Fiat Justitia Ruat Caelum

Timothy Sambuaga
7 min readJun 14, 2020

--

Sebuah pandangan mengenai tuntutan Jaksa terhadap pelaku penyiraman Novel Baswedan.

Photo by Chad Greiter on Unsplash

Hukum harus ditegakkan meskipun langit runtuh, sebuah adagium yang diungkapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus dan bukan hanya sebuah jargon kosong belaka. Lebih dari itu, pepatah ini harus dimaknai secara mendalam baik oleh penegak hukum, orang yang bergelut di dunia hukum (ilmu hukum), maupun masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena secara sadar maupun tidak sadar, hukum telah lahir, tumbuh, dan berkembang di setiap sendi-sendi masyarakat seperti yang diungkapkan Cicero yakni ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum).

Peristiwa penuntutan Jaksa terhadap pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan cukup menarik perhatian banyak orang. Pasalnya, kedua pelaku penyiraman tersebut dinyatakan bersalah dan dituntut satu tahun pidana penjara. Sebelum lebih jauh, mari menilik kembali bagaimana peristiwa penyiraman tersebut dan akibatnya terhadap Novel Baswedan.

Kronologi dan Akibat Penyiraman Novel

Photo by Hafidz Mubarak A on ANTARA FOTO

Sebagaimana dijelaskan Jaksa dalam persidangan, semua berawal pada April 2017 dimana Rahmat Kadir Mahulette mencari alamat rumah Novel Baswedan dan bertujuan untuk menyerang Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Setelah menemukan alamat Novel, pada hari Sabtu, 8 April 2017 sekitar pukul 20.00–23.00 WIB, Rahmat menggunakan motor Ronny Bugis memantau rumah dan akses masuk keluar kompleks kediaman Novel.

Hal yang sama dilakukan pada hari Minggu malam, 9 April 2017 oleh Rahmat dengan tujuan yang sama dengan malam sebelumnya.

Pada hari Senin, 10 April 2017, setelah apel pagi di Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua, Depok, Rahmat mengembalikan motor kepada Ronny dan menuju ke pool angkutan Gegana Polri untuk mencari cairan asam sulfat (H2SO4). Cairan tersebut dibawa ke rumahnya, kemudian dituangkan ke dalam mug kaleng dengan motif loreng hijau, ditambahkan dengan air, lalu ditutup dan dibungkus dengan plastik berwarna hitam.

Kemudian keesokan harinya, pada Selasa, 11 April 2017, sekitar pukul 03.00 WIB, Rahmat menemui Ronny dan meminta agar ditemani menuju ke kediaman Novel Baswedan di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mereka pergi dengan membawa mug berisi cairan asam sulfat dengan mengikuti rute yang telah ia tentukan. Keduanya berkeliling di sekitar rumah Novel dan berhenti di depan Masjid Al-Ikhsan. Pada pukul 05.10, Rahmat dan Ronny melihat Novel keluar dari masjid tersebut dan menuju ke rumahnya. Rahmat pun mengatakan bahwa ia hendak memberi pelajaran kepada seseorang dan meminta Ronny untuk mengendarai motor perlahan ke arah Novel. Ketika posisi sudah sejajar dengan Novel, Rahmat kemudian menyiramkan cairan asam sulfat ke bagian kepala dan badan Novel Baswedan. Setelah melancarkan aksinya, keduanya tancap gas melarikan diri.[1]

Penyiraman ini mengakibatkan kerusakan yang cukup parah terhadap mata Novel Baswedan baik sebelah kiri maupun kanan. Pada 26 Mei 2020, saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Johan Arif Martua Maruarar Hutahuruk, dokter mata dari Rumah Sakit Mata JEC mengatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan pada 9 Maret 2020, penglihatan mata kiri Novel 0, sementara mata kanan 0,2 atau 20 persen dari 100 persen. Penyiraman itu menyebabkan mata kiri Novel tidak dapat melihat dan hanya bisa melihat cahaya.[2]

Perihal Dakwaan

Photo on ANTARA FOTO

Perlu diketahui bahwa Jaksa Penuntut Umum pada perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan mendakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette dengan dakwaan primer yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan dakwaan subsider yakni Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam persidangan tanggal 11 Juni 2020, Jaksa menilai bahwa kedua terdakwa telah melanggar Pasal 353 ayat (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (dakwaan subsider) dan dituntut satu tahun penjara. Jaksa berdalih bahwa kedua terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur mengenai penganiayaan berat dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa berdalih bahwa terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan (yang awalnya ditujukan ke badannya), tetapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan cacat permanen, sehingga dakwaan primer tidak terpenuhi.[3]

Sebuah Analisis

Aprillio Akbar on ANTARA FOTO

Dalam kasus diatas, dakwaan primer yakni Pasal 355 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” dinyatakan tidak terpenuhi unsur-unsurnya, maka dialihkan ke dakwaan subsider. Namun apakah benar tidak terpenuhi?

Ketentuan mengenai penganiayaan dapat dilihat dalam Pasal 351 KUHP hingga Pasal 358 KUHP. Pengertian penganiayaan sendiri tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun, R. Soesilo menyatakan bahwa menurut yurisprudensi, sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.[4]

Unsur yang harus dibuktikan dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP, yakni: penganiayaan berat, dan dilakukan dengan rencana terlebih dahulu. Berbicara mengenai penganiayaan berat, maka akan merujuk pada Pasal 354 ayat (1) KUHP, yang berbunyi: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.” Hal ini berarti penganiayaan berat dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan yang sengaja dilakukan seseorang dengan maksud agar seseorang memiliki luka berat atau menghendaki timbulnya luka berat pada seseorang (luka berat sendiri tercantum dalam Pasal 90 KUHP[5]). Berbeda halnya jika luka berat bukan merupakan tujuan atau maksud, melainkan akibat yang timbul saja, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat.

Berdasarkan fakta persidangan, Jaksa mengungkapkan bahwa terdakwa memiliki mens rea atau sikap batin yang jahat yakni untuk ‘memberi pelajaran’. Dua kata ini memiliki arti yang cukup luas, namun apabila dikaitkan dengan apa yang dilakukan terdakwa sebelum melakukan penyiraman, yakni dengan mempersiapkan cairan asam sulfat, maupun saat melakukan penyiraman, maka jelas tujuan/niat pelaku ialah memberikan luka berat kepada Novel dengan actus reus-nya berupa menyiramkan air keras tersebut.

Selanjutnya, apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan kesalahan yang berupa kesengajaan atau dolus dan bukan kealpaan/kelalaian atau culpa. Menurut doktrin pidana, kesengajaan ini dirumuskan ke dalam tiga corak, yakni:[6]

  1. Sengaja sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk) dimana pembuat menghendaki akibat dari perbuatannya dan tahu akibat dari perbuatannya akan terjadi;
  2. Sengaja sebagai keinsyafan kepastian (opzet bij noodzakelijkheidsbewustzijn) dimana pembuat tahu bahwa untuk mencapai tujuan atau akibat yang dikehendaki, maka harus melakukan suatu perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran;
  3. Sengaja sebagai keinsyafan kemungkinan (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn) dimana pembuat sadar bahwa akan ada kemungkinan timbul suatu akibat lain dari yang ia kehendaki, namun ia tidak membatalkan niatnya.

Lebih jelas lagi, P. A. F. Lamintang menjelaskan bahwa dalam kesengajaan, pelaku haruslah telah menghendaki (willen) untuk melakukan perbuatan yang menimbulkan luka berat pada seseorang, dan juga mengetahui (wetens) apa yang ia perbuat dan akibatnya, yakni pelaku telah bermaksud/bertujuan menimbulkan luka berat pada orang lain, dan pelaku menyadari bahwa orang lain pasti akan mendapatkan luka berat pada tubuhnya, atau pelaku menyadari bahwa orang lain mungkin akan mendapatkan luka berat pada tubuhnya.[7]

Merujuk pada fakta-fakta yang ada dalam persidangan, bahwa Jaksa telah menggambarkan dengan jelas apa yang dilakukan oleh terdakwa, dimana terdakwa telah melakukan pemantauan terhadap rumah Novel dan rute sekitar kediaman Novel, kemudian telah mempersiapkan terlebih dahulu cairan asam sulfat (H2SO4), lalu menunggu di depan masjid hingga Novel keluar, dan melakukan penyiraman air keras ketika posisi terdakwa yang duduk di motor yang sedang berjalan (dikendarai terdakwa lainnya) sejajar dengan posisi Novel, kemudian melarikan diri setelah melakukan penyiraman, maka dapat disimpulkan bahwa terdakwa menghendaki dan mengetahui aksinya yaitu menyiram air keras dengan maksud ‘memberikan pelajaran’ berupa luka berat, dan menyadari bahwa jika air keras disiram dalam keadaan tersebut meski diarahkan ke badan, akan ada kemungkinan air keras tersebut mengenai anggota tubuh yang lain dan menyebabkan luka berat, namun tidak menghentikan aksinya. Sehingga atas perbuatannya tersebut dapat dinyatakan memenuhi unsur Pasal 355 ayat (1) KUHP dan dapat dipersalahkan atas dasar penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dengan kesalahan berupa kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan.

Pada akhirnya, keputusan berada di tangan hakim. Semoga pengadilan dapat memutuskan dengan seadil-adilnya, karena penegakan hukum yang tidak konsisten, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak kompeten akan bermuara pada tercorengnya nilai keadilan yang dijunjung tinggi bangsa ini.

Culpue poena par esto.

let the punishment equal the crime.

Referensi:

[1] Adam Prireza, “Jaksa Cerita Kronologi Penyiraman Air Keras ke Novel Baswedan,” https://metro.tempo.co/read/1321632/jaksa-cerita-kronologi-penyiraman-air-keras-ke-novel-baswedan, diakses 14 Juni 2020.

[2] Glery Lazuardi, “Mata Kiri Novel Baswedan Buta Permanen, tapi Bisa Bedakan Cahaya,” https://wartakota.tribunnews.com/2020/05/27/mata-kiri-novel-baswedan-buta-permanen-tapi-bisa-bedakan-cahaya, diakses 14 Juni 2020.

[3] Ardito Ramadhan, “Tuntutan 1 Tahun Penjara bagi Penyerang Novel, Dianggap Memalukan dan Bukti Sandiwara Hukum,” https://nasional.kompas.com/read/2020/06/12/06433371/tuntutan-1-tahun-penjara -bagi-penyerang-novel-dianggap-memalukan-dan-bukti, diakses 14 Juni 2020.

[4] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1991), hlm. 245.

[5] Pasal 90 KUHP berbunyi: “Luka berat berarti:

- jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

- tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian;

- kehilangan salah satu pancaindera;

- mendapat cacat berat;

- menderita sakit lumpuh;

- terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

- gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.”

[6] J. Remmelink, Pengantar Hukum Pidana Material 1, (Yogyakarta: Penerbit Maharsa, 2014), hlm. 176–177.

[7] P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus: Kejahatan terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan serta Kejahatan yang Membahayakan bagi Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 134.

--

--