Through Shiloh’s eyes

shaf
4 min readAug 20, 2022

--

Waktu sudah menujukkan pukul dua malam. Kebanyakan orang-orang sudah tidur, namun tidak dengan Shiloh, Nala, dan Emir yang kini masih sibuk meneguk minuman di genggaman masing-masing.

Entah sudah gelas keberapa, namun masih tidak ada kalimat berarti yang Shiloh keluarkan. Ia hanya sibuk menertawakan tingkah konyol Nala yang sebenarnya dilakukan semata-mata untuk menghibur Shiloh. Shiloh itu orang yang terbuka, ia pandai membagikan apa yang ia rasakan dengan baik tanpa membuat lawan bicaranya merasa terbebani. Sejauh ini, Nala hampir tidak pernah melihat Shiloh merasa sedih sampai-sampai ia sulit menceritakannya. Oleh karena itu, ketika ia mendapati sahabatnya tak mengeluarkan kalimat apapun tentang masalah yang ia alami, Nala tahu Shiloh sedang mengalami sesuatu yang begitu berpengaruh padanya.

Nala yang awalnya berdiri di dekat TV bak menggantikan pertunjukkan yang ada di layar kaca itu akhirnya beringsut duduk mendekati Shiloh, “Shil, udah Shil. Ini gue stand up comedy udah mau sejam lo belom cerita juga. Pegel nih gue,”

Shiloh tidak sepenuhnya mabuk, ia masih bisa memahami pertanyaan Nala dengan jelas. Shiloh tertawa pelan, “Coba tanya gue aja deh, Nal. Gue gatau mau ngomong apa.”

Nala seketika duduk tegak sambil membenarkan kerah bajunya bak seorang reporter, “Oke, jadi lo kenapa sedih bener, Shil? Berantemin apa lo sama Nakula?”

Shiloh kini tersenyum tipis, namun entah kenapa senyumannya terlihat menyakitkan di mata Nala. “Nakula ternyata diteken banget Nal sama ibunya. Ibunya tipe orang tua yang mungkin gatau cara apresiasi anak dengan baik, omongannya emang ngejatohin Nakula banget. Dan yang bikin parah tuh ya.. omongan orang-orang di internet, Nal.”

Emir yang sedari tadi hanya memperhatikan percakapan Nala dan Shiloh pun mulai menyadari sesuatu, “Terus? Yang bikin lo sedih sampe kayak gini apa?”

Shiloh tiba-tiba saja menenggak sisa minuman yang masih tersisa di gelasnya, “Gue… Juga secara gak langsung bikin dia makin ngerasa buruk sama dirinya sendiri.”

Kening Nala berkerut, “Maksudnya?”

“Orang-orang entah kenapa sering bilang dia gak pantes buat gue, katanya gue lebih mending sama si a, b, c. Padahal lo pada juga tau kan sesayang apa gue sama Nakula? Kalo ada orang yang mendekati sempurna atau bahkan beneran sempurna juga gue gak peduli, bangsat. Gue cuman mau Nakula.” Nada bicara Shiloh begitu frustasi, deru nafasnya pun tak beraturan.

Shiloh lalu memejamkan matanya, menarik nafas perlahan sambil menjentikkan jarinya di sisi gelas yang masih ia genggam. “Gue kira selama ini sumbernya cuman omongan jahat itu aja, tapi ternyata gue juga ambil peran. Selama dia ngeluapin perasaannya semalem, dia terus-terusan bandingin hidup gue sama hidup dia. Dia bilang gue dateng dari keluarga baik-baik, gak kayak keluarga dia. Dia bilang semua orang sayang sama gue, gak kayak orang-orang ke dia. Dia bener-bener bandingin semua aspek hidupnya sama hidup gue…”

“Lo sedih karena dia secara gak langsung nyalahin lo?” Tanya Emir dengan asap rokok yang menguar dari mulutnya.

“Itu gak seberapa. Gue lebih sedih lagi karena ternyata selama ini omongan gue bisa disalah artiin sama dia…”

Nala semakin merasa kebingungan, “Gimana, Shil? Lu mabok kok makin rumit, anjing?”

“Ya lo bayangin, Nal. Selama ini dia cerita ke gue kalo ada masalah, kecuali masalah yang terakhir itu. Terus gue biasanya sebisa mungkin nenangin dia dan kasih saran sebisa gue. Ternyata apa? Ternyata dia bandingin hidupnya sama gue, Nal. Sama orang yang kasih saran ke dia. I feel horrible… I feel so fucking horrible.”

Shiloh kembali membuang nafasnya dengan kasar, “Ngerti gak sih maksud gue? Gue secara gak langsung bikin dia ngerasa buruk juga karena gue bisa dengan gampang nyaranin dia ini itu sementara dia sendiri tau hidup gue gak serumit hidup dia. Istilah kasarnya kayak ngeliat konglomerat ngomong ‘kalo mau sukses ya kerja’ padahal ya lo tau semuanya gak segampang itu.”

Emir dan Nala seketika bertatapan dengan satu sama lain, “Gue ngerasa kayak orang paling tolol selama ini, sok-sokan bikin pacar gue tenang dengan ngomong ini itu di posisi dia yang bandingin hidupnya sama hidup gue. Mungkin kalo gue di posisi dia gue juga akan marah, i indeed don’t know how it feels like to be in his shoes, gue beneran kayak orang tolol.”

“Shil.. tapi kan lo juga gatau kalo ternyata dia separah itu bandinginnya. Bukan salah lo gak, sih..” Ucap Nala hati-hati, takut menyinggung Shiloh yang sedang dalam suasana hati yang kurang baik.

“Gatau, gue tetep ngerasa bersalah aja udah banyak bacot soal kehidupan dari a sampe z yang ternyata hidup gue gak ada apa-apanya sama apa yang harus Nakula terima setiap hari. Gue sedih karena ternyata… i never really understood him.” Kelopak matanya kini kembali terbuka, bersamaan dengan air matanya yang mengalir begitu saja.

Shiloh tiba-tiba terkekeh miris, “He also said that i don’t actually love him and stuff. That hurts the most.”

Emir pun menggaruk tengkuknya, ia tahu betul betapa gilanya Shiloh jika sudah berhubungan dengan Nakula. “You feel invalidated.. ya?”

“Kindai know he said that out of anger but it does hurt. Gue pengen nemenin dia tadi, tapi kayaknya gak bisa. Dia marah banget, gak keliatan bakal berenti juga. Gue takut jadi ikut emosi dan situasinya makin runyam, jadi gue pikir lebih baik gue pergi dulu tadi.”

Nala menepuk lutut Shiloh beberapa kali, “You did the right thing. Gue tau lo bakal lebih nyesel kalo lo malah ikut marah. Mungkin baiknya emang lo berdua tenangin diri lo sendiri dulu.”

Emir pun mengangguk, “Bener. Tapi lo jangan jadi nyalahin diri lo ya, Shil. You didn’t know about this beforehand, gue ngerti lo sebelum-sebelumnya pasti coba ngasih advice yang emang do-able. Niat lo baik, tapi mungkin lo berdua emang belum seterbuka itu satu sama lain, dan akhirnya malah jadi kayak gini…”

Shiloh tidak menjawab, karena dalam hati kecilnya ia menyetujui hal tersebut. Mungkin masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang Nakula, meski ia awalnya yakin mereka sudah sama-sama memahami.

But maybe they haven’t.

There’s always part of you that you’re too embarassed to share with anyone, even with those people you absolutely trust with your whole life.

--

--