Would you take my hand?

shaf
5 min readJul 6, 2022

--

Nakula sebenarnya sudah cukup curiga saat melihat Shiloh menggunakan pakaian yang cukup formal. Lelaki itu menggunakan kemeja hitam pekat dipadukan dengan celana bahan berwarna biru tua, tak lupa sepatu pantofelnya yang semakin menambahkan kesan formal pada setelannya malam ini. Nakula pun berakhir menggunakan sesuatu yang cukup formal juga, atasan putih dengan celana putih yang senada menjadi pilihannya. Tak lupa ia sampirkan cardigan bercorak favoritnya sebagai hiasan yang membuat setelannya menjadi eye-catching.

Awalnya, Nakula pikir ia akan diajak ke sebuah restoran di tengah kota. Namun dugaannya jelas salah ketika ia melihat mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di depan sebuah gedung yang tinggi menjulang. Keduanya lalu menaiki lift yang ternyata membawanya ke bagian paling tinggi yang ada di gedung itu, rooftop Mont Parnasse tower, ternyata.

Nakula sedari tadi masih kebingungan menatap segala sesuatu yang bertemakan merah-hitam-emas di sekitarnya. Lantai ini bak telah disulap menjadi satu tema yang mengejutkannya sangat sesuai dengan seleranya.

“Shil, inii.. kamu yang nyiapin ya?” Tanya Nakula dengan tangan kanannya yang berada di genggaman Shiloh, matanya sibuk memperhatikan mawar merah yang menjadi hiasan utama di rooftop restaurant ini.

Shiloh mengangguk, “Iya, dibantuin sama Alen juga sih. Suka ngga?”

Nakula yang memang menyukai apapun yang bertema simpel namun elegan seperti ini jelas senang bukan main, ia pun mengangguk dengan cepat. “I love it, Shil.”

Mereka pun akhirnya duduk di sebuah meja yang juga telah dihias dengan mawar merah di sekitarnya. Semuanya terlihat begitu cantik dan tertata, sama seperti 9 meja lainnya yang di hias hampir mirip dengan milik mereka. Bedanya, meja mereka berada di tengah rooftop, seperti sengaja di letakkan sebagai poros utama pembukaan restoran malam ini.

“Shil, maaf aku banyak nanya. Tapi kok ini sepi banget? Emang cuman ada 10 kursi gitu ya restorannya?” Nakula menanyakan hal tersebut dengan hati-hati, takut ia tak sengaja menyinggung Shiloh yang telah menyiapkan ini semua.

Shiloh tersenyum tipis, “Ngga, Na. Aslinya mejanya banyak. Cuma hari ini aku gak mau terlalu rame, jadi minta dibikin buat 10 meja aja.” Tutur Shiloh sejelas mungkin sambil menoleh ke belakang untuk meminta pelayan mengeluarkan makanan yang telah ia pesankan.

Nakula kembali memperhatikan pelanggan yang datang selain mereka, “Ini kenapa pada kayak couple semua, Shil? Apa emang couple doang yang boleh ke sini?”

Shiloh kini tertawa pelan, ia lalu mengelus permukaan tangan Nakula yang berada di atas meja. “Ngga harus sih sebenernya, tapi aku requestnya gitu.”

Bukannya paham, Nakula malah semakin kebingungan. Ia menopang dagunya dengan tangan kiri sambil mengerutkan dahi dan menatap Shiloh dalam-dalam.

Shiloh kembali tertawa, “Udah jangan dipikirin, nanti makin bingung. Minum dulu gih itu, bentar lagi paling keluar makanannya.”

Kalau dipikir-pikir, memang tidak ada penjelasan yang masuk akal selain Shiloh yang telah mereservasi lantai rooftop ini semalaman. Alias, semua pelanggan yang berhasil masuk ke dalam tidak perlu membayar makanan mereka, semua di tanggung oleh Shiloh. Shiloh juga tidak meminta kriteria apapun selain pelanggan yang masuk haruslah sepasang kekasih. Ia pikir akan terlalu kentara jika restoran sebesar ini hanya diisi oleh dirinya dan Nakula saja, oleh karena itu ia lebih memilih untuk membatasi kuantitas pelanggan yang dapat masuk.

Tak lama kemudian, sepiring salmon en croute untuk Nakula dan foie gras untuk Shiloh pun datang. Keduanya makan sambil berbincang santai, namun hal itu justru berbanding terbalik dengan detak jantung Shiloh yang tak kian mereda dari awal mereka menginjakkan kakinya di restoran ini. Rencana yang telah ia simpan matang-matang di kepalanya kini harus ia realisasikan, tentunya ia merasa gugup bukan main.

Musik yang awalnya hanya mengalun samar-samar kini mulai terdengar lebih jelas, pertanda rencana yang ia buat harus segera dilaksanakan. Pelanggan lain yang memang sudah tahu akan rencana ini berdiri dari kursi mereka, menggandeng pasangannya untuk bergeser ke arah tengah restoran. Pasangan-pasangan itu lalu mulai berdansa perlahan-lahan, persis seperti di film romance yang sering Nakula tonton. Shiloh lalu berdiri dari kursinya, mengulurkan satu tangannya ke arah Nakula. “May i have this dance?

Nakula merasakan hatinya mulai bergejolak tak karuan, ia lalu berdiri dan menyambut tangan Shiloh. “Aku gak bisa dansa yang formal gitu, Shil. Malu.”

Shiloh terkekeh, “Ngga usah terlalu formal kok, tuh liat yang lain. Santai aja, Na. I’ll guide you.”

Shiloh lalu meletakkan tangannya di pinggang Nakula, ia kemudian mulai menggerakkan badan keduanya perlahan-lahan. Nakula pun lama-lama mengerti, ia meletakkan salah satu tangannya di pundak Shiloh, sementara tangannya yang lain berada pada genggaman Shiloh.

Demi segala hal yang pernah membuat hatinya resah, ditatap sebegitu dalam oleh Shiloh di bawah sinar bulan yang terang merupakan hal paling mendebarkan yang pernah Nakula rasakan. Dirinya hanya bisa tersenyum kikuk, benar-benar gugup akibat segala hal yang terjadi di sekitarnya dengan begitu cepat.

Lagu yang diputar kini berhenti, berganti dengan lagu Can’t Help Falling In Love milik Elvis Presley yang mulai mengalun dengan indah. Lirik dalam lagu ini tidak begitu panjang, oleh karena itu momen yang Shiloh tunggu pun datang dengan cepat.

Wise man say, only fools rushin

Posisi keduanya yang awalnya masih berdansa kini sedikit berubah, Shiloh melingkarkan tangannya sepenuhnya di pinggang Nakula, membuat jarak antar wajah keduanya semakin menipis.

“Na, dulu pas awal aku ketemu kamu, kamu masih punya pacar. Padahal sebenernya, aku pengen banget kenalan lebih jauh sama kamu. But i want to respect you and your partner at that time, jadi aku gak mau ikut campur. Kalo kamu liat aku super kenceng deketin kamu kemarin, itu karena aku gak mau kehilangan kesempatan lagi. Actually, i’ll always wait for you, but i think the right time for me has finally come.” Shiloh lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kalung cantik dengan berlian berwarna merah muda di liontinnya. Ia lalu memasangkan kalung tersebut untuk Nakula perlahan-lahan.

But I can’t help falling in love with you

Shiloh lalu menggenggam kedua tangan Nakula, “I love you, Na. I love every side of you, the good ones and the bad ones. I can’t promise you a happily ever after kind of love, but i promise you i’ll keep on fighting for our relationship, even if it’s going to be a rough path. Be my one and only, please?”

Nakula sudah terlalu lemas untuk sekadar mengatakan iya, oleh karena itu ia hanya mengangguk dan menarik dagu Shiloh untuk meraih bibirnya. Tautan bibir keduanya terasa begitu hangat, saling mengecup dengan lembut, tanpa ada kesan nafsu di antaranya. Para pelanggan di sekitar mereka pun bersorak riuh, menjadi saksi akan terikatnya perasaan mereka yang saling berbalas.

Shiloh tersenyum lebar ketika tautan keduanya terlepas, ia lalu memberikan sebuah kotak ke arah Nakula dengan secarik kertas yang menempel di atasnya. “Buka, Na. Ada gelang couple, hehe.” Shiloh lalu menahan tangan Nakula ketika ia ingin membuka kertas tersebut terlebih dahulu, “Suratnya nanti aja, Na. Aku malu.”

Nakula yang mendengar hal itu justru merasa penasaran, ia malah sengaja membuka kertas itu terlebih dahulu dan membaca isinya. Dan sialnya, ini seperti senjata makan tuan. Air mata Nakula tanpa terkontrol mengalir begitu saja, ia lalu meletakkan kotak berisi gelang tersebut di atas meja dan melompat untuk memeluk Shiloh erat-erat.

I love you too, Shil. Thank you for taking my hand. Thank you for being so in love that you’re willing to wait for me all this time. Thank you for adoring every little thing about me that i didn’t know it existed. I love you, i love you, i love you. I’ll say it again today, tomorrow, and ‘till the end of the time.” Ucap Nakula sebelum akhirnya kembali menutup jarak di antara keduanya dengan mencium bibir tipis Shiloh yang terasa jauh lebih manis dari biasanya.

Mungkin semanis kisah mereka di malam ini, bukan begitu, Nakula?

--

--