Endless Encounters

ALEA
8 min readOct 14, 2023

--

Jeverra baru saja tiba di satu tempat, membiarkan langkah kakinya menelusurinya ruang asing itu. Manik matanya disambut dengan saung tradisional di atas danau buatan, kuliner khas Indonesia yang eksotis, desir angin serta gemercik air yang turut menyapa indra pendengarannya.

Meski kalau boleh jujur, jika bukan untuk satu tujuan, laki-laki Taurus itu tidak mungkin akan memperlihatkan bahkan ujung rambutnya di keramaian seorang diri. Tetapi, kehadirannya berada di lautan manusia ini bukan tanpa alasan penting. Tidak peduli jam berapa, keadaan apa, dan lokasinya dimana, Jeverra akan selalu ada untuk panggilannya.

Jeverra masih terus menghubungi nomor seseorang meskipun belum ada respon sembari membiarkan kepalanya menyembul, mencari-cari raganya.

BUK!

“Aduh… Maaf ya. Nggak sengaja. Nggak apa-apa, kan?” Baru saja Jeverra ditubruk oleh seseorang wanita dewasa.

“Iya, nggak apa-apa.” Jeverra tetap menjaga kesopanannya. Meskipun ngilu belum meninggalkan bahunya, tapi Jeverra yakin wanita itu merasakan yang sama, bahkan.. lebih sakit?

“Eh?” Tanpa diharapkan, alis wanita itu bertaut saat dia mengamati wajah Jeverra seksama, seakan sedang mencari-cari jawaban disana. “Sebentar. Kok wajah kamu nggak asing? Sepertinya saya pernah ketemu kamu. Saya ingat-ingat deh, Kamu ini…”

Berbeda dengan Jeverra, dia merasa ini pertama kalinya dia bertemu dengan wanita classy yang berbalutkan blazer set berwarna hijau tua itu.

“Oh iya! Ingat!” Sepertinya beliau mampu menemukan jawaban dalam ingatannya.

Tentu saja Jeverra juga ikut mengantisipasi ingatannya.

“Kamu…” Ada senyum yang turut mengembang di sudut bibirnya yang juga menular pada Jeverra sampai dia menyelesaikan kalimatnya, “Gocar kan?”

Gocar kan?

?????

Ini Jeverra nggak salah dengar kan?

Dirinya? Gocar? Kok dia baru tau?

“S..Saya?” Jeverra dengan berhati-hati bertanya.

Pasti salah orang.

“Kamu yang punya plat mobil 2304 JVR itu, ya kan?” Loh, tapi kok yang ini benar?

Iya benar, itu plat mobilnya. Tapi, supir Gocar? Jeverra sempat menoleh ke sekitarnya, mungkin dia hanya kegeeran dan target bicaranya bukan dirinya. Namun, dia tidak menemukan ada orang di dekatnya. Bahkan separuh dirinya sempat percaya bahwa ini bisa saja prank?

“Ah iya, kamu pasti nggak tau kalo sama tante. Tapi kalau kamu ketemu anak tante pasti ingat.” Anaknya?

“Karena kamu pernah antarin anak tante.” Katanya, yang juga menambah pertanyaan pada kepala Jeverra. “Sampe dua kali, bahkan.”

Jeverra terus mengajak otaknya bekerja, memutar kembali memorinya. Sementara matanya terpaku pada wanita dewasa itu, karena semakin dia melihatnya, entah mengapa dia merasa semakin familiar dengan seseorang. Meskipun begitu, dia tetap belum menemukan jawabannya.

“Anak tante?” Percuma, Jeverra sama sekali tidak mengingat apa-apa. Dia juga masih belum mendapatkan clue.

“Iya, anak tante! Mana dia ya? Dia ada disini kok.” Wanita itu celingak-celinguk yang Jeverra tebak pasti untuk mencari-mencari anaknya.

Jeverra hanya bisa tersenyum kikuk dan sesekali melirik ponselnya, masih menunggu kepastian dimana seseorang spesial yang dia tunggu itu. Karenanya sekarang dia harus terjebak bersama wanita yang baru saja menyebutnya Ojol. What a night.

“Eh, nah! Itu tuh!” Jeverra refleks menengadahkan kepalanya saat wanita itu berseru dengan antusias. “Itu! Yang jalan kesini tuh dia!”

Kepala dan mata Jeverra mengikuti gerakan tangan wanita itu yang menunjuk seseorang.

Perempuan yang mengenakan dress berwarna simbolisnya; hitam, perempuan yang langkahnya dipompa dengan penuh percaya diri dan dimana dagunya terangkat, wajahnya yang terpoleskan riasan minimalis, serta surainya yang dia tata bergelombang dan terurai.

Tanpa perlu dipastikan untuk kedua kali, Jeverra telah mendapatkan jawabannya.

Seharusnya dia sudah bisa menebak saat mendapatkan clue saat wanita itu —maksudnya, mamanya—berkata telah mengantar anaknya sampai dua kali ke rumah; karena dia hanya mengantar satu orang dalam waktu dekat ini. Lalu, seharusnya dia juga bisa melihat sedikit kemiripan antara ibu dan anak; lesung pipinya. Lalu, seharusnya dia bisa menebak siapa yang berani-berani menyebutnya seorang supir Gocar.

Tidak lain, tidak bukan… Hanya ‘dia’ yang berani, kan?

“Ma, aku cariin kemana-kemana. Taunya disi…ni.” Ucapan gadis yang ditunggu-tunggu itu tersendat saat dia melihat siapa yang berada di hadapan mamanya.

Jeverra tidak malu untuk menatapnya terang-terangan.

“Nah ini, anak tante. Ingat nggak?”

Jelas. Bagaimana mungkin Jeverra tidak mengenal ‘kekasihnya’?

Varsha Adeleine.

What the hell is universe conspiracy for these endless accidental encounters?

Why do we always meet in such unexpected places and circumstances?

Laki-laki itu menyambut Varsha dengan wajahnya yang mengulas senyum, bahkan matanya pun ikut tersenyum. Sementara sang puan sempat hampir melotot mendapati pemandangan yang tidak dia antisipasi sama sekali malam ini.

“Ngapain lo bisa disini?” Meskipun dalam mode mute alias tanpa suara, Jeverra dapat membaca bibir Varsha dengan jelas.

“Varsha! Sini deh. Kamu masih ingat nggak sama dia?” Varsha lantas menoleh dramatis kepada mamanya.

“Mama kok bisa kenal sama… dia?”

“Lupa? Kamu tuh masih muda tapi kok udah pelupa? Mama aja ingat.” Wanita itu kemudian mendekat ke telinga Varsha dan berbisik, “Gocar yang antar kamu ke rumah. Itu yang bawa Lexus.”

Jeverra menghela nafas. Dalam benaknya, dia berkomentar kalau seharusnya mereka tidak saling berbisik karena dia bisa mendengarnya dengan jelas. Di sisi lain, Varsha menggigit pipi dalamnya untuk menahan tawa yang hampir lolos dari dirinya. Mana dia tau kalau mamanya akan bertemu Jeverra secepat ini. Ralat, dia tidak pernah berekspektasi mamanya dan Jeverra akan bertemu.

“Ma, Varsha mau ngomong.”

“Iya ngomong aja. Kenapa?”

Varsha membuka bibirnya hati-hati. “Sebenarnya…”

“Apa?”

“Dia ini bukan—”

“Sha, bentar. Mama ada telfon.” Potong mamanya mengangkat ponselnya yang berdering kemudian melipir mencari tempat yang sedikit senyap.

Alhasil, meninggalkan Varsha dan Jeverra berdua saja. Varsha samar-samar melirik laki-laki yang memasang wajah kesalnya; bibir sedikit mengerucut, alisnya hampir bertaut, dan sesekali juga melirik sinis padanya.

“Gue? Gocar?” Akhirnya Jeverra sudah tidak tahan lagi untuk mencari sejarah dibalik panggilan konyol ini.

You better have a good explanation for this, Varsha.

“Loh? Memangnya apa yang salah jadi Gocar?”

Apa sih yang gue harapin?

Sama sekali tidak ada raut bersalah sama sekali, gadis itu malah melipat tangannya dan menyajikan laki-laki di depannya ekspresi mengejek.

Jangan tersinggung, Jeverra tidak sama sekali menemukan ada yang salah dengan profesi supir Gocar atau ojol lainnya. Dia menghargai setiap profesi. Tapi, jelas ini beda cerita karena dia yang diperkenalkan seperti itu. Kenapa bukan teman? Classmate? Atau apapun. Masih banyak opsi yang lain.

“Iya nggak ada salahnya jadi Gocar, tapi kenapa lo harus kenalin gue sebagai supir Gocar ke nyokap lo?”

Sorry ya, disini gue nggak ngenalin lo. Tapi nyokap gue nggak sengaja lihat waktu lo antar gue pulang. Akhirnya, gue cuma jawab sekenanya aja. Nggak tau kalo nyokap gue bakal hafal muka lo.”

“Dan mobil gue.” Tambah Jeverra.

“Santai sih, nggak usah marah-marah.” Varsha jadi bete.

“First impression gue ke nyokap lo adalah gue supir Gocar dan gue nggak usah marah?”

“Lagian apa pentingnya first impression nyokap gue ke lo sih?”

Hening. Jeverra seketika berpikir… Iya juga ya, kenapa Jeverra peduli?

“Okay, I apologize to you. My mom is quite nosy, so I rather lie to her.”

There are more options than ojol, you know.

“Like what?”

“Anything.”

“Apa? Teman? You’re not even my friend.”

Baru saja Jeverra memaafkan gadis itu dalam hati, tapi sekarang rasanya nggak jadi.

“Oke.” Jeverra mengangguk. “Should I introduce myself as your boyfriend?

Don’t. You. Dare.” Varsha secepat kilat mencengkeram lengan Jeverra yang nyaris berbalik badan itu. “Sempat lo ngasih tau nyokap gue..”

“Apa?”

I warn you, Jeverra.”

“Kenapa? Takut?”

“Takut apa?”

Varsha terlonjak kaget. Itu suara mamanya bukan Jeverra. Mamanya tiba-tiba muncul entah sejak kapan. Namun mamanya sudah terlanjur menangkap basah tangan anaknya bertengger pada lengan Jeverra, sehingga gadis itu refleks melepasnya.

“Takut…” Ayo Varsha berpikir. “Serangga, ma.”

“Serangga?”

“Iya tadi ada serangga, aku… takut serangga. Jadi refleks…”

“Sejak kapan kamu takut serangga?”

Sementara Varsha panik untuk mencari alasan, di sisi lain, Jeverra berusaha mengalihkan penglihatannya dan mendekatkan tangannya ke bibirnya. Suatu usaha untuk menutup ekspresi wajahnya yang ingin tertawa.

“Nggak tau. Tadi ngagetin begitu aja.”

“Nggak jelas kamu. Eh, tadi kamu mau ngomong apa?”

“Oh..” Varsha menelan salivanya, “Itu..”

“Cepetan!”

Mata Varsha menyipit dan dia melirik Jeverra.

“Sebenarnya… dia ini bukan su— ”

“Jeverra!”

ASTAGA TUHAN. Siapa lagi sih yang menginterupsi?

Sebuah geplakan yang terdengar renyah landing pada punggung Jeverra, membuat laki-laki itu mengaduh pelan. “Kamu kok nggak angkat telfon mami sih?”

Emosi Varsha yang nyaris meletup seketika mencair begitu saja.

“Ma..mi?” Dahi Varsha mengerut saat Jeverra menyebut wanita itu dengan sebutan mami. Sel otaknya refleks memerintah matanya untuk menelaah wanita itu dari ujung kaki ke ujung kepala.

“Telfon mami kenapa nggak diangkat?”

Ini serius maminya Jeverra? Wow. Cantik… banget.

Laki-laki itu dengan sigap merogoh kantongnya. “Di-silent.” Jawabnya setelah memegang ponselnya.

Sebentar, sebentar.. Kok nyokapnya Jeverra ada disini sih?

Apa maminya Jeverra juga lagi ikut acara reuni?

Varsha langsung teringat fakta bahwa Restoran ini terbuka untuk umum, hanya beberapa saung yang telah di-booking untuk acara reuni. Jadi, mungkin saja ini hanya kebetulan.

“Vivian?”

“Audra?”

…Atau bukan.

GOD, IT’S REALLY YOU! TERNYATA BENERAN VIVIAN.”

Oh my God, Audra! How are you?

Hold up.

What the hell is happening?

Baik Jeverra dan Varsha sama-sama terkejut dengan kehebohan mereka. Ibu-ibu tersebut saling sumringah dan dilanjutkan dengan sesi berpelukan erat.

Dalam proses pencernaan apa yang sedang terjadi, pengamatan Varsha tidak sengaja bergilir pada laki-laki yang ada di antara mereka. Jeverra sama clueless-nya dengannya sampai netra mereka saling menangkap satu sama lain.

Apaan sih ini?

Lo pikir gue tau?

Nyokap lo kenal nyokap gue?

Jangan tanya gue?

Kira-kira begitu apa yang keduanya utarakan melalui matanya.

“Jeverra, ini teman dekat mami waktu SMA. Tante Audra. Dra, ini anak aku. Jeverra.”

“Hai, tante.” Jeverra langsung beradaptasi.

“Kalau yang cantik ini pasti anak gadis kamu ya, Dra? Mirip banget sama kamu ah. Nggak bisa dibohongin.”

“Halo, tante.” Varsha menyapa maminya Jeverra dengan bersalaman. Walaupun masih kaget setengah mati dalam hati.

“Kenapa tadi aku nggak sadar ini anak kamu ya, Dra. Padahal kalo dilihat-lihat senyumnya mirip banget. Sudah punya pacar belum? Cakep gini, pasti banyak yang naksir ya?”

“Mama…” Suara Varsha setengah berbisik, mengode mamanya dengan mencolek tangan mamanya, mengisyaratkan mamanya untuk mengunci bibirnya.

Jeverra mengelus tengkuknya dan hanya bisa mesem-mesem. Alhasil itu membuat Varsha mendadak mual melihat tingkah lakunya.

“Nggak tau nih. Nggak ada yang pernah dia kenalin ke Maminya sejauh ini.”

“Pasti sudah sih ini. Belum dikenalin aja itu sih, ya kan, Jev?”

“Kalau si cantik?”

Jeverra menatap perempuan itu saat sekarang giliran maminya yang mewawancarainya.

“Iya, tante?”

“Kalau Varsha gimana? Pacarnya mana?”

Nih, di samping mami.

Maksudnya, pacar bohongannya.

“Cantik dan anggun gini juga pasti yang ngantri banyak. Benar nggak, Varsha?”

Anggun?

Gantian bahwa sekarang Jeverra yang lagi protes dalam hati, dia sangat menyayangkan fakta kalau maminya tidak tahu bahwa perempuan yang dia sebut anggun ini adalah singa betina.

Pfft. Jeverra kontan berbalik badan untuk tertawa dan saat dia berbalik lagi, Varsha sudah melototinya ketika mamanya dan maminya Jeverra lengah. Sepertinya sangat peka bahwa dia sedang menertawakannya.

“Sudah putus. Jomblo nih dia.”

“Ma..” For real, ma? Keinginan untuk menyeret mamanya pulang begitu besar.

I’m sorry to hear that, sayang. Nggak apa-apa ya, cantik. Masih banyak cowok di luar sana.” Sahut Maminya Jeverra penuh simpati. Jeverra ikut ngangguk-ngangguk, mukanya kayak ngejek banget.

“Iya.. Tante. Aku udah nggak apa-apa, kok.”

“Jeverra, sudah kuliah kan?”

“Iya. Semester lima, tante.”

“Loh sama ya kaya Varsha? Tapi hebat loh Jeverra, sudah mulai kerja sampingan. Padahal sudah mulai sibuk kan semester 5, tapi masih sempat Gocar.”

!@#$%^&*((*&^%$#$%^&*()

Tubuh perempuan yang namanya disebut-sebut itu spontan membeku, bola matanya bergerak kesana kemari, menandai bahwa dirinya panik. Dari segala jenis basa-basi, kenapa mamanya harus bahas itu lagi? Di depan maminya Jeverra?

“Eh?”

Varsha dapat melihat guratan kebingungan tercetak pada wajah maminya Jeverra. Screw me.

“Jeverra belum cerita?”

“Loh, kok Mami baru tau kamu jadi supir Gocar, Jeverra?” Demi Tuhan, Varsha pengen banget menghilang.

Sementara yang ditanya juga spontan terdiam, lidahnya ikut kelu untuk berucap. Disana, Jeverra bisa menyaksikan Varsha yang mati kutu. Menarik, pikirnya. Seorang Varsha bisa mati kutu. Rasanya dia terhibur melihat Varsha panik seperti itu.

Varsha mengigit bibir bawahnya, sedang mengumpulkan keberaniannya untuk membuka suara.

Gadis itu menarik nafas panjang. Namun usahanya digagalnya karena Jeverra sudah menyelipnya.

“Gabut.” Timpal laki-laki itu. “Jadi Gocar karena gabut, mi.” Lanjutnya sambil melirik Varsha dan kemudian tersenyum setelah itu.

--

--