Mama dan Papa

Refleksi Pendidikan Kesetaraan di Keluarga

Atika Almira
5 min readJun 29, 2020

Dulu saya sering dibuat bingung dengan diskursus feminisme dan kesetaraan gender yang berkembang di publik. Kenapa netizen bisa memperdebatkan istri yang membuatkan bekal untuk suami? Kenapa seakan asing, adanya laki-laki yang pergi ke pasar, memasak, dan ikut membantu membersihkan rumah? Kenapa perempuan yang bekerja harus dicela? Sedang perempuan yang memilih di rumah saja dinilai didomestikasi atas nama patriarki?

Kebingungan itu ternyata salah satunya disebabkan oleh pola interaksi antara Mama dan Papa di rumah. Saya menyaksikan semua kontradiksi yang disebutkan di atas: Mama yang membuatkan bekal untuk Papa tanpa dibayar, Papa yang pergi ke pasar dan memasak iga penyet favorit kami, Mama yang bekerja, dan kemudian memilih lebih banyak di rumah atas keputusannya sendiri.

Ternyata, dari rumah saya sendiri saya banyak belajar soal kesetaraan. Bukan lewat berbagai teori, pembelajaran itu saya cerap dari sikap kedua orang tua saya.

Berbagi peran

Sejak awal menikah, Mama dan Papa sama-sama bekerja. Ketika saya, anak pertama mereka lahir, saya sering dititipkan di rumah tetangga, Umi, di kala Mama dan Papa belum merekrut pekerja rumah tangga. Tapi memori saya masih menyimpan banyak hal yang menyenangkan, karena Mama dan Papa masih punya waktu bersama kami. Dibacakan buku, didongengi sebelum tidur, diajak jalan-jalan. Barangkali memang, terlepas dari gaya pengasuhannya, yang lebih penting adalah membentuk masa kecil anak yang bahagia, bersama ayah dan ibunya.

Ketika saya dan Alifa, adik saya yang usianya terpaut tiga tahun dari saya, sudah mulai masuk sekolah, di hari Sabtu saya akan dijemput Papa yang tidak bekerja. Kami punya quality time berupa sesi makan di restoran MM Juice dan main sebentar di Timezone. Mama tidak ikut, karena setiap hari Sabtu sebagai guru full-time, Mama mengajar di LIA. Kalau anak lain seringkali diantar ibu saat pergi lomba, biasanya saya ditemani Papa, yang lebih punya waktu luang di akhir pekan.

Papa juga laki-laki yang tidak canggung belanja ke pasar dan masuk ke dapur. Masak Indomie sendiri memang menu jagoannya. Tapi Papa juga cakap nguleg sambel, memasak iga penyet, hingga mengolah bakso dari awal.

Mama dan Papa mengajarkan kami berempat untuk bisa melakukan semua hal, sebagai individu. Dalam mengurus rumah, apabila tidak sedang ada Bi Acong (pekerja rumah tangga di rumah kami), kami berempat berbagi tugas. Ada yang mencuci piring, memasak, menyapu dan mengepel, mencuci dan menjemur baju, dan menyetrika. Anak laki-laki, anak perempuan, semuanya harus ikut membantu. Dari Mama aku belajar memasak, menjahit, mengecat kamar sendiri, berenang (meski Mama tidak bisa berenang). Semuanya dalam kerangka life skill agar kami memiliki independensi, tetapi juga bisa bekerja sama.

Agensi perempuan

Mama saya lulusan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) IPB, dengan drh. sebagai gelar di depan namanya. Namun, gelar itu tidak pernah Mama pakai karena ia memilih untuk menjadi guru bahasa Inggris, mengejar mimpinya sejak kecil. Mama bilang, ia mengambil jurusan itu karena tidak disetujui nenek menjadi guru. Akhirnya setelah menikah dengan Papa, Mama bisa memilih apa yang diinginkannya.

Dari Mama justru saya menilai, bahwa menikah itu justru harusnya membebaskan, ketika kita bertemu dengan pasangan yang tepat. Mama justru bisa mengaktualisasikan passion-nya dengan cinta dan kerja keras atas izin suaminya. Sejak saya lahir hingga Mama melahirkan anak ketiganya, Mama mengajar sebagai guru penuh waktu di LIA. Jam kerjanya penuh, kadang hari Sabtu pun masuk. (Baca: Mama dan Dunianya)

Barulah saat Ihsan lahir, Mama memilih berhenti bekerja penuh waktu di LIA yang kurang lebih jaraknya 10 km dari rumah kami. Saat resign, posisi Mama kurang lebih sudah selevel manager, sebagai Supervisor dari beberapa guru di LIA Cabang Bogor.

“Kenapa?” tanya saya.

Selain soal waktu dengan anak, Mama bilang keputusan itu diambil secara sadar karena pekerjaannya tidak lagi menantang. Selepas dari LIA, Mama tetaplah guru. Menjadi ibu dari empat anak tidak membuat passion-nya terhalangi. Ia akhirnya membuka kelas di rumah, menjadikan kamar tidurnya sebagai ruang spasio-temporal: siang sebagai ruang kelas, malam sebagai ruang tidur.

Lama kelamaan, murid Mama semakin banyak. Papa memberikan dukungan dengan membelikan rumah di kompleks perumahan yang sama, yang sampai saat ini menjadi sebuah tempat kursus bahasa Inggris untuk berbagai usia: Red-roofed House of English. Dengan mengajar di rumah, Mama tidak perlu menempuh perjalanan jauh, tetap punya waktu untuk istirahat, juga punya waktu untuk membersamai anak-anaknya, tapi tetap melakukan apa yang dicintainya.

Semua keputusan itu Mama ambil secara sadar: bekerja, berhenti bekerja, bekerja di rumah, dengan izin dan dukungan Papa. Saat menetapkan saya ingin menjadi apa, Mama bilang:

Pilihlah pekerjaan yang sifatnya profesi, sehingga kita bisa bekerja dan berkarya di mana saja, tanpa harus terpaku dengan siapa pemilik modalnya dan siapa yang membayar kita.

Dari Mama dan Papa jugalah saya belajar, menikah seharusnya tidak membatasi agensi perempuan. Yang perlu dimunculkan adalah ruang komunikasi yang dialogis, meski pemimpinnya tetap laki-laki.

Mendidik anak dengan agensi, tanpa stereotipe

Mama memang galak, tapi kami diajarkan untuk mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas keputusan itu. Dulu waktu kecil, saya tidak punya kesempatan ikut banyak les seperti adik-adik saya. Tapi Mama dan Papa selalu memastikan kami, entah anak laki-laki atau perempuannya, ikut terlibat dalam memutuskan les yang kami tekuni, juga lomba yang kami ikuti.

Mungkin karena terbiasa pendapatnya di dengar, saya sampai merasa punya hak untuk marah ketika tiba-tiba Mama bilang akan punya anak ketiga. Saya merasa seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan itu. (Perlu atau tidak, saya rasa ini bisa panjang diskusinya).

Di sisi lain, Mama dan Papa membesarkan anak tanpa stereotipe. Alifa sebagai anak perempuan diberi fasilitas untuk menekuni bela diri karate. Saya dibelikan banyak majalah sepak bola dari kecil. Ilham si bungsu selalu dibelikan barang warna ungu, warna favoritnya yang biasanya bukan untuk laki-laki. Kalau lapar tengah malam, Ihsan akan ke dapur dan memasak Indomie dengan resep-resep uniknya sendiri. Semua anak harus menguasai life skill, semua anak harus diberi ruang berkreasi dan berprestasi, tanpa memandang ia laki-laki ataupun perempuan.

Sebuah privilege

Menyaksikan itu semua ternyata adalah sebuah privilege. Ada banyak hal yang mungkin sulit didapatkan orang lain. Contohnya saja, ibu dengan pekerjaan yang layak untuk tetap bisa membagi waktu di dunia kerja dan di rumah. Lalu, pekerjaan yang layak itu juga harus ditunjang pendidikan yang berkualitas. Tidak semua perempuan memiliki kesempatan itu. Belum lagi kemewahan memiliki orang tua yang bahagia, lepas dari stres akibat tekanan sosio-ekonomi.

Saya rasa ini adalah pekerjaan rumah kita bersama. Perempuan tidak cukup memarahi laki-laki di twitter yang belum paham soal konsep ini. Bagaimana menjadikan kesetaraan ini tidak hanya sebagai wacana publik, tapi jalan juga yang dimungkinkan dengan keadilan akses yang bisa dikecap semua orang. Perempuan, dan juga laki-laki, perlu didukung untuk bisa sama-sama menjalankan “triple role” peran reproduktif, peran produktif, dan peran mengelola masyarakat.

Islam yang saya pahami

Saya tidak akan banyak membahas pandangan Islam soal gender di esai ini. Saya meyakini kosmologi Islam punya keeratan dengan peran berbasis gender. Misalnya saja, peran laki-laki dalam memimpin keluarga. Namun, saya yakin yang dibutuhkan adalah kepemimpinan laki-laki yang tidak menegasikan agensi perempuan. Bukankah Aisyah ra. juga adalah perempuan kritis yang cerdas dengan segala pendapatnya? Rasulullah saw. pun selalu mengajarkan hubungan interpersonal di dalam keluarga yang berlandaskan kasih yang didasari iman. Kepemimpinan laki-laki di dalam keluarga adalah untuk menciptakan harmoni yang penuh kasih sayang, bukan kuasa yang melahirkan kekerasan.

Pada akhirnya, semua manusia itu setara di hadapan Allah, kecuali soal Taqwa. Siapa yang bisa menilai? Hanya Allah semata.

29 Juni 2020,
Hari Keluarga Nasional

Atika Almira
Perempuan biasa

--

--

Atika Almira

Housing, urbanism, and architecture. Currently exploring UI/UX Design. Interested in Islamic discourse. Occasionally write about personal life.