Hands off, Miss Cherry Red Hair

ALEA
15 min readDec 16, 2023

--

“Loh, Varsha mana?” Baru saja Jeverra sampai di lokasi meet up yang berlokasi di salah satu rooftop resto and bar ternama di kotanya— bahkan dia belum duduk — tapi dia sudah langsung disuguhi pertanyaan oleh Galen.

“Datang sama Sera.” Sahut Jeverra singkat kemudian menggeret kursi di meja yang sama dengan Galen dan Rein. Kalau Khai, sepertinya dia datang terlambat.

Meskipun awalnya ini rencana melepas stres pasca UAS untuk anak-anak kelasnya saja. Tetapi, Jeverra tetap mengajak ketiga temannya untuk ikut datang karena kebetulan mereka juga lumayan akrab sama teman sekelas Jeverra. Pada akhirnya, mereka sama sekali tidak keberatan. Terlebih para kaum hawa, mendengar nama Rein saja mata mereka langsung berbinar. Ya begitu, berbicara tentang pamor, memang Rein yang menempati chart nomor satu.

Menurut penilaian perempuan-perempuan fakultasnya, Rein ini memiliki rupa dan sifat seperti cetakan karakter utama cerita fiksi. Rupanya sudah nggak perlu ada yang dikomentari. 100 out of 10. Ibarat dalam sebuah boyband, pasti dia sudah jadi visual nya. Kemudian sifatnya — dari luar — juga dia orangnya misterius banget, tipe yang dingin dan susah untuk didekati. Bahkan sampai sekarang Rein nggak pernah dikabari dekat dengan siapa-siapa. Bikin cewek-cewek jadi bisa bikin skenario sendiri dalam kepalanya ketika melihat Rein.

Kalau Galen sih juga sebenarnya nggak kalah favorit. Tapi sebenarnya pelet dia lebih manjur ke kakak tingkat. Karena mayoritas menganggap Galen itu menggemaskan dan lucu. Hawanya ingin dikantongin dan disayang-sayang kaya kucing. Kemungkinannya sih karena kakak tingkat sudah capek banget ngerjain tugas akhirnya, jadi lihat yang segar-segar langsung jadi hijau.

Jadilah mereka setuju banget sampai Rein, Galen, dan Khai ikutan. Lumayan, cuci mata.

Selang beberapa waktu setelah kehadiran Jeverra, Khai juga menyusul tiba sambil melambaikan tangan, tidak pada Jeverra dan sahabat-sahabatnya melainkan pada anak-anak kelasnya. Nggak perlu kaget, meskipun ini acara kepunyaan kelas Jeverra tapi Khai juga nggak kalah akrab sama anak-anaknya atau mungkin bisa melebihi Jeverra. Karena kepribadiannya yang friendly. Nggak heran kalau temannya ada dimana-mana. Jeverra sih jangan diharap, mau basa-basi aja overthinking dulu.

“Bang! Lo bang Juandika bukan?” Tuh kan. Dibilang juga apa, sekarang aja sepertinya Khai sudah menyapa seseorang yang duduk berjarak dua meja di depan mereka, sepertinya dia kenal.

“Weh, Khai bukan sih lo?!” Laki-laki itu langsung berdiri dari kursinya kemudian membalas Khai dengan senyumnya yang lebar dan langsung jalan mendekat ke arah mereka. “Apa kabar lo? Anjir, lama banget nggak ketemu.”

“Sumpah bang. Kirain gue salah orang, tapi kok mirip amat sama bang Juan pikir gue.” Khai nggak kalah sumringah langsung menyambut laki-laki itu dengan ramah.

Sementara teman-temannya jadi ikut mengamati laki-laki yang ada di depan mata mereka. Jeverra masih memindai tipis-tipis laki-laki bernama Juan itu berdiri di depannya. Laki-laki itu membalut bagian atasnya dengan kemeja tipis berwarna biru langit. Tubuhnya terlihat ramping dan wow, kakinya panjang juga. Jika profesinya adalah model, maka Jeverra tidak akan terkejut.

“Duduk dulu bang.” Tawar Khai sembari mendorong kursi di antara dirinya dan Jeverra yang masih tak berpenghuni. “Kenalin bang, ini teman-teman gue. Yang ini Jeverra, ini Galen, dan ini Rein.”

Juan pun langsung menyalami tangan mereka satu per satu dan menyebut namanya. Ditilik dari perawakannya, dia juga nggak kalah supel dari Khai.

“Gue tuh ketemu bang Juan pas dia KKN di desanya nenek gue tinggal.” Khai menjelaskan pada teman-temannya meski tanpa ditanya. Ya alhasil ketiga temannya cuma bisa manggut-manggut.

“Lo sibuk apa sekarang, Khai? Kuliah?”

“Yoi. Jadi mahasiswa udah gue sekarang.”

“Ceilah songong. Kuliah dimana emang lo?”

“Dream University. Yang swasta-swasta aja, Bang.”

“Dream...” Juan berpikir sejenak. “Kayaknya gue ada kenalan kuliah disana.” Katanya lagi.

“Iya kan memang banyak yang kuliah disana, Bang. Lo sibuk apa sekarang, Bang?”

“Biasa lah. Sibuk ngumpulin kekayaan.” Sahutnya sambil tertawa.

“Kerja, kerja, tipes ya Bang?”

Juan cuma menanggapi dengan ketawa.

“Ah, gue baru ingat nih kenalan gue yang kuliah di Dream.” Juan menjetikkan jarinya, pertanda dia berhasil memanggil ingatannya. “Namanya Asha, eh Varsha, kayaknya seangkatan lo deh tiga tahun di bawah gue.”

Krik... Krik….

Tanpa janjian, kepala Galen, Rein, dan Khai langsung menoleh otomatis pada Jeverra yang sibuk mengerjapkan matanya. Ini maksudnya Varsha yang mereka semua kenal kan?

“Duh gue lupa nama lengkapnya siapa dan dia jurusan apa juga gue nggak tau.”

“Nama lengkapnya Varsha Adeleine bukan, Bang?” Celetuk Galen spontan meski matanya masih melirik Jeverra.

“Nah iya. Varsha Adeleine. Kenal ya?”

Sekarang mata Galen membesar — masih menilik Jeverra. Rein sudah tersenyum miring dan Khai juga nampak sedang menahan tawanya. Jeverra lagi berpikir, apa yang lucu?

Galen mengangguk. “Sempit banget ya dunia. Kenal, Bang. Teman kita tuh. Sekelas sama ini si Jeverra nih.” Galen sengaja banget menunjuk pada Jeverra yang masih mematung.

“Wah iya? Sekelas sama Ash — eh, Varsha?”

“Iya.” Jeverra mengangguk sambil tersenyum masam. Terus jadi kepikiran sendiri. Ini kenapa dia mau nyebut Asha mulu ya? Varsha dulu dipanggil Asha? Atau jangan-jangan itu nickname spesial untuk Varsha dari dia? Lah, ini orang siapanya Varsha? Sedekat apa sama Varsha sampai bisa bikin nama panggilan segala? Apa-apa jangan dia saudaranya si kutang? Jeverra langsung berkalut sama banyak pertanyaan di kepalanya.

“Kenal dari mana sama Varsha, Bang?” Khai bertanya.

“Kenal dulu pas SMA gue punya teman dan gue sering main ke rumahnya, rumahnya tetanggaan sama Varsha itu. Nah, si Varsha pas masih SMP suka ngajak main PS main ke rumah teman gue. Jadilah kita sering main bareng.”

Kan, ternyata temannya si Kutang. Dunia sempit banget ya? Jeverra masih bermonolog dalam diamnya.

“Dulu anaknya mukanya galak banget tuh, masih nggak sampe sekarang?” Sasaran pertanyaan itu entah kenapa terarah kepada Jeverra yang duduk tepat di sebelahnya.

“Nggak cuma mukanya, sampai kelakuannya juga galak.” Jeverra berusaha santai menanggapi.

“Tapi pasti Varsha makin cantik ya?”

Wah, apakah sengaja membuat Jeverra terpelatuk?

“Haha.” Jeverra langsung ketawa kering karena bingung mau memberi respon apa.

Ibarat pribahasa, pucuk dicinta ulam pun tiba, tiba-tiba Varsha sudah datang bersama Sera. Masih jauh dan samar-samar, tertutup orang-orang yang berlalu lalang tapi Jeverra sudah bisa menebak itu Varsha. Kenapa? Nggak tau, kuat aja instingnya. Lalu semakin gadis itu melangkah mendekat, keyakinan itu terbukti benar nyatanya.

Sampai akhirnya dua bola mata Varsha bertemu dengan miliknya. Jeverra memamerkan senyumnya dan dibalas setimpal. Setelah itu, Varsha mengalihkan pandangnya pada laki-laki yang terlihat asing berada di kumpulan Jeverra CS itu. Alisnya nyaris bertautan, dia seperti tengah menerka-nerka siapa dia.

Di sisi lain, Juan telah sadar kehadiran Varsha dan juga sama terpakunya padanya, sangat kentara kalau dia sedang terpukau sama gadis itu. Sehingga membuat Jeverra langsung salty mendadak.

“Hai Asha.” Juan menyapa Varsha dengan panggilan Asha lagi, empat huruf yag membuat Jeverra dongkol mendengarnya.

“Hah? Sumpah? Ini Kak Juan?” Varsha terkesiap bukan main.

“Iya. Masih ingat nih?”

“Iya lah. Muka lo sama aja sama dulu kali, Kak.” Katanya sambil menepuk bahu laki-laki jangkung itu. “Cuma lebih dewasa aja. Terus, lagian mana ada orang yang manggil gue Asha selain lo, Kak!”

Jeduarrrrr. Hati Jeverra langsung tersambar petir. Jadi panggilan Asha itu memang benar akal-akalan si jangkung ini?

“Spesial banget dong gue ya, Asha?”

Spesial lo pikir martabak. Jeverra sudah julid dalam hati.

Ini untuk Varsha, dia sekarang sudah nggak kelihatan ya? Jangankan menyapanya, meliriknya sedetik pun aja nggak. Jeverra itu rela mengenakan Turtleneck berwarna hitam demi sang puan. Sudah bela-belain meminta tolong supir pribadi Maminya mengantar Turtleneck jauh-jauh dari rumahnya. Jeverra kan jadi kesal banget.

“Astaga. Sorry. Silahkan duduk.” Juan beranjak, tersadar kalau tempat duduk yang dia duduki itu milik perempuan lain yang masih berdiri di samping Varsha. Sementara kursi kosong lain di sebelah Jeverra, dia yakini adalah milik Varsha.

“Nggak apa-apa. Santai aja, Kak.” Tanggap Sera dengan sopan. Meskipun begitu, Juan tetap berdiri kemudian dan berpindah ke meja berjarak dua meja depan mereka seorang diri.

What?” Varsha mengerutkan dahinya, terheran-heran mendapati Jeverra yang mendelik ke arahnya. Tatapannya sinis banget, seakan-akan Varsha baru saja berbuat salah. “Kenapa lo liatin gue begitu?” Jeverra semakin sensi, tadi aja ngobrolnya manis banget sama si Juan-Juan itu. Giliran sama dia aja kok kaya eneg begitu?

“Nggak.” Tapi namanya Jeverra, gengsinya tinggi. Jadi dia langsung merubah ekspresi wajahnya kembali datar.

“Eh, Sha, itu Juan yang…” Sera langsung melanjutkan perkataannya dengan hanya mouthing dengan kedua telapak tangannya mengelilingi mulutnya tanpa ada volume suara sama sekali. Sehingga Jeverra tidak bisa menebak apa kelanjutannya.

Yang dia lihat hanya Varsha yang langsung mengangguk.

“Iya. Itu Kak Juan, first love gue dan gue ceritain ke lo.”

Nggak cuma Jeverra, catat, nggak dia sendiri. Semua juga langsung noleh heboh ke Varsha.

First love gue.

First. Love. Gue.

Cinta pertamanya Varsha.

Perkataan itu terus terngiang-ngiang di kepala Jeverra bagaikan rekaman di kaset rusak.

Jeverra sudah enggan mengecek reaksi teman-temannya satu per satu karena dia sudah kaget sendiri.

“Ganteng kan?” Tambahnya lagi tanpa dosa, kemudian ditanggapi dengan Sera yang mengangguk hati-hati.

Serius ini kalau dibelah dadanya, bakal terlihat kalau hati Jeverra bukan membara lagi tapi sudah jadi abu.

Dia pikir masalah iri dengki dan cemburunya hanya terhenti pada si kutang yang jauh di mata sana, ternyata lanjut part 2 sama si jangkung di depan mata yang bahkan jauh lebih berbahaya.

Tapi apa Varsha terlihat peduli sama Jeverra yang sudah hangus begitu? Jangan berharap. Buktinya sekarang dia sudah beranjak dan izin menyusul Juan yang duduk seorang diri di sana. Pergerakannya begitu kilat sampai Jeverra belum sempat melepas satu kata pun.

“Serius itu first love Varsha, Ser?” Galen setengah berbisik pada Sera, saat Varsha sudah menjauh.

Sera mengangguk, “Iya. Dia pernah cerita naksir sama Kak Juan itu pas masih dia masih SMP kelas 3 dan Juan kelas 3 SMA karena dia sering ke rumah tetangganya itu.”

“Terus Juan itu tau?”

“Kalau kata Varsha sih harusnya tau, cuma dia ngelihat Varsha sebagai bocah aja.”

“Anjir. Kalo dia juga suka sama Varsha waktu itu — ”

“Artinya otaknya nggak sehat.” Sela Rein tiba-tiba memotong omongan Galen.

“Hah? Maksudnya?” Galen dan Khai kompak bingung.

“Kalau dia mau pacarin Varsha artinya ya otak dia nggak sehat. Kelas 3 SMP itu masih minor dan kelas 3 SMA semestinya sudah masuk usia legal. Yang satu punya age of consent, satunya belum. Kalau dia sampai dekatin Varsha apalagi sampai pacarin itu sudah nggak wajar. Bukan tentang jarak usianya, tapi masalah usia minornya.” Jelas Rein panjang lebar.

“Hmm makes sense.” Tutur Khai sembari mengelus dagunya.

Galen dan Khai langsung kicep karena ceramah Rein yang masuk akal itu, sementara Jeverra sih memang sudah tak bergeming dari tadi. Dia nggak tertarik sama urusan cinta monyet Varsha. Hal yang menjadi masalah adalah yang di depan matanya. Fokusnya sudah ngacir kemana-mana karena memperhatikan Varsha yang nampaknya melupakan sekitar dan justru asyik ngobrol dengan Juan sampai mengumbar tawanya terang-terang. Ngomongin apa coba?

Bagaimana Jeverra nggak ketar-ketir? Sudah mana itu first love nya, iya kalau ‘cinta’ nya itu sudah kelar. Kalau belum bagaimana? Ditambah Varsha sekarang sudah dewasa, bagaimana kalau Juan jadi kesemsem sama Varsha yang sekarang? Semua bisa terjadi.

“Eh, anak-anak main biliard tuh. Kesana yok.” Ajak Khai.

Selain dihidangkan pemandangan gedung-gedung tinggi dan lampu-lampunya yang menyinari malam, serta angin sejuk — mungkin juga beserta polusinya — yang menari-nari di sekitar mereka, resto dan bar ini juga menyediakan ruang khusus fasilitas billiard.

Sekarang terlihat jika beberapa teman-teman sekelasnya memanfaatkan itu.

“Yuk, yuk!” Sahut Sera.

“Gue mau kesana aja.” Maksudnya, Jeverra ingin bertengger di meja bartender saja. Mungkin cocktail akan membuat moodnya lebih baik malam ini? Entah lah. Yang jelas dia nggak ada keinginan untuk ikut-ikutan main bahkan nonton biliard disana.

“Yaudah. Ayo guys.” Pada akhirnya teman-temannya itu kian beranjak dari kursi dan meninggalkan Jeverra seorang diri.

Satu hal personal tentang Varsha, perempuan itu sangat menyukai ketika dia bertemu dengan orang lama. Bertemu orang dari masa lampau membuatnya nostalgia, menyadarkan jika benar waktu berlalu begitu cepat. Tidak banyak orang yang dia anggap memorable baginya, tetapi dia masih ingat dengan jelas siapa orang-orang yang masuk kategorinya. Termasuk Juan, baginya Juan sempat menjadi warna di keabuan masa remajanya.

Meskipun Varsha itu seseorang yang mudah tertarik dengan lawan jenis sedari dulu dan terdapat beberapa jejeran nama laki-laki yang pernah dia sukai, namun perlu digarisbawahi kalau Juan adalah permulaannya. Bagi remaja yang masih mendalami puber, naksir sama Juan itu hukumnya wajib. Tetapi sekarang Varsha bukan lagi remaja puber, tentu perasaan itu sudah tidak lagi menetap di hatinya. Hanya ada rasa geli dan nostalgia yang melekat mengingat-mengingat bagaimana dulu dia suka mencuri-curi waktu untuk bisa bertemu Juan di rumah Jayden.

“Eh iya? Habis dari Bali ketemu Jay gimana? Udah lama banget kakak nggak pernah ketemu Jayden juga. Ada kali dua tahunan. Gimana dia? Masih nggak jelas?” Ah, Varsha teringat kalau Juan selalu menyebutnya ‘kakak’ kalau berbicara dengannya. Lucu, kan?

Varsha mengangguk. “Makin random, Kak. Dia bilang akhir-akhir ini lagi hobi ngoleksi celana kain batik. Katanya resolusi dia tahun depan mau travelling keliling dunia dan cuma foto pake itu.”

“Gila. Makin tua, makin sakit jiwa.” Juan geleng-geleng kemudian menggelegar tawa setelahnya.

Varsha jadi ikut ketawa meskipun tawanya seperti setengah tidak lepas, karena dia sebenarnya berusaha keras untuk tetap fokus sama Juan karena atensinya mulai goyah. Untung saja Juan memunggungi sosok laki-laki yang membuat Varsha salah fokus itu.

Jeverra tuh sebenarnya lagi ngapain sih? Nggak ada yang namanya mengintip atau curi pandang. Dengan sengaja dan terang-terangan ngelihatin Varsha dari kejauhan. Varsha kan jadi nggak nyaman dan nggak fokus sama obrolannya dengan Juan, atau malah itu memang itu misinya? Sudah mana dia nggak bisa menyembunyikan ekspresinya. Sejak kapan Jeverra menjadi ekspresif seperti ini? Wajahnya ditekuk, kentara sedang memperlihatkan ekspresi nggak suka, sampai alisnya mengerut dan bibirnya ikut mengerucut. Kan Varsha jadi… gemas.

Padahal dia sudah dalam setelan laki-laki dewasa banget malam ini. Iya, Varsha amat sadar kalau Jeverra yang katanya tidak memiliki turtleneck di lemari pakaiannya tiba-tiba mengenakan turtleneck berwarna hitam yang mencetak tubuh atletisnya malam ini.

Varsha bisa melihat teman-temannya beranjak meninggalkan meja setempat dan menerobos menuju ruang yang menyediakan fasilitas biliard kecuali Jeverra. Dia membawa raganya ke arah lain. Sehingga ekor mata Varsha samar-samar mengikuti langkah laki-laki itu yang ternyata melipir ke stool bar yang tentu berhadapan dengan meja bartender.

Namun ketika Jeverra mencuri pandang padanya, Varsha langsung kembali melempar penglihatannya jauh darinya sehingga netra mereka tidak saling menangkap.

“Kak, lo sering kesini?” Varsha berbasa-basi.

“Nggak juga. Tapi kakak sudah beberapa kali kesini sama teman dan shsushkasdfkglnqwiuehrfgvmcx.”

Suara Juan mendadak mendapat efek fade out dan semakin tak terdengar karena saat ini Varsha sudah hampir melotot saat mengalih pandangnya pada Jeverra dan ternyata laki-laki itu memamerkan senyumnya dan bahkan berbincang dengan seorang wanita bertubuh gitar spanyol yang berbalut dress merah maroon dengan tali spageti. Rambutnya bergelombang badai berwarna red cherry. Dia pasti penggemar warna merah.

Oke, lupakan warna favoritnya, sekarang pertanyaannya siapa perempuan asing yang sudah membuat Varsha kesal sampai menggigit bibirnya seperti itu?

Excuse me. Can I sit here?

Jeverra tersontak, atensinya dari Varsha — dan si jangkung — langsung tercuri saat suara halus perempuan terdengar di telinganya. Awalnya Jeverra setengah ragu jika dia berbicara padanya, namun kemudian dia menjadi yakin saat dia menoleh, perempuan asing itu memang mengunci tatap dengannya. Perempuan itu sepertinya seumuran dengannya, namun terlihat cukup dewasa dengan polesan ala latina.

Oh. Of course.” Lagian, ada hak apa Jeverra melarang seseorang untuk di stool bar kan?

Would you like to recommend me what to drink?” Lagi-lagi Jeverra mengira perempuan itu berbicara pada orang lain — terutama bartender — daripada kepadanya. Namun tidak nyatanya, perempuan itu berbicara dengan Jeverra.

Jeverra yang menyesap Sangria Cocktail itu lantas menoleh lagi, “From me?

Yes. From you. You look like you’re quite familiar with cocktails.” Perempuan itu memamerkan senyumnya dan memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih.

Jeverra terkekeh, “You’re wrong, Miss. I’m not so familiar with cocktails either.

“So, nothing to recommend at all?

“Hmm. How about Rose Margarita? Or Cosmopolitan?” Karena tidak enak, Jeverra jadi menyebut minuman yang biasa dipesan kakaknya saja.

Alright, Rose Margarita it is.”

Tanpa basa-basi lagi, perempuan yang menguar wangian vanila yang pekat itu langsung memesan Rose Margarita sesuai rekomendasi Jeverra.

Can I get your number?

Jika saja posisinya Jeverra masih meneguk minumannya, mungkin dia pasti sudah tersedak sekarang. Jeverra benar-benar terkejut begitu perempuan yang bahkan dia tidak tahu namanya itu langsung to the point meminta nomornya. Meskipun ya kalau boleh jujur ini bukan pertama kali untuk Jeverra, tetapi tetap saja dia tidak terlatih untuk ini kan?

Pardon?” Jeverra memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi.

Yes. Let me straight to the point. I think you’re very attractive so I’m so intrigued to know you. So, can I get your number?” Tidak ada setitik kecil keraguan dalam nada suaranya ketika dia blak-blakan ketertarikannya pada Jeverra.

I’m sorry but —

Oh come on. Are you shy?” Perempuan itu lantas tertawa kecil kemudian memukul pelan pundak Jeverra.

Masih belum sempurna Jeverra mencerna apa yang sedang terjadi, namun dia sudah dilanda rasa kaget untuk kedua kalinya tatkala jari jemari perempuan itu mulai merambat pada bahu Jeverra dan menurun pada lengannya.

Oh my God. Your shoulders are hard as rock. I bet you go the gym every day.

Alangkah speechless nya Jeverra, digrepe-grepe perempuan yang dia tidak kenal sama sekali. Sehingga dia sudah siap menepis tangan perempuan yang sibuk menggerayanginya karena dia benar-benar tidak nyaman sebelum aksinya tergagalkan kala mendengar suara berintonasi datar dari belakangnya.

Hands off, Miss Cherry Red Hair.

Miss Cherry Red Hair.

Jeverra nyaris tertawa saat mendengar suara familiar itu. Dia mengenal jelas siapa dibalik pembuat nickname itu. Saat dia menoleh, matanya sudah menangkap Varsha yang melipat tangannya di depan dadanya sembari menyajikan sorot mata yang menggelap. Tetapi pertanyaannya, sejak kapan Varsha ada di belakangnya?

Mendengar itu, perempuan asing itu telah menjatuhkan tangannya dari bahu Jeverra.

Who?” Perempuan itu menaikkan alis sembari bertanya pada Varsha.

Varsha melirik sepintas pada Jeverra kemudian kembali menatap gadis itu berang. “It doesn’t matter who I am, but you cannot just touch someone without consent. No matter if they’re men or women. That’s sexual harassment. Do you even know basic manners?

I only touched his shoulders. You are overreacting here.” Perempuan itu menyudahi perkataannya dengan terkekeh mengejek.

“Oke. Sekarang dibalik, kalo lo yang dipegang-pegang sama orang yang nggak lo kenal, lo marah apa nggak gue tanya?” Varsha tidak meninggikan suaranya, namun ada aura intimidasi yang kuat dari nada bicaranya.

Bagaimana ya. Entah salah apa tidak, tetapi Jeverra justru mulai menikmati suasana menegangkan ini. Rasanya menyenangkan melihat Varsha mengeluarkan singanya seperti ini, terutama demi dia.

Perempuan itu tidak menjawab pertanyaan Varsha dan lantas memutar matanya, tampak tersinggung luar biasa dengan teguran blak-blakan Varsha. “Who are you?

Me?” Varsha menunjuk dirinya sendiri kemudian terhenyak.

Wait a minute, who am I?

Kemudian dia melayangkan sorot matanya pada Jeverra, mengisyaratkan bahwa dia berharap pertolongan. Namun tidak terduga, laki-laki itu justru mengangkat alisnya dan bahkan bahunya. Seakan utuh-utuh melempar hak suaranya pada Varsha. You useless piece of—

Yes. Who are you? Who are you to interfere with us?

Us? US? KITA? Sejak kapan dia sepaket sama Jeverra? Kira-kira begitu yang terlintas di kepala Varsha saat ini. Tentu semakin menyulut api amarahnya.

You’re the one who’s being shameless here. I’m talking to you, girl. Hey, are you deaf?!” Seru perempuan itu yang tak kalah kesal.

Ada hening sesaat tatkala Varsha menghembus napasnya kasar sebelum gadis itu menatap perempuan itu sengit.

I did not intend to embarrass you at first but you are asking for it,” Varsha tersenyum miring. I’m the girlfriend of a man you just flirted with, bitch.

Persetan dengan apapun reaksi yang akan terpancing, Varsha sudah tak peduli. Perempuan itu telah berhasil melampaui batas kesabaran Varsha.

What?” Perempuan tanpa nama itu, dia terkejut bukan main.

Jeverra? Telinganya sudah terbang ke langit ke tujuh. Benar-benar diragukan kalau jiwanya masih menetap dalam raganya.

Yeah. You don’t hear it wrong. You are not deaf, right?

Langkah selanjutnya, Jeverra kembali disapu ombak kaget ketika Varsha sengaja menjulur dua tangannya pada bahu Jeverra dari belakang dan mengitari lehernya— seakan-akan mengklaim kepemilikannya.

So, thank you for keeping my boyfriend company. I salute your boldness. Not everyone could be as brave as you are but let me advise you something. The next time you flirt with someone, make sure before ‘Can I get your number?’ is ‘Are you single? Do you have a girlfriend?’, because you’re flirting with my boyfriend, you understand?” Tembak Varsha penuh nada mengintimidasi.

Perempuan itu benar-benar speechless dibuat Varsha. Kaget, malu, marah, sampai kecewa telah menyatu dalam perasaannya. Sehingga tanpa berniat berdebat lebih jauh dengan wanita modelan singa betina itu, perempuan itu secepat kilat kontan menghilang dari pandangan mereka.

Di sisi lain, Jeverra mati-matian menahan senyumnya meskipun pada akhirnya gagal. Jangan tanya bagaimana perasaannya sekarang, rasanya seperti baru saja memenangkan Daesang Award. Dalam hatinya, bukan lagi sedang berbunga-bunga, tapi sudah ada taman bunga berhektar-hektar lengkap dengan beragam jenis kupu-kupu mengitarinya.

“Nggak usah senyum-senyum.” Cibir Varsha sembari melepas tangannya yang sedari tadi mengalungkan lehernya. “Senang lo ya?”

“Iya.” Jawab Jeverra dengan anggukan mantap. Membuat sang lawan bicara semakin sinis.

“Oh? Jadi seharusnya nggak gue interupsi gitu?”

No, bukan itu.” Jeverra menggeleng cepat kemudian menabrakkan netranya pada sang lawan bicara.

“Terus?”

Masih dengan posisi Jeverra yang menduduki stool dan Varsha yang melipat tangannya. Tangan Jeverra perlahan meraih kepala Varsha, kemudian menyelipkan helai rambutnya ke belakang telinganya dan berkata pelan, “Nothing feels so satisfying than what I just saw.”

“Like what?”

“Like when you are being jealous, Varsha. I like it. I like it when you’re jealous.”

--

--