Kalau boleh jujur, sebenarnya Shiloh cukup panik sekarang. Setelah mendapatkan informasi mencengangkan dari akun gosip yang ia hubungi sebelumnya, ia kini harus memikirkan bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada Nakula. Tentunya, ini tidak akan mudah untuk diterima oleh Nakula tapi mau bagaimana pun Shiloh harus tetap menyampaikannya.
Sejak 30 menit yang lalu, Shiloh terduduk di depan pintu kamar milik Nakula. Sudah beberapa kali Shiloh berusaha mengetuk dan mencoba membujuk Nakula untuk membuka pintu, namun berulang kali hanya di balas dengan kata nanti dulu oleh Nakula. Namun Shiloh tetap lah Shiloh, ia sama sekali tidak berpikiran untuk pergi walaupun pintu tersebut tak kunjung terbuka. Ia kini sudah memikirkan akan tidur di ruang tamu jika Nakula masih tidak mau membuka pintunya hingga larut malam.
Segala skenario bermalam di ruang tamu itu pun akhirnya dibuyarkan oleh decitan pintu kamar Nakula yang perlahan-lahan terbuka, menunjukkan seorang pria dengan setelan celana panjang dan hoodie kebesaran berjalan dengan mata yang sangat merah dan bengkak ke arah Shiloh.
Wajah Nakula begitu datar, namun matanya tak bisa berbohong bahwa ia sedang merasa sangat kesakitan sekarang. Shiloh pun tak ingin mengatakan apapun, ia hanya berdiri lalu berjalan untuk memeluk Nakula dengan erat. Ia beberapa kali mengusap-usap bahu Nakula juga mengecup puncak kepalanya.
“It’s okay, i’m here now.” Hanya itu yang akhirnya Shiloh katakan setelah saling berpelukan entah berapa menit lamanya.
Nakula yang masih menyembunyikan wajahnya pada dada bidang milik Shiloh berakhir tersenyum kecil. Bahkan tanpa mengatakan apapun sedari tadi, Shiloh berhasil membuat Nakula merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Mungkin benar kata orang-orang, nama adalah sebuah doa yang terus menempel pada kita sampai kapan pun. Maka begitu juga lah yang terjadi pada Shiloh sekarang, kehadirannya selalu membawa kedamaian, keadilan,
And for most, tranquility.
Setelah acara memasak dan makan malam bersama, kini Nakula dan Shiloh sudah kembali berada di kamar Nakula sambil berbaring menghadap satu sama lain. Mereka berdua memang saling bertukar cakap, namun Shiloh sendiri memiliki tugas tambahan untuk otaknya demi memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan kepada Nakula kejadian yang sangat tidak mengenakkan ini.
“Iya, nanti paling aku coba minta cuti tambahan sama Pasha.” Nakula lalu menoleh ke kanan, berusaha meraih ponselnya yang ia letakkan di nakas kecilnya.
Ia lalu kembali berhadapan dengan Shiloh yang masih menatapnya lekat-lekat, Nakula pun mengerutkan salah satu alisnya. “Kenapa, Shil? Is there anything you want to say?”
Shiloh berdeham kecil, cukup malu ternyata ekspresinya terlalu jelas menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu.
“Uh.. I contacted PISB this afternoon. And.. i got something from them…”
Ponselnya yang awalnya ingin ia buka pun ia letakkan kembali ke atas nakas, Nakula kini terfokus pada ucapan Shiloh.
“Huh? What did they say?”
Shiloh buru-buru menggenggam salah satu tangan Nakula, seperti menyalurkan energi sebelum ia mulai menyampaikan ceritanya. “Remember there’s one verified account who replied to their story?”
Nakula hanya mengangguk, berharap Shiloh segera melanjutkan kalimatnya.
“They sent me the screenshot, it was Gaffi. Your friend, Na.”
Bukannya mengeluarkan air mata atau bereaksi yang menggambarkan kesedihan lainnya, Nakula justru tersenyum miring.
“Ah, of course.”
Reaksi Nakula jauh dari ekspektasi Shiloh, yang justru membuatnya kebingungan bukan main.
“What do you mean?”
“Aku gatau ya orang lain kayak gini juga atau ngga. Tapi sejak aku mulai terkenal dan adaaa aja orang yang selalu mau manfaatin aku, aku tuh bener-bener jaga banget pertemanan aku. Kalo kamu tau, aku sekarang cuman masih sering kontakan sama ares gaffi aja, karena aku kira mereka tau lah struggle jadi public figure itu kayak gimana. Cuman, itu pun masih tetep aku batasin. Aku gak pernah cerita macem-macem ke mereka, selain soal kian waktu itu. Yang tau semuanya tentang aku itu cuman Pasha, manajer sekaligus sahabat aku dari kecil. Aku cuma percaya sama dia dari dulu. Makanya aku gak kaget pas kamu bilang pelakunya itu Gaffi, karena aku udah tebak aja, sewaktu-waktu pasti bakal ada drama kayak gini kalo kita temenan sama orang yang sama-sama butuh popularitas buat bisa bertahan hidup.”
Shiloh tercenenung mendengar tutur kata yang keluar dari bibir Nakula. Penjelasan itu sebenarnya masuk akal, namun begitu menyakitkan di matanya.
“Are you okay, Na? I mean.. i know you considered him as one of your friends, right?”
Nakula bergeser maju, ia kini kembali memeluk Shiloh dan menyembunyikan wajahnya.
“Sedih sih, tapi mau gimana lagi.”
Itu adalah kalimat terakhir yang Nakula ucapkan, sebelum akhirnya Shiloh merasakan kaus yang sedang dikenakannya perlahan-lahan mulai basah.
Shiloh tahu ini bukan waktu yang tepat untuk menenangkan Nakula dengan kata-kata, maka yang ia lakukan hanyalah merengkuh Nakula dengan lebih erat, membiarkannya menumpahkan segala air mata yang saling mendesak untuk keluar.
Tangan Shiloh tergerak untuk mengusap punggung Nakula yang kini terkesan semakin rapuh. Ia lalu mengecup puncak kepala dan dahi Nakula beberapa kali, sampai akhirnya keduanya saling bertatapan.
“Kalo dulu kamu cuma bisa percaya sama Pasha, sekarang kamu bisa percaya sama aku juga. Mau seburuk apapun orang lain perlakuin kamu, i’ll never turn my back on you.”
Nakula tidak menjawab, ia hanya tersenyum lebar dan perlahan-lahan menempelkan bibirnya di atas bibir milik Shiloh.
Itu sudah lebih dari sekedar jawaban, bukan?