The right person

shaf
4 min readJun 9, 2022

--

Jam dinding berwarna putih itu menunjukkan pukul sembilan lebih 30 menit, seharusnya Shiloh akan sampai di rumah sebentar lagi. Nakula tidak tahu pasti apa yang membuat dirinya nekat melakukan hal ini, namun di kepala Nakula selama ini, Shiloh selalu melakukan segala macam hal untuknya. Kali ini, Nakula ingin Shiloh tahu bahwa ia juga akan melakukan hal yang sama untuknya.

Oleh karena itu, dengan kemampuan memasaknya yang terbatas, ia sudah memulai kegiatan masak-memasaknya sejak kurang lebih satu jam yang lalu. Saat memasuki rumah Shiloh, Ia disambut baik oleh Wilona — yang ternyata sedang menginap di rumah Shiloh — dengan berbagai pujian dan pertanyaan seputar karir modelingnya. Nakula dengan senang hati menjawab segala pertanyaan dari Wilona, bahkan keduanya cepat sekali akrab karena kebetulan memiliki banyak ketertarikan yang sama.

Sebenarnya, menu yang Nakula buat sangatlah simpel. Ia memilih menu nasi goreng dengan beberapa potongan ketimun dan tomat sebagai hiasan. Tak lupa telur mata sapi yang membuat tampilan hidangan itu menjadi lebih menarik. Kalau menu ini dimasak oleh orang yang sudah berpengalaman, pastilah hanya membutuhkan 10–15 menit. Berbeda lagi dengan Nakula yang membutuhkan waktu satu jam untuk menyelesaikannya.

Bel pintu utama rumah Shiloh tiba-tiba berbunyi dengan nyaring. Tanpa berpikir panjang, Nakula langsung bangkit dari tempat duduknya dan berjalan dengan sedikit tergesa-gesa.

“Hai!” Sapa Nakula tepat setelah ia berhasil membuka pintu.

Yang disapa pun melebarkan mata, dan sepersekian detik setelahnya tersenyum lebar sambil membawa Nakula ke pelukannya. “Hai. Kok kamu di sini?”

Posisi keduanya masih saling berengkuhan, dengan puncak kepala Nakula yang tiba-tiba saja dihujani kecupan-kecupan kecil oleh Shiloh.

Nakula terkekeh geli. Ia lalu mengangkat kepalanya untuk menatap Shiloh, “Gapapa, aku pengen aja. Masuk, yuk!”

Seperti tersadar akan sesuatu, Nakula sedikit memiringkan kepalanya. “Eh? Kan ini rumah lo ya?”

Shiloh melepaskan pelukan keduanya sambil tertawa, ia lalu mencubit kedua sisi pipi Nakula dengan gemas. “My adorable baby.

Setelah Shiloh usai mandi, Nakula langsung menarik Shiloh ke arah di mana ia meletakkan tas bawaannya. Ia kemudian memasangan sebuah sheet mask, diikuti beberapa perawatan wajah lainnya. Tidak usah ditanya, Shiloh senang sekali mendapat segala macam perawatan setelah hari yang melelahkan. Wajah dan tubuhnya seketika benar-benar terasa segar.

“Shil..” Tangan Nakula bergerak untuk merapihkan beberapa skincare miliknya yang berserakan, “Tadi gue nyoba masak buat lo. Mau makan ga?”

Shiloh yang awalnya fokus memainkan ponsel ditangannya seketika mengangkat kepalanya, matanya berbinar bersamaan dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat. “Mau! Mau mau.” Ujarnya antusias yang mengundang kepanikan untuk Nakula.

“E-eh, tapi ekspektasinya jangan tinggi-tinggi ya. Ini beneran pertama kalinya gue masak buat orang lain. Kalo soal rasa gue gatau, tapi kalo kebersihannya aman kok, tenang aja.” Nakula menjelaskannya dengan senyuman yang hampir terlihat seperti ringisan, membuat Shiloh terkekeh melihatnya.

“Gapapa, Na. Santai aja. Lagian kan yang nyobain aku, bukan Chef Juna.”

Seperti bergantian, kini Nakula yang tertawa mendengar perkataan Shiloh. “Yaudah bentar, aku ambilin dulu ya. Airnya mau dingin atau ngga?” Tanya Nakula yang sudah setengah berjalan ke arah dapur.

“Dingin boleh. Thank you, buttercup.”

Nakula mengacungkan ibu jarinya ke udara, tidak tahu juga apa itu akan terlihat oleh Shiloh atau tidak. Tak lama kemudian, Nakula kembali ke ruang keluarga dengan sepiring nasi goreng di tangan kanannya beserta segelas air dingin. Ia perlahan-lahan meletakkannya di atas meja bersamaan dengan jantungnya yang berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Menurut Nakula, membuat orang lain mencicipi makanan yang ia buat sungguh lebih mengerikan ketimbang ia harus melangkahkan kakinya di PFW tahun lalu. Ini jauh lebih menegangkan.

“Aku cobain yaa..” Ucap Shiloh yang tangannya memegang sendok dengan gunungan nasi di atasnya. Nakula terlalu grogi untuk mengatakan sepatah kata pun, ia akhirnya hanya mengangguk sebagai balasan.

Sesendok nasi goreng buatan Nakula itu berhasil masuk ke dalam mulut Shiloh. Nakula yang duduk disebelahnya menunggu reaksi Shiloh dengan cemas, ia takut makanannya tidak layak untuk dimakan.

Shiloh mengunyah nasi goreng tersebut dalam diam namun cepat, ia kemudian menoleh ke arah Nakula sambil tersenyum. “Oke kok, Na. Cuman mungkin besok-besok dikurangin sedikit aja garamnya. The rest is actually good, you cooked it well.”

“Y-yah, keasinan ya, Shil? Kalo gaenak gapapa, gausah dimakan. Gue orderin aja nih sekarang, ya?” Ucap Nakula dengan nada panik yang begitu kentara. Ia sungguh tidak mau Shiloh menghabiskan makanan yang tidak enak setelah hari yang melelahkan untuknya. Ia lalu mencoba menarik piring tersebut dari hadapan Shiloh, namun tangannya kalah cepat dengan tangan Shiloh yang langsung menahannya.

“Kok diambil, Na? Aku mau makan ini aja. Gausah pesen, ya?”

“Serius gapapa, Shil?”

“Iya, sayang.”

Yang awalnya merasa panik, ia kini tersipu malu mendengar panggilan yang Shiloh lontarkan untuknya. Nakula lalu tersenyum kecil sambil memperhatikan Shiloh makan dari sebelahnya.

Nakula seringkali kagum dengan Shiloh. Selain berbakat dalam bidang sepak bola, laki-laki ini memiliki paras yang persis seperti pahatan patung mahal. Garis wajahnya tegas, hidungnya yang mancung, sepasang alis yang tebal dan menukik pada sudut yang tepat, juga matanya yang bulat dan selalu bersinar indah. Nakula tahu betul, orang-orang seperti Shiloh ini pasti digandrungi oleh banyak muda-mudi lainnya. Sehingga, rasanya hampir seperti mimpi yang terlalu indah untuk menghadapi fakta bahwa Shiloh menginginkannya. Terlalu sulit untuk dipahami, pikir Nakula.

“Shil, kalo nanti tiba-tiba lo berubah pikiran dan ketemu sama orang lain yang lebih cocok sama lo, kejar aja ya. I’ll always support your decision.”

Kalimat Nakula tadi membuat Shiloh refleks menoleh dengan tatapan kebingungan. Ia lalu meletakkan piring yang ada di tangannya ke atas meja kemudian menggenggam kedua tangan Nakula dengan erat.

“Kok kamu ngomongnya gitu?”

“Gapapa, kepikiran aja kayaknya kamu bisa dapetin yang lebih baik.”

Shiloh menggeleng ia lalu memajukan wajahnya untuk mengecup kening Nakula dengan cukup lama. “Kalo ada yang lebih baik juga emangnya kenapa, Na? They’ll never be you. I only want you, Cheri.”

Perkataan Shiloh membuat hatinya bergetar. Sepertinya untuk pertama kali dalam hidupnya, ia telah memberikan hatinya kepada orang yang tepat.

--

--