Worst of us

shaf
6 min readAug 13, 2022

--

Nakula sudah berada di taman sejak 10 menit lalu, jejak air matanya yang telah mengering masih dapat terlihat dengan jelas di atas permukaan kulit pipinya yang berubah kemerahan. Untungnya, Shiloh memang sedang berada di sekitar area rumah Nakula, sehingga ketika mendapatkan pesan tersebut Shiloh pun segera melajukan mobilnya secepat yang ia bisa menuju kediaman sang kekasih.

Dari kejauhan, Shiloh dapat melihat Nakula yang sedang duduk di bangku taman sembari memeluk kedua kakinya dengan erat. Ia belum mengetahui masalah apa yang sedang Nakula hadapi, namun hatinya ikut teriris melihat pemandangan di depannya.

Ketika mobilnya telah terparkir dengan sempurna, ia pun bergegas turun dan menghampiri Nakula. Hal pertama yang ia lakukan adalah duduk persis di sebelahnya sembari memeluk Nakula dari samping. Ia membubuhkan beberapa kecupan lembut di puncak kepala Nakula, sesekali mengelus punggungnya perlahan untuk menenangkan Nakula.

Setelah dirasa cukup, Shiloh pun melepaskan pelukannya. Ia lalu mengarahkan badan Nakula agar berhadapan dengannya, “Na, kamu kenapa? Mau cerita sekarang?” Ucap Shiloh dengan suara yang begitu lembut.

Nakula yang awalnya menunduk kini mulai menaikkan kepalanya perlahan, kakinya kini ia lipat agar dapat duduk bersila serta kedua tangannya ia gunakan sebagai tumpuan dagunya. “Shil, aku capek…”

Nakula menghela napas panjang, tersenyum miring sebelum melanjutkan kalimatnya. “Capek banget liat orang-orang ngatain aku padahal aku gak ngapa-ngapain. Aku selalu berusaha hindarin konflik sama orang lain bahkan sampe temenku tinggal Ares sekarang. Kurang apalagi sih? Aku ada salah apa ya sama mereka yang ngata-ngatain aku kayak gitu?”

“Kamu gak ada salah apa-apa sama mereka, Na. They’re clearly doing that because they — ”

“Tapi kenapa mereka sebenci itu Shil sama aku kalo aku emang gaada salah apa-apa?” Nada bicaranya tanpa sadar meninggi, nafasnya putus-putus bersamaan dengan dadanya yang naik turun dengan intens.

Shiloh terkejut bukan main, ia belum pernah sama sekali mendapati Nakula dengan amarah yang bergejolak seperti sekarang ini. Namun, ia tetap ingin memahami keadaan Nakula. Shiloh lalu meraih salah satu tangan Nakula untuk ia genggam,

“Na, tenang dulu oke? Pelan-pelan aja,” Ucap Shiloh sambil menatap Nakula tepat pada matanya.

Pada hari-hari normal, hal ini akan bekerja dengan baik. Nakula akan diam beberapa saat dan kembali menceritakan perasaannya dengan lebih tenang. Tapi hari ini, hal yang Nakula lakukan jauh diluar dugaan.

Nakula tiba-tiba saja menarik tangannya dari genggaman Shiloh dengan cukup kuat, “Tenang gimana, Shil? Aku udah berusaha sabar belakangan ini. But it’s only getting worse. Udah berkali-kali aku di-drag sana-sini padahal beneran gak abis ngelakuin apa-apa. Tiba-tiba aku dibilang pansos lah, gunain nama kamu lah, they even body shamed me now. Aku beneran jadi ngerasa ada yang salah sama diri aku.”

Shiloh pun menarik nafas, berusaha sabar dalam menghadapi situasi yang Nakula alami saat ini. “Iya, Na. Tapi inget gak apa yang aku bilang waktu itu? Gak mungkin semua orang bakal suka atau sependapat sama kita, just like how it’s impossible for us to like everyone, too. Kalo ada yang gak suka sama kamu — ”

“Ya tapi masalahnya yang gak suka sama aku bukan mereka doang, Shil. mama juga!” Nada bicaranya kembali meninggi, kedua tangannya ia kepal keras-keras di sisi tubuhnya.

“Mama?”

“Iya, mama. Aku capek banget Shil ngelakuin ini itu biar mama sama papa bangga, atau seengganya dihargain sedikittt aja. Capek, Shil. Rasanya kayak kejar-kejaran sama orang yang jalannya pake mobil, aku gak pernah bisa seimbangin pencapaian aku sama ekspektasi mama. Tau ga mama bilang apa tadi setelah pertama kalinya nonton show aku? Mama malah ngirimin list training model, Shil. Katanya walk aku masih kaku…” Kalimatnya memelan dan berganti dengan tangisan Nakula yang kembali pecah. Suara tangisnya begitu keras, sampai-sampai tenggorokannya tercekat beberapa kali.

Hati Shiloh ikut remuk melihat Nakula yang menangis dengan begitu keras. Ia ingin sekali membawa Nakula ke rengkuhannya, namun ia tahu Nakula sedang tidak menginginkan itu sekarang.

“Na, gak semua omongan orang harus kamu dengerin. Kalo kamu tau kamu udah lakuin sesuatu dengan maksimal, yang bisa kamu lakuin itu evaluasi ulang apa yang bisa ditingkatin. Orang lain yang komentarin kamu itu gampang na ngelakuinnya, yang tau susahnya kayak apa ngelakuin pekerjaan kamu ya cuma kamu. Biarin aja orang lain mau ngomong a — ”

Nakula tiba-tiba saja tertawa kecil, “Shil, do you even hear yourself?Orang lain yang lagi kamu bicarain itu mama aku, Shil. Orang tua aku.” Napas Nakula semakin tidak beraturan, ia melihat sekeliling sebelum akhirnya kembali menatap Shiloh tepat pada matanya,

But you know what? I guess i understand know. Aku paham kamu gak bakal bisa ngertiin posisi aku karena kamu dateng dari keluarga kecil yang bahagia dan saling menghargai, gak kayak keluarga aku. Aku tau mama sama papa kamu baik banget sampe mungkin mereka bikin kamu yakin kalo semua orang tua itu kayak mereka. Ngga, Shil. Ada orang tua yang selalu jatohin anaknya kayak orang tua aku.”

Nakula menghapus air matanya dengan kasar, “Orang tua aku gak pernah Shil muji aku, beda sama orang tua kamu yang baru pertama kali ketemu aku aja langsung bisa ngehargain kerja keras aku. Orang tua aku gak peduli sama aku Shil, beda sama orang tua kamu yang bela-belain dateng ke sini karena kangen sama anaknya. Orang tua aku malah pergi berbulan-bulan, Shil. Tanpa kabar, kayak mereka gak punya anak yang mereka tinggal di sini.”

“Itu kenapa aku gak bisa berenti dengerin omongan orang lain, Shil. Mama gak pernah komenin hidup aku, dan sekalinya komen pun pasti ngejatohin semangat aku. Aku terbiasa ngelihat hidup aku di-review sama orang di internet, karena itu satu-satunya bahan evaluasi aku. But it’s okay, i understand now. Kamu emang dateng dari keluarga bahagia, anak satu-satunya yang emang disayang dan dimanja banget. Semua orang di internet juga suka sama kamu, kalo ada yang gak suka pun pasti ketimbun sama yang belain kamu. You’re everyone’s favorite, while i’m their punching bag. Aku sekarang jadi ragu kamu beneran tulus sama aku atau cuma karena kasian. Kamu nyesel kan Shil pacaran sama aku? Kalo iya dan pengen putus, aku terserah kamu aja. Jangan malu-maluin diri sendiri buat pacaran sama aku. Aku paham kok kamu pacarin aku karena tau aku yang jelek dan aneh ini gak mungkin nolak orang se-sempurna kamu.”

Shiloh tertegun di hadapan Nakula, manik matanya tanpa sadar mulai berair. “Wow, Na. That really hurts..”

Nakula seketika menyesali racauannya beberapa detik lalu, namun sepertinya semua sudah terlambat.

Dengan air mata yang berlinangan, Shiloh mulai mengeluarkan suaranya. “Na… if i can make the whole world to like you by sacrificing myself, i would. I’d do anything to make you feel better. Tapi tolong jangan bilang aku mau pacaran sama kamu karena kasian. I waited for you for so long, i wanted you like how i need air to survive. Aku minta maaf kalo kali ini aku gak bisa bener-bener mahamin perasaan kamu, tapi apa iya kamu mikir aku serendah itu buat menilai kamu sebagai orang ‘jelek’ yang gak mungkin nolak aku?”

“Shil…”

“Aku minta maaf Na kalo orang lain masih ngata-ngatain kamu tanpa sebab, aku minta maaf kalo mereka gak bisa ngehargain kamu, aku juga minta maaf kalo aku gak pernah berhadapan sama orang tua kamu sampe aku gak bisa ngerti apa yang kamu rasain. But please don’t ever say that i’m not sincere, because i love you from the bottom of my heart and that’ll never change for the rest of my life.”

Shiloh berdiri, memasukkan tangannya ke salah satu kantung celana, “And i think you’re right, maybe i am just a spoiled child that never got to taste how bad this world actually treats everyone. Maaf kalo aku gak bisa nempatin diri di posisi kamu. Masuk ya, Na. Aku pulang dulu.”

Itu kalimat terakhir Shiloh, sebelum ia memasuki mobilnya dan menghilang di ujung jalan.

Melihat itu, Nakula kembali menangis. Ia tahu ia telah menyakiti Shiloh, sama persis seperti bagaimana orang lain telah menyakitinya belakangan ini.

--

--