Wonderful

shaf
5 min readJun 29, 2022

--

Pertandingan final yang dihadapi oleh kesebelasan Indonesia dilaksanakan secara privat. Dalam artian, tidak ada penjualan tiket di kursi tribun seperti biasanya dan hanya dapat disaksikan melalui siaran langsung di beberapa stasiun televisi nasional.

Oleh karena itu, setelah pertandingan yang dimenangkan oleh kesebelasan Indonesia itu usai, suasana stadion yang megah ini mendadak sepi drastis. Hampir seluruh pemain sudah melenggang pulang ke rumahnya masing-masing, kecuali Shiloh dan Nala. Ada pula beberapa staff lainnya yang masih sibuk membereskan segala keperluan tim juga petugas kebersihan yang sedang membersihkan arena.

“Shil, pulang ayo ah. Ngapain anjir lu di sini? Mau nginep?”

Shiloh mendengus mendengar pertanyaan dari Nala, “Ya ngga. Gue nungguin Nakula, dia lagi otw ke sini.”

Nala yang memang sedang meneguk air minumnya seketika tersedak. “Aduh. Emangnya mau ngapain anjir nyusulin lo ke sini?”

Shiloh mengendikkan bahunya, “Gatau juga. Liat nanti aja paling, dia cuma nyuruh gue nunggu di sini.”

Mendengar jawaban Shiloh yang terkesan begitu pasrah, Nala menunjukkan ekspresi kegelian yang dibuat-buat. “Najis banget, Ya Tuhan. Orang lagi jatuh cinta kayaknya emang begini ya? Dibilang A manut-manut aje, dibilang C juga ayo.”

Shiloh tidak mengelak, ia hanya tertawa mendengar omongan Nala yang sebenarnya memang tidak salah. Kalau perasaan sudah ikut campur dalam sebuah urusan, logika seperti sudah tidak ada harga dirinya di sana.

Nala lalu menyampirkan tasnya di bahu, “Yaudah, gue balik duluan ya. Minumnya besok aja dah, si Emir juga belom ada kabar lagi.” Ia lalu mengulurkan tangannya untuk melakukan tos, sebuah kebiasaan mereka dengan seluruh rekan tim sepak bola.

Nala lalu menunjuk ke arah pintu masuk, “Lah itu Nakula. Yailah gemes amat nyet pake bucket hat.”

Shiloh seketika menoleh ke arah pandangan Nala, ia lalu meletakkan telapak tangannya tepat di depan mata Nala. “Merem lo.”

“Buset iyeee, mohon maaf lahir batin ya, Shiloh. Nakula sorry ya mata gue gak sengaja ngeliat lo.” Ucap Nala tepat ketika Nakula sudah berdiri di hadapan mereka berdua.

Nakula hanya tersenyum kikuk, kebingungan akan apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya.

“Biarin aja, emang gak jelas dia.”

“Yang jelas emang yang lagi jatuh cinta doang!”

Shiloh dan Nakula pun serempak tertawa, melihat punggung Nala yang semakin menjauh di ujung koridor.

Kembali mengalihkan tatapannya kepada Nakula, Shiloh tanpa sadar menggenggam salah satu tangannya sambil tersenyum. “Hai, kamu jadi bawa mobil sama supir kamu?”

Nakula mengangguk sambil tersenyum, “Jadi. Nanti pas kita keluar sekalian kasih kunci mobil kamu dulu yaa.” Ia lalu merogoh tas selempang yang ia bawa dan mengeluarkan sebuah handuk kecil. Tanpa mengatakan apapun, Nakula mulai membersihkan sisa keringat yang ada di wajah Shiloh.

Karena perbedaan tinggi mereka, Nakula harus sedikit berjinjit untuk meraih bagian dahi Shiloh. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Shiloh langsung menyadarinya dan ia pun segera menyesuaikan tingginya agar tidak membuat Nakula kelelahan.

“Ih gapapa, Shil. Nanti kamu pegel kalo kayak gitu.”

Shiloh menggeleng, “Gapapa, Na. I don’t mind.” Ucapnya sambil tersenyum dan memandangi Nakula yang kini terkesan lebih tinggi darinya. Kali ini Nakula mengenakan celana bahan berwarna hitam yang dipadukan dengan sweater berwarna coklat muda. Tak lupa bucket hat biru mudanya serta masker yang membuat figur wajahnya semakin kecil dan sangat menggemaskan di mata Shiloh. Hidungnya pun sedikit menyembul akibat maskernya yang merosot turun, membuat tangan Shiloh tak tahan untuk tidak menjawilnya.

Nakula hanya tersenyum melihat ulah jahil Shiloh, otaknya pun seketika mendapatkan ide baru. Setelah merasa selesai dengan apa yang ia kerjakan, Nakula mengembalikan handuk itu ke tasnya seperti semula lalu ia memegang kedua sisi kepala Shiloh yang masih berada lebih rendah darinya untuk kemudian ia berikan kecupan lembut di atas dahinya.

All done!” Nakula lalu kembali merogoh tasnya untuk mengambil ponsel, mengalihkan perhatiannya akibat ia merasa cukup malu atas perbuatannya barusan.

Shiloh pun terkejut, namun detik berikutnya ia tersenyum lebar sambil kembali berdiri dengan postur normal. Ia lalu menjawil salah satu sisi pipi Nakula, “Kita lagi kontes flirting apa gimana, Na? Kamu bikin aku deg-degan terus dari tadi pagi.”

Nakula yang awalnya memperhatikan layar ponselnya pun seketika tertawa, “Gatau, aku jadi ikutan seneng godain kamu kayak kamu godain aku.”

Shiloh menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, ia lalu melihat ada sebuah bola di dekatnya yang ternyata tertinggal dan belum dikembalikan ke tempat penyimpanan. Ia berlari kecil untuk menghampiri bola tersebut dan mengambilnya.

Shiloh baru saja ingin memanggil Nakula, namun ia melihat Nakula yang sedang menatap kosong ke arah rumput hijau di bawah kakinya. Tatapannya seperti seseorang yang tengah memikirkan sesuatu yang cukup serius.

Perlahan-lahan, Shiloh pun kembali menghampirinya lalu menepuk bahunya pelan. “Na, mau coba shoot bola ke gawang, ga? Kalo gol sekalii aja nanti aku kasih hadiah.”

Lamunan Nakula pun buyar, ia lalu menatap ke arah bola yang ada di pelukan Shiloh. “Emangnya aku boleh main di sini?”

“Gapapa, kan bareng sama aku.”

Tanpa mengetahui hadiah apa yang Shiloh maksud, Nakula pun mengangguk dan menyetujui saja. Ia lalu berjalan ke arah kotak penalti, berancang-ancang seperti hendak melakukan tendangan. Shiloh pun berjaga di depan gawang sebagai kiper, bersiap menerima tendangan dari Nakula.

“Kamu berdirinya di belakang bolanya dulu, terus nanti agak lari kecil sambil liat bagian bola yang mau kamu tendang. Terus usahain nendangnya pake punggung kaki kamu ya. Got it?”

Meski tidak terlalu paham, Nakula mengangguk saja. Ia akan mencoba melakukan shooting sesuai pemahaman dan instingnya saja.

Setelah mengambil posisi di belakang bola, Nakula pun segera mengeksekusi tendangan pertamanya. Mengejutkannya, tendangan tersebut berhasil membobol gawang yang Shiloh jaga, membuatnya terkejut bukan main.

“Eh? Kok gol? IH KEREN BANGET AKU!” Teriaknya pada Shiloh yang masih berdiri di depan gawang. Lawan bicaranya pun tertawa mendengar teriakan semangatnya yang berkobar di stadion yang hampir kosong ini.

Shiloh pun bertepuk tangan, ia lalu berlari kecil ke arah Nakula. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang sedang memperhatikan keduanya. Setelah dirasa aman, Shiloh pun menunduk. Ia memberikan kecupan kecil di bibir Nakula kemudian berbisik tepat di telinganya,

“Na, aku gatau kamu ada masalah apa hari ini. But, i just feel like you might need this reminder today. Whatever expectation people put on you, it’s never your responsibility to fullfill it. Whatever kind of jealousy people have over you, it’s not because you’re a bad person, it’s because you’re great and they want to be like you. Dan, kalo ada temen kamu yang bilang kamu jahat karena gak memenuhi keinginan mereka, i’m here to remind you that you’re not responsible of anyone’s happiness but your own. You’re a wonderful being, don’t let them tell you otherwise.”

Tepat saat kalimat Shiloh berhenti, air mata Nakula menetes. Ia buru-buru memeluk Shiloh untuk menyembunyikan wajahnya tanpa memedulikan sekitar. Pelukannya erat, hampir seperti menyelipkan kata terima kasih di antaranya.

Thank you, Shil. A-aku tadi..”

Shiloh menepuk-nepuk punggung Nakula perlahan, “Tell me some other time, baby. Don’t force yourself.”

Nakula pun tersenyum, ia lalu sedikit mendongak untuk menatap langit yang malam ini bertaburan bintang. Untuk pertama kalinya, ia merasa dunia berpihak kepadanya dengan menghadirkan lelaki dipelukannya sebagai tempatnya untuk pulang.

--

--