What destroys him

shaf
5 min readJul 28, 2022

--

Sejak menapakkan kakinya di rumah selama kurang lebih dua jam, Nakula sampai sekarang belum melihat keberadaan kedua orang tuanya. Mereka masih tertidur ketika Nakula sampai karena waktu memang masih menunjukkan pukul 8 pagi di Jakarta. Maka dari itu, Nakula yang tidak merasa mengantuk memilih menghabiskan paginya di depan televisi sambil meminum secangkir teh panas buatannya. Sebenarnya ia ingin mengirimkan pesan kepada Shiloh, namun mengingat perbedaan waktu Jakarta dan Paris terpaut sekitar 5 jam, Nakula tidak ingin membangunkan Shiloh yang masih berada di waktu dini hari. Oleh karena itu, ia mengurungkan niatnya dan kembali mencari-cari tontonan yang lebih menarik untuk ia saksikan.

Sekitar 20 menit terlewati, terdengar langkah samar-samar dari lantai atas rumahnya, menunjukkan seorang wanita dan pria paruh baya yang sudah lama sekali tidak bertukar sapa dengan Nakula.

Nakula refleks berdiri, berjalan sedikit terburu-buru ke arah kedua orang tuanya sambil memeluk mereka di satu waktu.

“Ma, Pa, apa kabar?” Ucap Nakula yang masih sibuk membenamkan wajahnya pada bahu sang ibu.

Diana —ibu Nakula — pun tersenyum tipis, mengusap punggung anak sulungnya dengan lembut sambil menepuknya sesekali. “Baik, Kak. Kakak sama dede baik juga, kan?”

Nakula perlahan melonggarkan pelukannya, ia lalu menatap kedua orang tuanya dengan datar. “I’m okay. Kalo dede harus ditanyain ke orangnya langsung sih.” Seperti tersadar akan sesuatu, Nakula mengerutkan alisnya. “Lho, emang mama sama papa belom ngobrol sama dede?”

“Udah tapi sedikit. Dede cuman sehari di rumah pas mama papa pulang, sisanya katanya dia ada pemotretan gitu jadi nginep di rumah temennya soalnya lebih deket.” Ujar Diana panjang lebar sambil berjalan ke arah ruang makan untuk melihat masakan yang telah tersaji.

Nakula tahu betul Vara bukan tipe anak yang suka menginap di rumah temannya jika ia memang ada keperluan kerja, ia biasanya lebih memilih untuk menyewa sebuah kamar hotel ketimbang harus merepotkan salah satu temannya. Sebenarnya ini mudah sekali disimpulkan, Vara merasa kurang nyaman bersama orang tuanya tanpa ada Nakula.

“Kak, makan dulu yuk. Bangunin dede juga, kita makan sama-sama.” Ujar Diana sambil mengisi gelas-gelas kosong yang ada di meja makan satu-persatu.

Nakula pun mengangguk, berjalan menaiki tangga dengan perasaan campur aduk, hatinya tahu acara sarapan bersama ini tidak akan seharmonis yang kedua orang tuanya bayangkan.

Tepat seperti dugaannya, sarapan bersama dengan formasi keluarga yang lengkap ini benar-benar aneh, setidaknya untuk Nakula dan Vara. Keduanya terbiasa menghabiskan banyak waktu berdua, tanpa kedua orang tuanya. Sehingga, dengan adanya kedua orang tua mereka di sini membuat perasaan canggung bermunculan entah dari mana.

Ricky — ayah Nakula — berdeham pelan, tersenyum ke arah kedua anaknya sebelum akhirnya bersuara. “Kakak, dede, gimana beberapa bulan belakangan ini? Baik?” Ujar Ricky dengan suara lembut.

Nakula mengangguk kecil, tangan kanannya tetap sibuk menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, menyibukkan diri sambil memikirkan sebuah obrolan yang bisa ia bangun dengan kedua orang tuanya.

Di sisi lain, Vara juga hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Benar-benar tidak tahu apa yang harus ia bicarakan kepada kedua orang tuanya setelahnya.

Nakula meneguk air mineral dari gelasnya dengan cepat, ia lalu mengangkat kepalanya untuk menatap kedua orang tuanya. “Ma, Pa, kemarin kakak ikut PFW lagii.. hehe. Ternyata masih dipanggil sama Chanel, dijadiin ambassador juga.”

Diana mengangguk, sedikit menaikkan dagunya sambil menatap Nakula serius. “Emang ngapain aja sih kak itu? Kok kamu kayak selalu bangga-banggain banget.”

Tidak menyangka kalimat sederhananya akan langsung diserang begitu saja oleh sang ibu, Nakula pun mencoba menghadapinya dengan sabar. Ia mulai menjelaskan satu-persatu cara kerja Fashion Week dan mengapa hal itu sangat penting bagi karirnya.

Tidak sedikitpun senyuman terukir di wajah Diana, ia hanya mengangguk sambil kembali menyuap makanannya. “Oh, gitu aja toh. Kirain mama yang gimana banget.”

Nakula refleks menahan nafasnya mendengar ucapan sang ibu, lagi-lagi usahanya dipandang sebelah mata oleh sang ibu. Vara yang menyadari situasi macam apa yang sedang terjadi mulai mengelus tangan kanan Nakula yang ia letakkan di atas lututnya, berharap memberi sedikit ketenangan untuk sang kakak yang ia ketahui telah benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan itu semua.

Ricky juga menyadari bahwa ucapan istrinya terlalu menyakitkan, ia lalu berdeham, menyenggol pelan bahu Diana. “Ma, gak boleh begitu.” Ucap Ricky singkat, tanpa embel-embel menjelaskan kesalahan Diana atau mungkin menyampaikan sesuatu pada Nakula untuk memperbaiki perasaannya.

Diana menoleh ke arah sang suami, “Emangnya kenapa? Kan mama tadi cuma nanya dan ternyata emang begitu doang kan PFW itu.”

Nakula yang memang masih kelelahan akibat perjalanan belasan jam dari Paris pun merasakan emosinya tersulut, ia meletakkan sendok garpunya di atas piring dengan tenaga yang sengaja ia lebihkan, menghasilkan bunyi berdenting yang cukup nyaring. “Ma, daripada ngerendahin Nakula kayak tadi, padahal mama bisa tanya loh Nakula harus persiapin apa aja sebelum ke sana, di sana siapa yang in charge selama shownya, outfit yang Nakula pake kayak gimana aja. But instead, you chose to lower my job. Nakula juga ga minta dipuji, Ma. Cukup kita ngobrol normal aja kayak orang tua dan anak pada umumnya, tanpa perlu ngerendahin Nakula kayak tadi.”

Bukannya menyadari kesalahannya, Diana justru merasa disindir oleh anak sulungnya. Kini wajahnya terlihat masam, alisnya mengerut dan kedua tangannya pun mulai ia lipat di depan dadanya. “Loh? Ngerendahin gimana sih, Kak? Mama ngomong kayak tadi ya supaya kamu tetep aim higher aja, jangan mudah puas sama segala sesuatu. Buktinya banyak kan orang lain yang ikut PFW? Gak kamu aja, Kak.”

Nakula terkekeh, “Dari indo cuman ada 2 orang, Ma. Yang jadi brand ambassador Chanel juga cuman aku. Mama mau aku aim setinggi apalagi? Mau aku sampe punya clothing brand sendiri yang seelit Loro Piana dan jajarannya?”

“Iya, mimpi ya harus tinggi, Kak. Kalo kedeketan mah bukan mimpi, kerjaan biasa.” Ujar Diana dengan tatapannya yang tak terputus sama sekali dari Nakula.

Nakula tahu ia sudah tidak bisa lebih lama lagi menahan amarahnya. Oleh karena itu, ia bangkit dari kursinya, menutupnya rapat dengan meja makan dan meneguk sisa air yang ada dalam gelasnya. “Ma, ini bukan masalah aim higher atau ngganya. Ini masalah mama sama papa yang gak bisa kasih Nakula sama Vara apreasiasi atas semua yang udah kita usahain. Anjing yang abis lakuin tricks duduk, berdiri, tangkep bola dikasih treats enak sama majikannya, mama yakin anak mama yang tiap hari kerja sana sini buat banggain mama harus mama rendahin keberhasilannya kayak gini?”

Mendengar persamaan yang tidak mengenakkan, Diana jelas marah. Ia hampir saja mengejar Nakula yang kini mengambil kunci mobil dan berlari keluar dari rumah. “Na, mama gak pernah ngajarin kamu kurang ajar begitu, ya!” Serunya dari dalam rumah.

Nakula sama sekali tidak memperdulikannya. Yang ia tahu, sudah cukup dirinya direndahkan seperti itu. Untuk saat ini ia benar-benar tidak bisa berhadapan langsung dengan kedua orang tuanya. Bersamaan dengan mobilnya yang mulai menyala, air matanya menetes tepat di saat ia menginjak pedal gas yang segera memajukan mobilnya.

Kalau boleh jujur, Nakula juga sudah jarang berharap pujian dari kedua orang tuanya. Tapi kenyataannya semakin memburuk, karena untuk sekedar menghargai pekerjaannya tanpa menjelekkan segala hal yang telah ia usahakan pun ternyata mereka tak bisa.

--

--