be the little kid they’re proud of.”

The little kid they’re proud of..” Nakula menyeka air matanya yang akan turun dengan terburu-buru, senyumannya kembali muncul namun tampak begitu getir. “Will i ever be that kid to them?”

Ares mengendikkan bahunya, “I don’t know, to be honest. Tapi kalo pun mereka belum bisa bangga sama lo, masih ada gue yang bakal selalu bangga sama lo. Ada Shiloh, ada Vara juga. We’re nowhere near your parents, but trust me we do love you from the bottom of our hearts, and will forever be proud of what you are as a person, and what you do for the rest of your life.”

Tidak ada kata terima kasih yang cukup untuk Nakula ucapkan kepada Ares, ia pun hanya berakhir tersenyum dan mengangguk.

Setidaknya ada Ares, setidaknya ada Shiloh, setidaknya ada Vara.

Untuk saat ini, mungkin itu sudah lebih dari cukup.

--

--