Azka beserta Dhiran dan Steve, juga anak buah Dhiran yang lain pergi menuju ke tempat kemungkinan Naya diculik.
Setelah sebelumnya Romi berhasil memulihkan video rekaman cctv, terlihat mobil sedan hitam yang secara tak sengaja terekam di cctv. Mereka pun langsung melacak keberadaan sedan hitam itu, sempat ada kendala dalam mencari keberadaan mobil itu sebab plat yang digunakan adalah plat palsu. Tapi berkat Romi, juga detective swasta yang disewa oleh Dhiran itu mereka berhasil menemukan kemana arah mobil itu menuju.
Menghabiskan 60 menit di perjalanan, mereka akhirnya sampai di titik tempat yang dikatakan oleh Romi. Tempat itu tampak begitu sepi, apa benar Naya ada di sini?
Tempat yang mereka datangi adalah sebuah rumah kayu, yang letaknya agak jauh dari pusat kota. Di samping kiri dan kanan di perjalanan, hanya terdapat pepohan. Sesampai di sana, Azka dengan gegabah keluar dari dalam mobil. Cepat Dhiran menarik anaknya itu.
“Jangan melakukan hal bodoh.”
“Tapi istri Azka ada di dalam sana Ayah!” Ucapnya dengan frustrasi.
“Nak, apa gunanya semua anak buah ayahmu jika kau yang langsung turun tangan ke sana melihat keadaan? Dan belum tentu juga istri mu ada di sana. Kita harus berhati-hati.” Steve ikut bersuara, “biarkan mereka yang mencek terlebih dulu ke dalam rumah itu.”
Azka mengusap wajahnya dengan kasar. Tapi tetap, ia menuruti perkataan Ayah juga Kakeknya.
Anak buah Dhiran mengintip melalui celah jendela, lalu memberikan kode jika banyak orang yang berjaga di dalam rumah kayu itu.
Satu di antara mereka melapor pada Dhiran yang masih berdiri dekat mobil, “mereka semua bersenjata Pak.”
“Istri ku ada di dalam sana?”
“Kemungkinan besar ada, karena banyak sekali orang yang berjaga di dalam.”
Kekhawatiran Azka meningkat, takut terjadi apa-apa pada Naya.
“Kalau begitu, kami akan langsung ke dalam sesuai dengan rencana kami Pak. Kalian bisa menunggu di dalam mobil agar lebih aman.”
Dhiran, Azka, dan Steve memutuskan untuk masuk ke dalam mobil. Menuruti ucapan anak buahnya itu.
Anak buah Dhiran yang berjumlah lebih dari 10 orang itu mendobrak pintu masuk. Terhitung ada 5 orang bersenjata di dalam rumah kayu itu, mereka semua langsung melayangkan pistol ke udara kala anak buah Dhiran mendobrak masuk.
Anak buah Dhiran langsung menembakkan pistol, dan mengenai tepat di kaki orang itu. Cepat, ia mengambil alih pistol di tangan penculik itu.
Tidak jauh berbeda, yang lain juga hampir melakukan yang sama. Pergelutan antar anak buah Arza juga anak buah Dhiran terjadi. Untungnya, jumlah anak buah Dhiran yang masuk ke dalam lebih banyak, hingga mereka mampu melumpuhkan musuh.
Setelah memastikan anak buah Arza itu tidak bisa bergerak lagi, mereka pergi mencek ke satu-satunya ruangan yang ada di sana. Sesuai dugaan, ada Naya di sana. Dalam keadaan terikat dan penuh dengan darah.
•••
“Bub, please bangun.” Azka menitikkan air matanya sembari berlari di koridor rumah sakit, mengiringi sosok Naya yang terbaring diatas brankar tak sadarkan diri.
“Mohon maaf Pak, anda tidak diperbolehkan untuk masuk.”
Azka mengacak rambutnya dengan frustrasi, ia tampak begitu berantakan sekarang. Baju nya dipenuhi oleh darah, karena setelah dikabari ada sosok Naya di dalam rumah itu, Azka langsung berlari dan membawa Naya ke dalam pelukannya.
Rasanya hatinya begitu sakit melihat keadaan Naya seperti itu, apalagi Naya dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Arza tidak ada di sana kan? Hanya anak buahnya saja yang berjaga?”
Azka menoleh mendengar percakapan Ayahnya dengan anak buahnya. “Seperti yang bapak lihat sendiri, hanya anak buahnya saja yang ada di sana.”
“Lalu di mana Arza si brengsek itu?!?” Azka mendekat, turut bergabung dengan Ayahnya.
“Maaf, saya tidak tahu.”
“Bagaimana mungkin kau tidak tahu?!” Azka menarik kencang kerah baju anak buah Dhiran.
“Azka!” Dhiran berteriak. “Bukan ranahnya untuk melacak keberadaan seseorang. Kau bisa bertanya pada Romi atau bertanya pada semua detective swasta yang aku sewa!”
Steve mendekat, menepuk pelan pundak Azka. “Sepertinya kau perlu istirahat nak. Duduk lah di kursi sana sembari menunggu istri mu, keberadaan Arza biar kakek dan ayah mu yang mengurus.”